".... nah makanya itu, saya mengusulkan gagasan untuk membuat aplikasi E-comerce ini. Saya sangat yakin, jika konsep yang saya paparkan ini, dapat meningkatkan value dari perusahaan kita. Para konsumen akan menghabiskan waktu mereka dengan se efesien mungkin. Mau di mana pun, berbelanja akan jauh lebih mudah melalui aplikasi ini. Mereka tidak akan lelah berkendara menuju tempat perbelanjaan. Mungkin demikian presentasi dari saya, apabila ada masukan atau ...." Kalla menggantung ucapannya. Udara di tenggorokannya menyempit.
Suasana ruangan ber-AC itu tiba-tiba hening. Laki-laki itu sedikit panik karena merasa presentasinya tidak dapat memuaskan klien yang ada di sana. Kalla mendadak mematung. Merasa sangat gugup, namun berusaha menutupinya.
"Atau .... sanggahan dari Bapak, dan tamu-tamu kami yang terhormat. Saya persilahkan." Napasnya berderu.
Ini bukanlah kali pertama dia presentasi. Namun akhir-akhir ini, fokusnya sedikit terganggu. Dia tidak terlalu mantap dalam berkonsentrasi seperti dulu. Mungkin karena klien kali ini berasal dari pemilik perusahaan yang menanamkan saham terbanyak, atau mungkin karena hubungannya dengan Arun?
Tatapan nya, beralih pada Wijaya. Laki-laki itu hanya diam, namun pada akhirnya dia tersenyum. Tepuk tangan segera terdengar menghiasi ruangan itu. Mendadak Kalla tersenyum lega.
"Bagus. Saya suka ide kamu. Ide kamu cemerlang. Saya suka."
Salah satu klien kembali berujar, "Woah. Itu ide yang sederhana. Namun mengandung individualitas tinggi. Saya sangat suka."
"Persepsi kamu menarik. Kita lihat ke depannya ya? Semoga pembuatan aplikasi ini berhasil."
"Terima kasih. Kita harus mempererat kerja sama demi kemajuan perusahaan." Kalla tersenyum lebar.
"Saya sangat bangga sama kamu, Sandy. Saya gak salah jadiin kamu sebagai asisten. Saya sangat berharap penuh, jika kamu berhasil dengan konsep kamu ini." Wijaya memberikan masukan.
Kalla tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. "Terima kasih, Pak. Saya usahakan sebaik mungkin."
Setelah rapat tersebut selesai, dan seluruh klien melenggang pergi, Kalla masih ada di dalam. Berdua dengan Wijaya.
"Sandy, pokoknya saya sangat senang sama kamu hari ini. Klien tadi benar-benar puas dengan presentasi kamu."
"Terima kasih, Pak. Itu karena dukungan dari Bapak juga." Kalla tersenyum. Rasanya sangat bahagia ketika presentasinya berjalan lancar dan mendapatkan pukulan yang memuaskan.
Wijaya menepuk-nepuk pundak Kalla tiga kali. "Nanti malam. Ajak anak saya kencan."
Air muka Kalla segera berubah.
"Kamu tau anak saya sangat mencintaimu kan? Tolong jangan buat dia kecewa." Setelah mengatakan hal tersebut, Wijaya melangkah pergi. Kalla, termangu seketika.
***
Knop pintu kembali tertutup. Kalla melangkah ke dalam rumah dengan kaki yang setengah di seret. Dia duduk di sofa dengan pikiran yang berkecamuk. Wijaya ternyata masih tetap sama. Bagaimanapun ceritanya, Kalla tak akan pernah tertarik dengan Alexandria. Perasaan tak akan pernah bisa di paksakan.
Kalla sadar betul. Wijaya tak pernah bermain-main dengan ucapannya. Dia laki-laki yang sangat tegas dengan ucapannya, meski terkesan seperti Bapak untuk Kalla sendiri. Napasnya kian berderu. Ada rasa cemas bercampur takut yang menimpuki punggungnya.
"Kalla ...."
Suara menenangkan itu, membuat Kalla spontan berbalik. Pandangan keduanya saling bertubrukan. "Lo udah balik?" Pertanyaan retoris aneh yang terucap dari mulut Arun.
KAMU SEDANG MEMBACA
ArunKalla The Best Skenario
General FictionIbarat sebuah puzzle yang tak bisa lengkap karena telah kehilangan sepotong bagiannya, Kalla menjadikan Arunika sebagai potongan tersebut. Potongan puzzle yang mati-matian Kalla usahakan, yang di cari-cari setiap saat agar puzzle nya utuh seluruhnya...