10 - Gara-gara Zavier

86 8 188
                                    

Setelah acara menggosip bersama, Saanvi memutuskan untuk menginap di rumah Rasika---menuruti permintaan teman barunya itu. Lagi pula, dia pasti akan kesepian kalau pulang ke rumahnya. Jadi lebih baik tinggal bersama Rasika dulu sementara suaminya dan suami Rasika belum kembali.

"Akhirnya aku punya teman juga," kata Rasika kesenangan. Saanvi dan dirinya sama-sama perempuan, jadi mengobrol pun bisa lebih nyambung daripada bersama Nick yang menang tak banyak bicara.

"Kalau saja Sadhvi sepertimu," balas Saanvi dengan senyum kecutnya.

"Bu Saanvi, tenang saja. Meskipun adikmu menyebalkan, ada aku, kan? Aku akan menjadi temanmu, sahabatmu, partner-mu, dan semuanya," ujar Rasika menepuk-nepuk pundak Saanvi.

Saanvi tertawa. "Baiklah, baiklah. Bagaimana kalau sekarang kita masak makan malam? Aku lapar sekali."

"Tentu saja. Lalu nanti kita makan sambil nonton film. Ayo."

Kedua wanita itu bergandengan tangan menuju ke dapur sambil mengobrol kecil-kecilan dan tertawa. Terlihat kompak sekali seperti sahabat lama atau mungkin malah saudara.

Di lain tempat, Harleen terus menggerutu karena dia sekali lagi bertemu dengan Zavier. Dia rasanya ingin mencak-mencak, kenapa takdirnya buruk sekali?

Sementara orang yang membuat Harleen kesal, Zavier, malah senyum-senyum sendiri layaknya orang kesenangan. Bersama Saira yang sudah tidak sadar dan menyandar di pundaknya, dia terus-menerus tersenyum. Harleen yang menyetir di depan sampai ingin sekali menendang pria itu keluar.

"Nona Harleen, Saira ini siapamu?" tanya Zavier lagi.

Harleen berdecak. Tadi Zavier sudah bertanya, tapi dia yang kesal lebih memilih tak menjawab dan membantu Saira masuk ke mobil, lalu pergi dari area club. Harleen kira penderitaannya akan sampai situ saja, tapi kabar buruknya adalah Zavier malah ikut. Katanya mau ikut menjaga Saira, jam kerjanya juga sudah habis, dan bermacam-macam alasan lain.

"Anakku," ketus Harleen.

Zavier menyeringai. "Sudah sebesar ini? Lalu kau menikah saat usia berapa?"

"Lima tahun," jawab Harleen sambil mengerling ketus.

Zavier malah tertawa. "Bercandamu lucu sekali. Saira adikmu, ya?"

"Sudah kubilang dia anakku! Dan, ya, berhenti memanggilnya Saira-Saira terus, panggil dia DOKTER SAIRA!" kata Harleen dengan suara yang ditekankan.

Zavier langsung diam. Bukannya takut, dia menahan tawa agar Harleen tak semakin marah. "Oke, Bibi Harleen. Maafkan aku, ya."

Harleen seketika melotot. "Apa katamu?! Bibi? Kau memanggilku bibi?!"

Dengan tampang polosnya, Zavier menjawab, "Kau bilang kau ibunya Saira, jadi memang sudah seharusnya aku memanggilmu bibi, kan?"

Harleen semakin terlihat kesal hingga memukul kemudi di depannya. Zavier langsung tertawa lepas seolah tak takut lagi akan dimarahi atau ditendang Harleen dari dalam mobilnya.

"Katakan saja, ayolah. Dokter Saira siapamu?" tanya Zavier lagi setelah tawanya berhenti, kali ini dengan nada lebih lembut.

"Pelanggan. Maksudku, dia sering minta aku jemput. Biasanya saat dia mabuk begini, dia tidak bisa pulang sendiri, karena itu memanggilku untuk mengantarnya sampai ke rumah. Kadang-kadang menemani dan mengurusnya juga kalau dia muntah-muntah," jelas Harleen.

Zavier manggut-manggut. "Kau sampai mau mengurusnya begitu? Tidak mungkin kan kalau hanya pelanggan?"

"Ck, sudah kubilang Saira penumpang taksiku. Aku mau mengurusnya karena dia membayarku lima kali lipat," jawab Harleen sedikit pelan di tiga kata terakhir.

Welcome, Baby! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang