Bab-20

4 1 0
                                    



Jemari Joan mengentuk-ngetuk setir mobilnya bosan. Ia sedang menunggu teman-teman lain untuk berangkat kuliah bersama. Diingatkan kembali, kalau Joan ini selalu menjabat sebagai sopir berangkat-pulang di komplek Big4.

Tok Tok Tok'

Joan menoleh. Ia melihat Yaya, anak perempuan kedua dari keluarga Anggara tersebut mengetuk jendela. Joan langsung menurunkan kaca mobil. "Jo, yang lain ke mana? Kok kosong?" tanya gadis itu.

"Ke rumah si Hasan. Rame-rame mau bangunin dia katanya. Biasa, gadang lagi anaknya," jelas Joan. Yaya hanya membuang napas kecil. Kebiasaan si Hasan itu. Bikin susah teman-temannya aja. Untung masih baik hati mau dibangunin.

"Masuk aja duluan ke mobil. Duduk di tempat Surya aja dulu sementara. Nanti anak-anak balik baru pindah posisi."

Yaya mengangguk dan berjalan memutari mobil untuk masuk ke dalam kursi penumpang di samping pengemudi.

Joan melirik ke arah Yaya. Hari ini gadis keluarga Anggara tersebut tumben sekali memakai kaos berlengan panjang, pikirnya. Biasanya Yaya suka memakai pakaian berlengan pendek, atau setidaknya tanpa lengan.

Matanya menangkap sesuatu berwarna keunguan di kulit tangan Yaya yang sedikit terlihat dari balik lengan pakaiannya. Ia jadi menduga sesuatu kembali.

"Ya, lebam itu...ibumu, Tante Yuna lagi?"

Yaya menoleh terkejut dan menarik ujung lengan pakaiannya agar apa yang dilihat Joan tidak lagi terlihat. Gadis itu menunduk dalam dan mengangguk samar. Sesuai dugaan Joan. Dia sudah melihat ini beberapa kali. Sudah tak aneh, tapi tidak bisa dibiarkan juga.

Yaya memainkan ponselnya agar suasana yang tiba-tiba lengang tak membuatnya canggung.

Genggaman pada kemudi mobilnya mengerat. Joan meletakkan keningnya di kemudi dan menghela napas berat. Ia kembali tegap dan menatap ke arah spion. "Ya, ayo pacaran." Bukan memberikan pilihan untuk ditolak atau pun diterima. Tapi itu sebuah perintah tegas yang pastinya tidak boleh ditolak.

Yaya menoleh sekilas pada Joan yang berada di sampingnya sebelum ia fokus kembali ke layar ponsel. "Oke."

Tubuh tegang Joan melemas seketika setelah mendengar persetujuan. Ia jadi sedikit tenang, walau tidak terlalu tenang.

💟💟💟

"Apa?! Olimpiade cerdas cermat?!" Aeri memekik terkejut menatap wali kelasnya. Kemudian menatap Aerin yang berada di sampingnya. "Kenapa? Nilai Aerin di rapot kayaknya biasa-biasa aja. Kenapa Pak guru bisa milih Aerin jadi peserta olimpiade cerdas cermat?" herannya.

Tiga hari setelah kepulangan dari kegiatan LDK, Aeri dan Aerin langsung dipanggil untuk menghadap wali kelasnya. Dan tiba-tiba saja wali kelasnya bilang kalau Aerin ikut olimpiade? What the hell? Dia bukannya cemburu. Tapi adik kembarnya yang ia lihat sangat biasa saja dalam mata pelajaran apa pun dipilih ikut olimpiade sangat membuatnya terkejut.

Pak Yoga, alias lelaki paruh baya yang menjabat sebagai wali kelasnya mengangguk. "Iya, bapak juga gak mengira kalau Aerin sepintar itu. Karena sebelumnya nilai Aerin terbilang sangat biasa. Tapi setelah melihat sendiri ketika Aerin sedang remidi ulangan dengan saya di kantor, Aerin hanya tidak ingin menonjolkan kepintarannya."

"Benar kan, Aerin?" Pak Yoga tersenyum pada Aerin.

Aerin memalingkan wajah agar kebohongannya tidak terlihat. Yah, tau begitu dia menyesal memperbaiki nilainya waktu itu. Dia sudah berusaha menjawab soal ulangan harian dengan asal, masih saja ketahuan.

KOMPLEK SebelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang