3. Demam

137 23 5
                                    

"Iyaa, Yah. Nanti aku transfer uangnya." Arun menghela napasnya kembali.

"Jangan lupa ya, Nak. Uang listrik sama air. Dua ratus ribu."

"Iyaa. Nanti ku transfer. Ayah tunggu aja."

"Makasih yoo, Nak. Kamu sehat-sehat di sana."

"Iya, Ayah. Ayah jaga kesehatan. Nanti uang yang ku transfer jangan di pakai buat ngopi terus. Beli makanan sehat di pasar."

"Iyaa, Nak."

Panggilan telepon segera berakhir. Arun melihat isi dompetnya. Tinggal sejuta lima ratus. Lima ratus akan ia kirimkan pada ayahnya, sementara sisanya untuk biaya mingguan Aya dan uang kontrakannya. Arun lupa kapan terakhir kali dia bisa menikmati gajinya.

Dia menidurkan tubuhnya di kasur. Matanya menatap plafon serius kemudian berucap,

"CARI DUID GINI BANGET SIH ANJENG! GUE CAPEK." Wajahnya dia usap berulang kali.

Sungguh! Dia tak ingin meminta apa-apa dari suaminya. Dia tidak ingin menjadi perempuan yang bisanya hanya meminta. Padahal gaji Kalla terbilang besar.

Dia melirik jam dinding. Sudah jam delapan malam. Sepertinya, dia harus memasak untuk Kalla. Perempuan itu segera beranjak menuju dapur. Menu makanan yang ia masak adalah, ikan. Bermodal video dari YouTube, dia berhasil memasak nila goreng. Jangan lupa menaburkan irisan cabai dan asam nipis di atasnya.

Di letakkannya di dalam tudung saji, kemudian berlalu pergi ke arah kamar mandi. Berendam dengan air panas mungkin akan membuat kepalanya sedikit rileks.

Keluar dari kamar mandi dengan rambut yang di gulung handuk, Arun kaget saat melihat Kalla masuk. Tubuhnya yang lelah itu, ia rebahkan di atas sofa.

"Mandi sana. Keringat lo bau busuk." Arun mencibir. Laki-laki itu segera bangkit, kemudian duduk menatap Arun.

"Run, pijitin dong?" ujarnya.

Arun menatapnya ngeri. "Emang gue babu lo apa?" Dia menatap Kalla sengit.

"Badan saya pegal nih."

"Yaa bodoh. Badan-badan lo juga."

"Pelit bener." Kalla segera berdiri kemudian melangkah ke arah dapur. Arun duduk di sofa kemudian menyalakan televisi.

"Wih, ini kamu yang masak?" tanya Kalla dari arah dapur. Arun menoleh kecil. "Ya iya lah. Siapa lagi."

Tidak ada jawaban apapun dari Kalla. Laki-laki itu sibuk dengan nasi di piringnya dan ikan masakan istrinya. Karena penasaran dengan kegiatan Kalla di dapur, Arun menghampirinya.

"Serius bener makannya. Enak?" tanyanya penasaran.

"Hmm, enak." Kalla menikmati ikannya. Arun berdecak kesal. "Lo cuma mau ngehargai gue kan, makanya bilang tuu ikan enak? Udah deh. Jujur aja."

"Di bilangin nggak percaya." Kalla kembali menyuapkan ikan ke dalam mulutnya.

Arun memandangnya curiga. "Pasti asin lagi kan? Kenapa nggak jujur aja sih lo? Nyebelin banget, heran."

Kalla berdecak sebal kemudian bangkit. Dia mencubit ikan goreng tersebut, kemudian memasukkannya ke dalam mulut Arun.

"Naahh. Aaaa dulu. Rasain ikannya. Supaya kamu nggak bilang saya bohong," ucap Kalla. Arun terkejut dengan perlakuan suaminya.

"Enak kan?" tanya Kalla.

Arun mengunyah ikan di mulutnya. "Hmm, enak sih. Pedas asam."

"Tuh. Kamu kira saya bohong?" tanya Kalla. Keadaan berubah canggung saat keduanya tersadar pada posisi masing-masing. Kalla berada tepat di hadapan Arun. Bahkan deru napas keduanya terdengar sangat jelas satu sama lain.

ArunKalla The Best SkenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang