7. Buntut Ayam

100 19 0
                                    

"Duh, nih orang ke mana dah?"

Arun berulang kali mengecek jam di ponselnya. Ini sudah hampir jam empat sore, namun Kalla belum juga datang untuk menjemputnya.

"Kalau gini mending gue bawa motor aja tadi." Dia berdecak malas.

Sembari mengayun-ayunkan kakinya di bangku, perempuan itu menoleh saat seseorang memanggilnya.

"Pak Wilson?" Senyumnya mengembang. "Bu Arun kenapa belom pulang?" tanya laki-laki dengan setelan kemeja batik dan celana keeper itu, sembari melangkah lebih dekat ke bangku Arun.

"Oh ini lagi nunggu jemputan," jawab Arun sekenanya.

"Kalau kamu nggak keberatan, kita boleh pulang bareng."

Arun segera menggeleng menolak tawarannya barusan. "Ah nggak usah, Pak. Nanti saya malah di cariin."

Wilson mengangguk-angguk kecil. "Yaudah kalau begitu. Saya temani Bu Arun nungguin jemputan, bagaimana?"

Arun tertawa kecil. "Nggak usah sebenarnya, Pak. Tapi kalau Bapak mau sih nggak masalah."

Laki-laki itu tersenyum simpul. Keduanya berbicara banyak hal. Mulai dari jenis kopi yang mereka sukai, genre musik, lokasi wisata yang menyenangkan. Pokoknya hal yang mereka sukai masing-masing. Bahkan Kalla dan Arun tak pernah berinteraksi sejauh ini mengenai hal-hal pribadi seperti ini.

Hingga jam yang sudah menunjukkan pukul lima sore, Kalla tak kunjung datang. Arun sudah mengirimkan pesan padanya tadi. Namun pesan miliknya hingga sekarang hanya centang satu.

Wilson angkat suara. "Bu Arun memang masih ingin menunggu? Ini bahkan udah hampir maghrib. Apa ibu tak mau pulang bersama saya saja?"

Arun menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. Dia canggung sekali jika ingin menolak tawaran laki-laki ini.

Tapi di lain sisi, dia juga ingin pulang saja saat ini. "Bagaimana, Bu Arun?" Wilson kembali bertanya.

"Emm, sebentar ya Pak. Saya tanya dulu, dia jadi jemput saya apa nggak."

"Oh silahkan, Bu."

Arun membuka beranda chat nya dengan Kalla. Sama saja hasilnya. Chatnya masih centang satu.

Arun

Woi
Lo nggak jadi jemput?
Kalau nggak jadi, gue pulang nih


"Gimana, Bu Arun?"

Arun kembali menoleh. "Emm, kayanya saya pulang sama Bapak aja. Tapi nggak masalah kan? Nggak ngerepotin ini?"

"Oh enggak sama sekali."

Arun mengangguk kecil. Keduanya berjalan ke arah parkiran. Arun hendak masuk ke dalam mobil, namun mobil Kalla malah muncul. Arun mengurungkan kembali langkahnya.

"Kayanya gak jadi deh. Jemputan saya udah datang, Pak."

"Oh begitu, yaudah Bu. Saya pamit pulang lebih dulu," ucap Wilson. Arun mengangguk seraya tersenyum tipis.

Begitu mobil Wilson menjauh pergi, Arun segera menghampiri Kalla yang baru saja turun.

"Gila lo ya? Mau buat gue jadi orang pinggiran? Lo punya jam nggak? Ini udah jam berapa coba? Gue udah nungguin lo mulai jam dua. Sekarang udah hampir maghrib anjir."

Kalla menghela napasnya. "Iyaa, maaf. Tadi ada meeting di kantor. Nggak mungkin saya tinggalin. Saya orang penting juga di rapat—"

ArunKalla The Best SkenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang