Segelas kopi terletak di atas meja. Itu kopi pertama buatan Arun. Lebih tepatnya kopi yang perempuan itu buat di saat ia tengah mengandung. Aroma kopi yang dahulu ia hidangkan cukup enak di indera penciuman nya, akan tetapi kali ini tidak. Aromanya membuat Arun berulang kali mual.
"Tadi juga Mas udah bilang, kan? Gausah buat kopi kalau kamu gak suka baunya." Kalla tak bosan-bosannya melirik Arun. Perempuan itu sibuk dengan hidung yang di jepit dengan kedua jari. Sedikit menggelitik perut Kalla.
Perempuan itu berdesis malas kemudian duduk menjauh dari sang suami. "Kan aku juga gatau bakalan gini. Aku gak kepikiran kalau tiba-tiba gak suka bau kopi."
"Biasa itu, Run. Mungkin karena kamu lagi hamil." Kalla segera menyeruput kopi di hadapannya, kemudian segera bangkit untuk membuang setengahnya ke dalam wastafel. Begitu bau kopi itu menghilang, Arun berjalan mendekat ke arah suaminya. Jepitan pada hidungnya juga ia lepas.
"Kok di buang? Sayang banget."
"Yaa ... dari pada Mas lihat kamu gak seneng gitu sama bau nya? Gimana coba? Nikmat seduhan kopinya engga ada lagi. Karena kamu gak duduk di samping Mas." Kalla berdiri di hadapan Arun.
"Hahaha, maaf yaa Mas? Padahal ngopi sebelum kerja itu nikmat pol." Arun tergerak untuk merapikan dasi yang laki-laki itu kenakan. Kalla sangat menyenangi aktivitas ini.
Dia tak berhenti tersenyum.
Tidak luput indera penglihatannya menikmati pemandangan cantik di hadapannya kini. Terkadang ia heran pada Sang Kuasa. Sebaik apa dirinya di masa lalu sehingga ia di pertemukan dengan perempuan seperti istrinya?
Tangannya yang kokoh bergerak melingkari pinggang kecil istrinya. Keduanya nyaris tak berjarak, sehingga deru napas Arun bisa terdengar jelas di telinga Kalla. "Kalau perut kamu udah mulai gede, kita gak bisa lagi pelukan gini, tau?" Kalla berujar ringan yang menghasilkan derai tawa dari istrinya. Tawa yang begitu merdu, yang senantiasa ingin Kalla dengar di kala harinya terlalu biru.
" ... makanya harus sering-sering pelukan." Laki-laki itu kembali berujar.
"Dasinya udah rapi." Arun menjauhkan tangannya dari dada suaminya itu.
"Terima kasih yah, Sayang." Pelukan Kalla terlepas sempurna. Namun jarak mereka masih sama.
"Nanti jangan lupa jemput Ayah di terminal."
"Yaaa, siap. Mas gak bakalan lupa."
Arun mengangguk sekali. Pergerakan Kalla yang tiba-tiba menunduk di bawahnya, membuatnya sedikit kaget. "Anak Papah ... Papah berangkat kerja dulu yaa? Jangan bandel sama Mamah. Jangan rewel! Lihat, Mamah jadi gak suka bau kopi. Padahal dulunya mah suka banget. Tapi gak apa-apa. Kamu cukup gak rewel aja. Biar Mamah bisa bobok nyenyak ya, Sayang?" Sentuhan Kalla pada perutnya, membuat Arun tersenyum geli.
Sebuah kecupan mendarat kembali pada perutnya. "Cepat gede yaa? Nanti Papah ajak dedek mancing."
"Heh! Kalau anaknya cewek gimana?" Arun segera angkat suara.
"Loh? Cewek juga banyak yang doyan mancing."
"Tapi kan jarang, Mas!"
Perdebatan kecil keduanya terasa begitu hangat pada pagi hari ini. Kalla berangkat kerja tepat pada pukul 07.40, sementara Arun memilih untuk bersih-bersih rumah, demi menyambut Sang Ayah dari kampung halaman. Mari berdoa agar kebahagiaan keduanya berlangsung selamanya.
***
Langkah Kalla berhenti pada sebuah ruangan bertuliskan 'Ruang Rapat'. Dengan satu tarikan napas, laki-laki itu mendorong handle pintu. Belum ada siapapun di dalam sana kecuali sekretaris Rozi. Orang yang menghubungi istrinya kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
ArunKalla The Best Skenario
General FictionIbarat sebuah puzzle yang tak bisa lengkap karena telah kehilangan sepotong bagiannya, Kalla menjadikan Arunika sebagai potongan tersebut. Potongan puzzle yang mati-matian Kalla usahakan, yang di cari-cari setiap saat agar puzzle nya utuh seluruhnya...