"Jangan kangen yaa sama saya."
Senyum laki-laki itu terbit begitu saja. Perempuan berkaos abu-abu itu menatapnya dengan tatapan sebal. Bayangkan saja, karena suaminya itu menyuruhnya untuk menemaninya ke bandara pagi ini, dia tak mengajar di sekolah.
Bukan hanya itu saja, Kalla juga memintanya untuk kembali lagi ke kantor karena beberapa kemeja kotornya tertinggal di ruang kerjanya. Lagi dan lagi Arun harus di repotkan oleh laki-laki itu.
"Najis banget, iww."
Kalla semakin mengeraskan tawanya. Laki-laki itu mendekatkan posisinya ke arah Arun, kemudian membisikkan sesuatu yang membuat Arun bergidik ngeri.
"Saya takut kangen sama kamu."
Buru-buru Arun membuang pandangannya. "Gausah gila." Begitu mengucapkan hal tersebut, Arun buru-buru menjauh pergi, walau Kalla sempat menahan tangannya. Perempuan itu jauh lebih kuat kali ini. Sekitar setengah jam berlalu, Kalla memasuki pesawat.
Jantung perempuan itu berdenyut kencang. Ada banyak argumen-argumen bodoh yang melintas di pikirannya. Namun, buru-buru Arun menggelengkan kepalanya. Pesawat itu akan mendarat di Sulawesi dengan selamat, katanya meyakinkan dirinya sendiri.
Sebelum pesawat yang di tumpangi Kalla berangkat, ada satu pesan suara yang Kalla kirimkan pada istrinya. "Run, jangan tidur kemaleman yaa. Jaga kesehatan meski nanti kamu pasti lebih sering makan di luar karena malas masak. Nanti kalau sudah sampai di Sulawesi, akan segera saya kabari." Arun yang mendengar pesan suara itu, mendadak mematung. Ada desiran aneh di dadanya.
***
Begitu taksi yang di tumpangi Arun sampai di sebuah gedung tempat dimana Kalla bekerja, dia segera di sambut hangat oleh satpam yang berada di pos. "Istrinya Pak Kalla toh?" tanya laki-laki paruh baya itu. Senyum Arun terbit sekilas. Rupanya dia di kenal. "Ada keperluan apa toh Mbak? Bukannya tadi Pak Kalla baru berangkat ke Sulawesi ya?" tanya dia ramah.
Arun mengangguk kecil. "Hm, saya ingin ke ruang kerja Kall--emm maksud saya suami saya. Ada beberapa barang yang harus saya ambil."
Satpam tersebut mengangguk mengerti. "Apa perlu saya antarkan Mbak?" tawarnya. Buru-buru Arun menggeleng kecil. "Nggak perlu Pak, saya bisa sendiri. Bapak lanjutin aja kerjaannya." Perempuan itu tersenyum simpul.
Sebelumnya Arun belum pernah ke sini. Namun, seperti keterangan yang di berikan oleh Kalla, ruang kerjanya berada di lantai lima nomor tiga belas. Cukup mudah di temukan karena Arun hanya akan menaiki lift, lalu belok ke arah kanan.
Baru saja Arun hendak memasuki ruangan Kalla yang ternyata sedang terbuka, seorang perempuan dengan kemeja kasual berwarna coklat terang keluar dari dalam. Arun tersentak kecil.
Perempuan yang sedikit lebih tinggi darinya itu, menatapnya mulai dari ujung kaki hingga kepala. "Kamu istrinya Kak Sandy yaa?" tanya dia dengan sorot mata penasaran.
Arun mengernyit kecil. "Sandy siapa? Gue nggak nikah sama laki-laki yang namanya Sandy." Begitu mendengar jawaban dari Arun, perempuan berkulit putih bersih itu segera menggelengkan kepalanya cepat.
"Sorry-sorry. Aku panggil dia Kak Sandy soalnya. Bukan Kalla."
Arun hanya mengangguk kecil. "Udah ngomongnya? Gue mau masuk ke dalam," katanya yang sontak membuat perempuan itu kesal. "Oh jadi, kamu beneran istrinya?" tanya perempuan itu dengan nada seperti mengejek.
Arun menatapnya dengan lirikan tajam. Ingin sekali rasanya, ia memaki-maki perempuan di hadapannya ini. "Ya terus kenapa? Lo suka yaa sama Kalla? Dan, buat apa lo keluar dari ruang kerjanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ArunKalla The Best Skenario
Genel KurguIbarat sebuah puzzle yang tak bisa lengkap karena telah kehilangan sepotong bagiannya, Kalla menjadikan Arunika sebagai potongan tersebut. Potongan puzzle yang mati-matian Kalla usahakan, yang di cari-cari setiap saat agar puzzle nya utuh seluruhnya...