"Gimana hubungan lo sama Samudra?”
Kanaya menghentikan pergerakan tangannya yang menari diatas kertas, menyalin catatan pelajaran kimia hari ini. Kedua netranya melirik sekilas ke arah sang penanya lalu tertawa hambar, sudah banyak orang yang menayakan hal serupa kepadanya. ‘Gimana hubungan lo sama Samudra?’. Cih, ia berpacaran dengan orang yang tidak ia sukai sama sekali, memang apa yang mereka harapkan untuk ia katakan?
“Sopankah lo nanya kayak gitu ke gue?”
Marsha menghela napasnya pelan mendengar balasan tak bersahabat dari Kanaya, “lo masih marah sama gue? Kenapa sih? Lagian gue udah janji bakal beliin semua yang lo mau,” balasnya sedikit kesal.
Kayanya mengendikkan bahunya singkat, “semua barang itu belum sampai di tangan gue, jadi gue nggak bisa maafin lo gitu aja.”
Marsha berdecak sebal mendengarnya, sahabatnya ini memang pandai membuat tekanan darah orang lain meningkat dengan cepat, “jawab aja sih, apa susahnya?”
“Biasa aja, nggak ada yang spesial,” balas Kanaya singkat. Kalimat itu pula yang selalu ia ucapkan saat seseorang menanyakan perihal hubungannya dengan Samudra.
“Lo, masih belum punya perasan apapun ke Samudra?”
Pertanyaan yang dilontarkan Marsha berhasil membuat Kanaya menghentikan kegiatannya untuk kedua kalinya, ia menolehkan kepalanya guna menatap sang sahabat, “menurut lo?”
Marsha memiringkan kepalanya, menunggu Kanaya melanjutkan kalimatnya.
“Apa gue terlihat punya perasaan untuk si ketua kelas itu?” Gezz, sebenarnya Kanaya bahkan enggan menyebutnya sebagai kekasih meskipun faktanya memang begitu.
“Gue rasa enggak,” balas Marsha yang dihadiahi dengusan oleh sang sahabat.
“Lo bahkan udah tahu sendiri jawabannya, kenapa masih aja nanya?”
“Kalau lo emang nggak suka sama Samudra, kenapa nggak lo putusin aja dia?”
Kanaya baru saja akan membuka mulutnya untuk membalas perkataan Marsha, namun sang empu terlebih dahulu menyelanya dan kembali membuka suara.
“Tapi gue lihat-lihat, selama ini Samudra perhatian banget deh sama lo,” sambung Marsha.
Kanaya menghembuskan napasnya dramatis, ia mencampakkan bolpoinnya dan menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi.
“Ya karena itu gue nggak bisa putusin Samudra gitu aja. Dia memperlakukan gue dengan baik sebagai pacar, terus gimana jadinya kalau gue tiba-tiba minta putus gitu aja, sedangkan gue yang ngajak dia pacaran?” Kanaya menghela napas kecil dia akhir kalimat.
Diam-diam Marsha membenarkan apa yang dikatakan Kanaya, sangat tidak masuk akal jika Kanaya tiba-tiba meminta putus saat hubungan mereka bahkan lebih muda dari usia jagung, terebih lagi Kanaya lah yang memulai hubungan itu. Marsha menggaruk sebelah pipinya yang tidak gatal, ia merasa bersalah karena membuat perjanjian konyol itu yang mengakibatkan sahabatnya berada di posisi sulit seperti ini.
“Lama-lama gue bisa gila kalau kayak gini.”
Marsha menatap Kanaya yang memejamkan kedua mata dengan sebelah tangan yang mengurut keningnya. Sahabatnya itu terlihat begitu frustasi, atau memang benar?
“Nay,” panggil Marsha yang dibalaas gumaman singkat oleh sang sahabat.
“Kayaknya kalian memang lebih baik putus aja deh,” kata Marsha yang membuat Kanaya membuka kedua mata dan melotot lebar ke arahnya.
“Ngaco, enak banget itu mulut kalau ngomong,” balas Kanaya sengit.
“Bukannya gitu Nay, dengerin gue,” Marsha menarik kedua pundak Kanaya yang membuat sahabatnya itu menghadap ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RESET [ON GOING] (SEQUEL OF JUST D)
Teen Fiction|I SEQUEL OF JUST D [WHO ARE YOU?] I| [HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA, TERIMAKASIH] Warning! 18+ Murder scene, strong language, (no sex scene) Harap bijak dalam memilih bacaan Summary: Acha Kanaya menganggap hidupnya berubah menjadi sial setelah mener...