Malam itu, sekitar jam tujuh, Kalla sampai di rumah dengan selamat. Dia berangkat dari Sulawesi tadi pagi, dan ingin memberikan kejutan pada Arun. Tadi, saat dia mengatakan tak bisa pulang pada Arun melalui pesan suara, tengah itu dia sedang berada di bandara.
Dia memang sudah dari lama ingin memberikan kejutan. Bahkan, dia membawakan oleh-oleh dari Sulawesi. Begitu Kalla mendorong handle pintu, dia kaget. Pintu tak di kunci sama sekali. Padahal sudah malam. Tak biasanya Arun lupa mengunci pintu malam-malam begini. Begitu Kalla menarik kopernya masuk, ponselnya berdering.
Buru-buru dia meraih ponselnya di dalam saku. Alexandria yang menelepon. Karena malas menjawab teleponnya, dan takut jika Arun segera sadar dia pulang, Kalla segera menolak panggilan telepon itu.
Sandyakalla
Iya Xan?
Alexandria
Udah sampaii?
Kenapa panggilan telepon aku di tolak?Sandyakalla
Udh sampai.
Nanti ku telpon balik
Pintu kembali di tutup. Kalla menyimpan ponselnya di dalam saku. Begitu sampai di ruang tamu, laki-laki itu kaget saat melihat gulungan tisu berserakan di lantai.Handuk basah juga tersampir di sofa. Ini bukan Arun yang Kalla kenal. Biasanya, Arun akan selalu menggantungkan handuk basah.
Buru-buru Kalla memindahkan handuk tersebut, lalu melangkah ke arah kamar. Dia merasa ada yang kurang beres. Tak mungkin juga kan, sikap Arun berubah sembilan puluh derajat saat Kalla tak di rumah?
Kalla kaget saat melihat Arun—terbaring di atas kasur dengan keadaan mengigil. Buru-buru Kalla menggapai tubuh Arun, seraya bertanya,
"Arun, kamu kenapa?"
Nada suaranya sangat jelas menandakan bahwa dia panik. Arun yang juga kaget, menatap Kalla dengan bola mata yang nyaris keluar.
"Sejak kapan lo balik? Katanya gak jadi." Bibirnya sedikit bergetar.
"Nanti dulu bahasnya. Kamu kenapa bisa gini sih?" Kalla menempelkan punggung tangannya pada kening Arun.
"Kehujanan gue mah."
"Udah minum obat belum?" Kalla menatap Arun cemas.
"Belom."
"Loh? Kenapa? Udah tau sakit. Tinggal minum obat susah amat?" Kalla segera beranjak mencari obat di dalam laci.
"Ya mudah aja sih. Tapi lihat dulu kondisinya. Gue gak bisa minum obat kalau belom di ancurin. Ancurin obat perlu tenaga. Gue gak punya tenaga lagi deh ini."
Kalla menaikkan alisnya. "Yaudah bentar. Obatnya di halusin dulu." Dengan buru-buru Kalla ke dapur untuk mengambilkan sendok, tapak, dan segelas air hangat.
Karena Kalla datang dengan mengenakan kemeja lengan panjang, Kalla buru-buru menggulung kemejanya lalu duduk di sebelah Arun.
Dia menghancurkan satu tablet obat penurun demam, lalu mencampurkannya dengan beberapa tetes air hangat, hingga berubah jadi bubur.
"Bangkit dulu, Run."
Kalla memberikan interupsi agar Arun duduk bersandar. Kalla juga memperbaiki bantal, agar Arun bisa bersandar dengan enak di dinding.
Setelah menyuapkan obat tersebut pada Arun, Kalla segera membantu Arun minum.
"Udah, gue mau lanjut tidur dulu."
"Bentar duluu. Ini demam kamu masih tinggi banget. Saya kompres ya?"
"Nggak. Nggak mempan." Arun berucap cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ArunKalla The Best Skenario
Ficção GeralIbarat sebuah puzzle yang tak bisa lengkap karena telah kehilangan sepotong bagiannya, Kalla menjadikan Arunika sebagai potongan tersebut. Potongan puzzle yang mati-matian Kalla usahakan, yang di cari-cari setiap saat agar puzzle nya utuh seluruhnya...