Bara memasuki cafe kedai kopi diiringi dengan Kanaya di sampingnya. Ternyata pengunjung kedai kopi ini cukup ramai jadi meraka harus antri menunggu giliran. Kedua netra Kanaya berpendar, menatap kagum pada nuansa cafe yang bertema vintage, dipadukan dengan ornamen klasik dan meja lesehan yang di susun bembujur dengan kursi kayu pendek, menambah kesan aestethic ruangan tersebut.
“Mau pesan apa?” tanya seorang pelayan perempuan saat keduanya sampai di depan counter.
“Saya pesan Ice Americano, lo mau apa?” tanya Bara pada Kanaya yang terlihat sibuk menatap list menu.
Kanaya bergumam panjang. “Caramel Frappucino?” Alih-alih menatap si pelayan, Kanaya malah menolehkan kepalanya pada Bara. Jujur saja, ia tidak begitu mengerti dengan jenis-jenis kopi.
Bara mengangguk kecil lalu kembali menatap si pelayan. “Ice Americano sama Caramel Frappucino, masing-masing satu.”
Pelayan tersebut mengangguk kecil. “Baik, atas nama siapa?”
“Ranaya,” balas Bara dengan cepat.
“Total semuanya tujuhpuluh empat ribu.”
Kanaya mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari dompetnya lalu menerima kembalian tak lama setelahnya.
“Terimakasih, mohon ditunggu pesanannya.”
Keduanya berjalan menuju berjalan menuju salah satu meja kosong yang berada di samping jendela. Kedua netra Kanaya menatap orang-orang yang sibuk berlalu lalang dari jendela, dialihkan pandangnya pada Bara yang terlihat asik dengan ponselnya.
“Kenapa Ranaya?” pertanyaan yang dilontarkan Kanaya dengan sura kecil itu berhasil menarik atensi Bara.
“Kenapa? Gue suka, bukanya lo juga?” balas Bara.
Kanaya menatap pria dihadapannya dengan pandangan sulit diartikan.
Flashback.
Bara dan Kanaya duduk di atas rerumputan untuk menikmati pertunjukan kembang api tahun baru diatas bukit. Jangan heran kenapa Bara melakukan hal konyol semacam ini, Kanaya yang memaksanya. Gadis itu malam-malam datang ke rumahnya, masuk ke dalam kamar dan menyeretnya begitu saja ke dalam mobil. Ia tidak diberi kesempatan menolak sebab gadis itu terus merengek sepanjang waktu.
“Kalau kita punya anak nanti, lo pengen kasih nama siapa?” pertanyaan random tersebut keluar begitu saja dari mulut Kanaya.
Bara melirik ke arah Kanaya yang kini mentapnya dengan senyum yang tepantri di bibir tipisnya. “Terserah, tapi apapun itu gue nggak sudi punya anak sama lo,” ketusnya.
“Ih Bara, gue serius tahu...” kata Kanaya dengan bibir mengerucut. Tenang saja, Kanaya tidak marah kok, ia tahu jika Bara tidak serius dengan perkataannya. Ia cukup memasukannya lewat telinga kanan dan membiarkannya keluar lewat telinga kini, dan tada... selesai.
Karena tak kunjung mendapatkan balasan dari Bara, Kanaya pun kembali membuka suara. “Kalau gue udah punya, lo mau tahu nggak?” katanya sembari menaik-turunkan kedua alisnya.
“Nggak,” balas Bara tak acuh yang tentu saja dianggap angin lalu oleh Kanaya.
“Namanya Ranaya Mahendra. Singkatan dari Bara dan Kanaya, terus nama terakhirnya diambil dari marga lo.”
Kanaya melebarkan senyumnya saat Bara mengalihkan pandang ke arahnya. Meskipun tak memberikan respon berarti, setidaknya pria itu tak memberikan respon menolak. Hal itu sudah cukup membuatnya lega.
“Gimana? Bagus kan?”
Bara mendengus kecil lalu kembali mengalihkan pandangnya lurus ke depan. “Nggak jelas banget lo.”
KAMU SEDANG MEMBACA
RESET [ON GOING] (SEQUEL OF JUST D)
Teen Fiction|I SEQUEL OF JUST D [WHO ARE YOU?] I| [HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA, TERIMAKASIH] Warning! 18+ Murder scene, strong language, (no sex scene) Harap bijak dalam memilih bacaan Summary: Acha Kanaya menganggap hidupnya berubah menjadi sial setelah mener...