15. The Chamber

69 10 0
                                    

Setelah kejadian malam kemarin, Rainy lebih sering meminta Edmund menemaninya kemana pun, sungguh rasanya tidak tenang ketika melihat Mrs. Norris yang membeku.

Bahkan Rainy tidak melepas kembarannya sama sekali ketika akan pergi ke kelas Transfigurasi.

Dalam kelas transfigurasi, semua terlihat tenang, kecuali Rainy yang mungkin masih kepikiran kejadian Mrs. Norris.

"Could i have Your attention please?" tanya Prof McGonagall, ketika semua murid sudah memusatkan perhatiannya kepadanya dia mulai kembali berbicara.

"Sekarang kita akan belajar mengubah hewan menjadi gelas." Professor McGonagall menatap burung yang bertengger di atas mejanya dan mengetuknya beberapa kali, "One, two, three, Vera Verto." ucapnya.

Percikan kristal bening keluar dari ujung tongkat milik Professor McGonagall, dengan ajaibnya burung yang tadi bertengger di atas meja berubah menjadi gelas kristal yang cantik.

"Sekarang giliran kalian, siapa yang akan pertama kali mencoba?" Para murid berhenti menatap dengan penuh kekaguman pada gelas kristal itu seperti sedang meminta murid lain mengajukan diri terlebih dahulu.

Tak kunjung mendapatkan jawaban, Professor McGonagall menatap Ron, "Ah! Mr. Weasley, c'mon, one, two, three, Vera Verto." peraganya ulang.

Ron berdehem pelan lalu menggerakkan tongkat miliknya kepada Scabbers, tikus peliharaannya. "Vera Verto."

Sama seperti milik Professor McGonagall, Scabbers berubah menjadi cangkir tapi bukan yang berbahan kristal, cangkir itu jadi berbulu. Murid lain menertawakan Ron karena mereka pikir itu lucu.

Tapi tidak dengan para Pevensie, mereka tidak suka menertawakan seseorang yang gagal.

"Kalian tidak seharusnya menertawakannya." ujar Lucy, para murid diam sejenak lalu menatapnya.

Para murid itu kembali tertawa, Lucy yang ditertawakan langsung murung dan mendekatkan dirinya kepada Susan Bones yang duduk disebelahnya dan memeluknya.

"Sudah, tidak apa-apa." bisik Susan Bones sambil mengusapi punggung teman satu asramanya itu.

Pevensie yang lain semakin kesal ketika murid lain tak kunjung berhenti tertawa, Peter menepuk meja yang dia dan Dean tempati bermaksud untuk membuat yang lain terdiam.

Berhasil, mereka akhirnya diam dan kembali fokus menatap Professor McGonagall yang masih berdiri di depan mereka semua.

"That's Wand need replacing, Weasley." ujar si Professor transfigurasi sambil menunjuk tongkat milik Ron.

Hermione tiba-tiba mengangkat tangannya, "Yes, miss Granger?" tanya Professor McGonagall sambil menatap si Gryffindor.

"Professor, I was wondering if you could tell us about the Chamber of Secrets." celetuk Hermione, beberapa murid memberikan tatapan kaget pada si gadis Gryffindor.

Professor McGonagall menatap sebentar seisi kelas, para murid terlihat excited ingin mengetahui tentang kamar rahasia yang kemarin sempat menggemparkan Hogwarts.

"Baiklah. Nah, kalian semua pasti tahu bahwa Hogwarts didirikan lebih dari seribu tahun yang lalu oleh empat penyihir dan penyihir terhebat pada zamannya: Godric Gryffindor, Helga Hufflepuff, Rowena Ravenclaw, dan Salazar Slytherin. Tiga pendiri hidup berdampingan dengan sangat harmonis. Satu pendiri tidak." Professor McGonagall berdiri di depan kelas sambil menjelaskannya.

"Coba tebak siapa yang tiga itu?" tanya Rainy pelan kepada Edmund yang duduk di sebelahnya, bahu kembarannya terangkat menandakan dirinya tidak tau.

"Salazar Slytherin wished to be more selective about the students admitted to Hogwarts. He believed magical learning should be kept within all-magic families. In other words, pure-bloods." sambung Professor McGonagall

Draco dan Hermione saling beradu tatapan tajam, Rainy yang melihatnya merasa muak dengan perselisihan keduanya, rasanya ingin sekali menjodohkan mereka berdua agar tidak membuat orang lain merasa terintimidasi.

