Bab-7

11 2 0
                                    

Lama nggak update hehew






   "Bang, istirahat, gih." Yohan mendekat pada kakak lelakinya itu. Memijat-mijat pundaknya. Hasan sedari tadi–sekitar lima jam lamanya hanya berkutat di depan laptop. Bahkan berhasil menghabiskan 3 cangkir kopi lebih. Masalahnya, sekarang sudah tengah malam. Yohan tak sengaja melihat kakaknya itu, ia mengintip dari pintu kamar Hasan yang lupa dikunci.

Hasan menguap lebar. Matanya sedikit berair karena benar-benar mengantuk. "Ntar lagi, dikit lagi kelar."

"Bang, badan lo juga butuh istirahat. Jangan dipaksa, nanti kambuh lagi...." Yohan memelas. Dia ini termasuk orang pertama yang akan benar-benar khawatir jika anemia yang diidap kakaknya itu kembali menyerang.

Bukan sekali dua kali, bahkan berkali-kali Hasan sering dilarikan ke rumah sakit saat anemia benar-benar menyerangnya lagi. Hasan sampai benar-benar hafal dengan setiap sudut ruangan rumah sakit saking seringnya berkunjung.

Bahkan dokter-dokter di sana juga sudah sangat mengenal sekali dua saudara yang wajahnya hampir persis itu.

"Ck, beneran, deh. Ntar lagi udah kelar, abis ini gue nyusul tidur," alasannya lagi.

"Bilangnya aja gitu. Nanti juga dua jam lagi yang baru kelar," balasnya.

"Gue harus udah laporan besok lusa, ini gue ngebut."

"Siapa suruh baru dikerjain mepet deadline."

"Namanya juga kerja bagai kuda. Gue nggak cuma kuliah doang, gue juga kerja kalo lu inget itu."

Yohan dibuat bungkam. Benar... tanpa ada Hasan ia pasti sudah putus sekolah. Mereka hanya dua lelaki tanpa orangtua yang hidup dengan kebaikan hati yang pemilik komplek SM–Nyai Sooman berikan pada mereka. Andai Nyai tak bermurah hari menurunkan harga sewa rumah di komplek miliknya, mungkin mereka hanya bisa duduk di jalanan menunggu kebaikan orang lain.

Dan Hasan adalah kakaknya yang pekerja keras, dengan melakukan pekerjaan sampingan untuk memenuhi biaya kehidupan dan pendidikan mereka. Hasan bekerja sebagai jurnalis di sebuah acara televisi yang juga untungnya mau menerimanya.

Yohan harusnya memang banyak bersyukur.

Yohan membiarkan beberapa saat Hasan yang masih sibuk mengetik. Lalu di ketikan terakhir, Hasan sudah mengakhiri kegiatannya. Ia meregangkan otot-otot tubuhnya dengan lega. