Gedung tempat Kalla bekerja.
Jika di bandingkan dengan lebar lokasi tempat Kalla bekerja dahulu, tentu saja gedung yang ini kalah jauh. Bahkan hanya berkisar setengah bagiannya saja. Tapi Kalla jauh lebih bersyukur berada di tempat ini. Selain tak menerima kekangan dari Bos, karyawan di sini juga jauh lebih ramah, meski Kalla sedikit kurang di hargai sebab dirinya hanya karyawan biasa.
Dengan tungkai yang ringan, Kalla sampai di ruangannya. Ruangan yang sudah ia tempati puluhan hari. Meletakkan tas, Kalla segera duduk di bangkunya. Karyawan lainnya melakukan aktivitasnya seperti biasa.
"Ku dengar-dengar Pak Rozi akan menikah. Pernikahannya di luar kota. Tapi entahlah, belum ada kepastian dari beliau."
"Menikah? Tapi berita yang ku dengar, dia ke luar kota karena saudaranya meninggal."
"Ah berita simpang siur memang sangat sulit untuk di percaya. Lebih baik kamu tanya saja langsung."
Kalla yang juga cukup penasaran, segera beranjak dari bangkunya. Rozi itu kan temannya, seharusnya ia tahu lebih dulu mengenai kabarnya bukan? Dengan menggunakan lift hingga ke lantai lima, sampailah Kalla di depan ruangan Rozi. la mengetuk pintu ruangan tersebut. Tak ada sahutan dari dalam, sehingga membuat Kalla tergerak untuk mendorong handle pintu.
Terbuka. Kalla melangkah pelan ke dalam. Tak ada Rozi di sana. Ruangan ini sama besarnya dengan ruangan Kalla saat bekerja di perusahaan Wijaya. Sementara di sini, ruangan Kalla lima potong bagian dari besar ruangan ini. Sungguh, Kalla tak berbohong. Ada sebuah meja persegi panjang, di belakangnya ada kaca yang tembus pada gedung-gedung kota jakarta.
Pemandangan kota tersebut sedikit tertutup karena gorden yang menjuntai. Kalla menyibak nya pelan, sehingga cahaya matahari yang masuk, sontak membuat matanya sakit. Ini baru di lantai lima. Jadi tak terlalu tinggi jika di banding gedung perusahaan Wijaya. Dari atas sini, parkiran masih terlihat cukup jelas. Indra penglihatan Kalla masih berfungsi dengan sangat baik.
Di bawah sana, terlihat Rozi yang keluar dari sebuah mobil berwarna putih terang. Mobil yang cukup mewah, sebab harganya bernilai setengah miliar. Kalla ingat sekali jika mobil itu bukanlah mobil yang sering Rozi bawa ke kantor. Kalla hendak melangkah keluar, namun sebuah berkas di atas meja membuat matanya memicing. Di raihnya kertas tersebut.
"Bukti penyetoran dana Namyang Group, Hongkong."
Kalla berdesis pelan, seraya membaca lembar berikutnya. Jantungnya seperti berhenti memompa. Raut wajahnya berubah masam. Dengan penasaran, di bacanya lembar per lembar, hingga kedua retinanya nyaris angkat kaki. "Transaksi jual beli narkoba?" Ada tanda tangan Rozi di bawahnya dan salah seorang yang Kalla tebak bos perusahaan Namyang Group.
"S-sejak kapan, Rozi?"
"Sandy? Sejak kapan lo di sini?"
Berkas yang sedari tadi Kalla baca, buru-buru ia lepaskan. "Rozi, gue cariin lo dari tadi. Dari mana?" Kalla tersenyum simpul.
Rozi melirik Kalla kebingungan. Raut wajahnya tak bisa menutupi betapa ia jengkel perihal Kalla yang masuk ke ruangannya sembarangan. "Lo ada keperluan apa, masuk ke ruangan gue sembarangan? Bukan berarti karena kita temen, lo bisa kurang ajar kan?"
Rozi duduk di bangku, seraya menatap Kalla dengan tampang datar. "Sorry, tadi karyawan lainnya ngomong. Katanya lo ada kepentingan ke luar kota." Kalla berusaha beralasan sebisanya.
Rozi mengangguk cepat. Di ambilnya berkas dari atas meja, yang berada tepat di atas berkas yang Kalla baca. Syukur reflek Kalla cukup baik untuk mengembalikan berkas yang sempat ia baca di tempat semula. Dia sendiri tak yakin apakah Rozi sadar apa tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
ArunKalla The Best Skenario
General FictionIbarat sebuah puzzle yang tak bisa lengkap karena telah kehilangan sepotong bagiannya, Kalla menjadikan Arunika sebagai potongan tersebut. Potongan puzzle yang mati-matian Kalla usahakan, yang di cari-cari setiap saat agar puzzle nya utuh seluruhnya...