"Unable to sway the others, he decided to leave the school. Now, according to legend, Slytherin had built a hidden chamber in this castle, known as the Chamber of Secrets. Well, shortly before departing, he sealed it, until that time when his own true heir returned to the school. The Heir alone would be able to open the Chamber, and unleash the horror within, and by so doing, purge the school of all those who, in Slytherin's view, were unworthy to study magic." sambung Professor McGonagall. Para murid berbisik satu sama lain mendengar hal itu.

"Tapi, sekolah sudah mencari-cari tempat seperti itu namun tidak ada yang menemukannya." ujar Professor McGonagall, dia kembali ke mejanya.

"Professor," Professor McGonagall berbalik menatap Peter yang memanggilnya, "Apa yang ada di dalam kamar itu?" tanyanya.

"Well, katanya kamar itu menjadi rumah dari sesuatu yang hanya bisa dikendalikan oleh pewaris Slytherin, itu adalah rumah dari seekor monster." jawab Professor McGonagall.

Rainy merasa sedikit aneh dengan perkataan Professor McGonagall, sepertinya memang ada sesuatu yang tidak seharusnya mereka tau.

————————————

Para Pevensie jalan beriringan melewati koridor, sejak tadi tidak ada yang membuka suara di antara mereka.

Rainy menarik Edmund dan Lucy ke sebuah pohon besar yang ada di sisi Courtyard, Peter dan Susan hanya mengikuti ketiga adiknya.

"Aku kepikiran sebuah ide," Rainy langsung membuka suara ketika sudah duduk, "Kalian semua bisa bersiul kan?" tanyanya tiba-tiba.

Mereka berempat hanya mengangguk, karena bersiul adalah salah satu hal yang paling suka dilakukan para Pevensie ketika mereka mendengar ayah mereka pulang dari medan perang.

"Bagaimana jika kita bersiul lalu yang lain akan menjawab untuk memberitahu bahwa kalian ada di sana? Kita tidak perlu berteriak untuk memanggil nama nantinya." ucap Rainy sambil tersenyum. Susan mengusap rambut adik perempuannya itu dan memeluknya.

Edmund, Peter dan Lucy pun menyusul memeluk Rainy. Sungguh sesuatu yang indah itu bukan hanya kekayaan dan kekuasaan tetapi momen bersama keluarga.

"Kenapa kau kepikiran seperti itu?" tanya Peter, dia agak heran juga dengan tingkah laku si anak tengah Pevensie ini.

"Hanya ingin saja, siapa tau salah satu dari kita menghilang nantinya." celetuk Rainy, celetukannya itu membuat dirinya mendapat pukulan ringan dari kembarannya sendiri.

"Jangan seperti itu bicaramu. Kapan pertandingan Quidditchmu dengan Gryffindor?" tanya Edmund, Rainy berpikir sejenak lalu kembali menatap keempat saudaranya.

"Sepertinya besok atau lusa, kalian akan menontonkan?" Rainy menatap keempat saudaranya dengan penuh harap.

"Memangnya ada yang bisa menolak Quidditch?" tanya Susan, bibirnya mengukir senyum.

Semua terasa menyenangkan jika mereka berlima melakukannya. Tiba-tiba Edmund diam dan kembali menatap saudara-saudaranya satu persatu.

"Kenapa Ed?" tanya Rainy bingung, didukung dengan kepalanya yang dimiringkan.

"Kalian tau kan kita terjebak disini? Kira-kira kita bisa pulang atau tidak ya?" Edmund menatap keempat saudaranya dengan begitu serius.

"Seharusnya kita bisa ..." Lucy terdiam, tatapan matanya mendadak kosong. Dia juga berdiri kemudian pergi tanpa sepatah kata.

Keempat saudaranya menatap heran Lucy, tidak biasanya anak ini diam dan pergi tanpa pamit kepada yang lebih tua. Tadinya mereka ingin mengikuti si bungsu tapi semuanya teringat punya kelas saat itu.

Jadi lah mereka meninggalkan Lucy yang pergi entah kemana karena urusan kelas masing-masing.

We Lost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang