Di depan sebuah sungai kecil. Dengan pinggiran batu-batu yang telah di sulap menjadi sebuah bangku. Somad—ayah Arunika tengah memancing dengan beberapa kawannya. Mereka ada berempat di sana. Salah satu laki-laki berpeci hitam, dengan kaus berwarna hijau tua berujar. "Anak Pak Seno baru menikah kemarin. Hebat dia, punya menantu polisi."
Laki-laki bersarung tak mengenakan atasan, menoleh kecil sembari memperbaiki tali kailnya. "Pak Seno yang tukang es batu itu toh?" tanya dia.
"Iya. Hebat dia, punya menantu polisi." Laki-laki paruh baya berkaos hitam kembali menyahut.
"Polisi sedikit gajinya atuh. Nggak terlalu bikin puas. Padahal biaya masuknya ratusan juta." Kini laki-laki berbaju merah yang berujar. Dia tertawa di akhir kalimatnya.
"Yaaaa tergantung pangkat nya la, Pak Fadil. Menantu Pak Seno pangkatnya sudah keren. Tapi kalau ku dengar-dengar dari istriku, rumahnya masih ngontrak. Di Bandung."
Laki-laki yang di sebut Pak Fadil itu ber celetuk membalas, "Kalau pangkat nya sudah keren begitu, gajinya kok tak mampu membeli rumah? Haduh, bagaimana ceritanya."
"Yah namanya juga proses, Pak Fadil." Kini, laki-laki berkaos hitam yang berujar.
Di antara ketiga temannya yang sibuk berargumen, Somad masih saja diam. Dia malah teringat dengan menantunya. Menantunya orang kaya. Sudah beli rumah sendiri. Tapi, tak terlalu di kenal oleh orang-orang di kampung. Mereka jarang pulang ke sini.
"Kalau polisi mah, tak ada apa-apanya dengan menantu Pak Somad." Begitu namanya seperti terpanggil, Somad segera menoleh ke arah temannya.
"—kerja di perusahaan besar. Gajinya bukan main." Pak Fadil kembali berujar. Hal tersebut, membuat kedua temannya yang lain memandang Somad takjub.
"Kok Pak Somad tidak pernah ngomong?"
"Waduh hebat ya. Perusahaan apa?"
"Gajinya berapa digit?"
"Sudah isi apa belum anak mu, Pak Somad? Kapan punya cucu? Kau tidak kesepian seperti ini?"
Pak Somad menghela napasnya. Dia mengedarkan pandangannya pada sungai. "Kalian ini. Ribut sekali. Ikan di bawah sana melarikan diri. Pancinganku tak jadi di sentuh. Dasar taik, berisik!" serunya sebal.
Ketiga temannya tertawa kecil. Somad memandang sungai di hadapannya dengan ekspresi kesal. Apalagi ketika mendengar perkataan terakhir temannya.
"Sudah isi apa belum anak mu, Pak Somad? Kapan punya cucu? Kau tidak kesepian seperti ini?"
Laki-laki itu sedikit menunduk. Dia merindukan anaknya itu. Hendak menelpon, tapi pulsanya tak cukup untuk itu. Lagi pula, dia takut jika Arun sibuk bekerja. Somad takut mengganggu. Tak lama setelah itu, Somad segera membawa pancingan nya untuk pulang.
***
"Ya Allah. Baru juga nih motor di benerin. Udah rusak lagi. Ya ampun, cobaan apa lagi ini Lord. Hamba mu ini sudah kelewat miskin. Jangan nambah miskin lagi haduh." Aya merunduk melihat rantai motornya yang nyaris lepas.
"Mimpi apa sih guee? Nih motor bikin ulah melulu. Dasar taik." Aya segera bangkit kemudian mengedarkan pandangannya.
"Kak Arun sibuk gak ya? Tapi ini udah siang. Harusnya sih udah balik ngajar." Aya mengotak atik ponselnya dan——"Halo Kak Arunn! Aku lagi di jalan nih. Motorku rusak lagi, aku——" Aya menghentikan ucapannya, saat mendengar suara tangis laki-laki.
Samar-samar Aya mendengar. "Run, aku—aku gak sanggup. Aku harus apa." Rintihan itu semakin membuat Aya mematung.
"Run, aku harus apa? Kasih tau aku Run. Aku harus apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ArunKalla The Best Skenario
Ficção GeralIbarat sebuah puzzle yang tak bisa lengkap karena telah kehilangan sepotong bagiannya, Kalla menjadikan Arunika sebagai potongan tersebut. Potongan puzzle yang mati-matian Kalla usahakan, yang di cari-cari setiap saat agar puzzle nya utuh seluruhnya...