Sepulang dari rumah sakit, Arun dan suaminya sepakat untuk memberitahukan kabar kehamilan ini pada Somad. Yang benar saja, begitu sang Ayah tahu, pria paruh baya itu memutuskan untuk berkunjung ke tempat kediaman sang anak dan menantu besok pagi.
Arun dan Kalla begitu terbuka menyambut. Bahkan Kalla yang membeli tiket bus ayah mertuanya secara online. Ah sebetulnya jarak rumah mereka tak terlalu jauh hingga harus menggunakan pesawat. Hanya menggunakan bus saja, perjalanan bisa di tempuh beberapa jam.
Perihal Ayaa, gadis itu sudah pulang lebih awal. Katanya masih ada tugas kuliah. Besok dia akan kembali berkunjung ke rumah Arun dan Kalla untuk bertemu Ayah.
"Ayam goreng penuh cinta datangg."
Arun menoleh kemudian segera tertawa. Senyumnya mengembang sempurna.
"Anak Ayah harus ngerasain ayam goreng penuh cinta. Siapa tahu aja kan, pas lahir nanti dia mirip Mas."
Lagi, Arun tersenyum.
Di terimanya piring berisi beberapa potong ayam tersebut. Harumnya cukup menggoda. Selepas itu, Kalla dengan sigap membawakan semangkuk pakcoy rebus. Di atasnya di taburi irisan bawang merah yang sudah di goreng.
"Biar kandungan kamu sehat. Mas bakalan usahain apapun supaya kebutuhan gizi kamu sama dedek terpenuhi."
Arun mengangguk kecil.
Keduanya menikmati hidangan tersebut dengan cukup khidmat. Suara dentingan sendok bergesekan dengan piring terdengar. Arun akui masakan suaminya ini cukup enak.
"Besok kalau Ayah datang, Mas jemput di terminal nggak?" tanya Arun seraya memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
"Ayah bakalan sampai cepat sih itu. Paling jam dua belas udah sampai. Nanti Mas sesuaikan sama jadwal Mas, yaa Run."
"Gausah juga gapapa, Mas. Aku bisa jemput naik motor."
"Run?" Kalla meletakkan sendoknya ke atas piring. Fokusnya kini sudah teralihkan sepenuhnya pada Arun, "gak bisa gitu dong. Kamu kan lagi hamil. Gak boleh capek-capek amat."
Arun menghela napasnya. Sendok yang perempuan itu pegang kini ia letakkan juga di atas piring. "Ini baru hamil muda loh, Mas. Setahu aku gapapa kalau sekedar jemput aja. Gak capek-capek amat. Terkecuali aku udah hamil tua, udah harus istirahat yang banyak di rumah. Hal kecil kayak gini masih bisa aku handle, Mas. Tenang aja deh."
"Ini yang buat aku sering cemas sama kamu, Run. Kamu tuh selalu anggep hal kecil sebagai hal biasa. Jangan sepele deh."
"Engga sepele, Mas. Ini wajar aja kok. Baru tiga minggu. Gak usah terlalu di khawatirkan."
"Justru karena masih muda banget, Run. Janinnya masih kurang kuat. Mas jauh lebih ngerti dari kamu deh, heran."
"Jadi maunya Mas gimana? Aku diam-diam aja gitu, di rumah? Mana mau aku. Aku bisa stress nantinya."
"Run ... "
"Bahkan aku punya rencana masuk kerja ke minimarket kemarin. Mereka udah hubungi nomor aku semalam. Katanya udah bisa masuk kerja."
"Serius, Run? Serius kamu buat Mas kesel? Kamu jemput Ayah aja Mas gamau. Apalagi sampai kerja di minimarket coba? Kamu bakalan nyapu ngepel di sana. Padahal kamu punya suami yang bisa kerja. Aneh deh, kamu ini."
"Mass ... "
"Nggak ngerti kamu ini. Kamu gak ngerti kalau Mas itu khawatir sama kamu. Mas gak pernah minta kamu kerja loh."
"Mas, dengerin aku dulu." Arun segera menyentuh punggung tangan Kalla, "biarin aku kerja yaa? Gausah besok deh. Lusa juga boleh. Yang penting aku kerja, aku gak akan betah nganggur."
KAMU SEDANG MEMBACA
ArunKalla The Best Skenario
Fiction généraleIbarat sebuah puzzle yang tak bisa lengkap karena telah kehilangan sepotong bagiannya, Kalla menjadikan Arunika sebagai potongan tersebut. Potongan puzzle yang mati-matian Kalla usahakan, yang di cari-cari setiap saat agar puzzle nya utuh seluruhnya...