39. Sebuah Kebodohan

72 6 0
                                    

Dengan setengah sadar, laki-laki dengan kemeja acak-acakan itu bangkit dari atas springbed yang sprei nya tak terpasang rapi lagi. Kepalanya masih sangat sakit, sehingga ia berjalan sempoyongan. Dengan usaha penuh, ia menuju meja kecil di seberang pintu. Segera di teguk nya air di dalam gelas hingga tandas setengah.

Kekuatan air putih sungguh membuat kepalanya berhenti berdengung. Matanya mulai melihat ruangan ini dengan jelas. Tersadar akan sesuatu hal, buru-buru ia mencari jejak sang kekasih. Bola matanya nyaris keluar saat tak menemukan perempuan itu.

Bergerak ke laci meja, kakinya nyaris meluruh ke lantai, sebab tak menemukan apapun di sana. Mulai dari dompet, ponsel, bahkan kunci mobil sekalipun. Matanya nyaris memerah, emosinya naik hingga ke ubun-ubun.

Di raihnya gagang telepon di seberang meja. Begitu mengetik beberapa nomor yang tak lain adalah nomor sang kekasih, Rozi sontak melemparkan telepon tersebut karena panggilan telepon dari nya di tolak.

Laki-laki itu dengan terburu-buru menuju kamar mandi. Di kenakannya kaos abu-abu, lalu dengan cepat keluar untuk mencari taksi. Dia harus segera sampai kantor nya, dan meminta asistennya untuk mencari kekasihnya. Mengertak malas karena tak ada taksi yang lewat, Rozi dengan tanpa pikir panjang berdiri di tengah jalan untuk memberhentikan sebuah mobil pribadi.

"Mohon maaf Mas, saya buru-buru ke rumah sakit. Saya gak bisa bantu Mas."

"Ah tai lu! Mobil murah gitu doang belagu."

Mobil tersebut berlalu pergi. Rozi dengan begitu depresi, kembali memberhentikan sebuah mobil. Kali ini taksi yang lewat.

"Maaf, saya lagi gak cari penumpang."

"Berisik lu! Pokoknya anterin gue sekarang, ongkosnya gue kasih dua kali lipat!"

Begitu terjadinya kesepakatan, akhirnya Rozi di bawa sang sopir taksi ke kantor. "Pak, punya handphone gak?" tanya Rozi cepat, seraya menepuk pundak sang sopir.

"Ya punya lah. Manusia mana yang gak punya handphone zaman sekarang?"

"Kalau punya, yaudah pinjem!" Buru-buru Rozi menarik ponsel sopir tersebut, dari atas dashboard.

"Lah, elu sendiri kagak punya handphone. Gimana sih?" Sang sopir yang  kesal, melirik Rozi dengan ogah-ogahan.

Begitu nomor tujuan Rozi tersambung, buru-buru laki-laki itu berteriak. "Lo mau gue coblosin ke penjara hah? Balikin dompet, handphone sama kunci mobil gue!"

"Rozi, Rozi. Setelah lo buat gue hamil dan gak mau tanggung jawab, lo pikir gue mau maafin lo gitu aja kayak di sinetron? Gapapa kalau lo gamau nikahin gue! Gue gak akan maksa. Yang penting, gue punya banyak uang."

"Anj——"

Belum sempat melanjutkan ucapannya, panggilan segera terputus. Rozi kembali menghubungi nomor sang kekasih, namun nomornya malah di blokir. Dengan kesal setengah mampus, hampir saja Rozi membanting ponsel tersebut. Syukur sang sopir buru-buru merebutnya.

"Lu pikir handphone lu apa? Main banting-banting aja! Baru gue beli ini!" seru sang sopir.

Rozi tak menggubris lagi. Dia asik menggigit bibirnya, semua kartu kredit nya ada di dalam dompet. Dan kekasihnya itu tahu semua pin nya.

Begitu sampai di kantor, Rozi mengernyit kebingungan saat melihat mobil polisi mengerubungi lokasi. Bahkan ada garis polisi di mana-mana.

"Sampai sini doang kan? Mana ongkosnya? Dua kali lipat loh."

Rozi yang kini kelimpungan, kembali merebut ponsel sang sopir. "Pinjem bentar. Gak gue banting kok!" ucap Rozi kemudian menghubungi nomor sekretaris nya.

ArunKalla The Best SkenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang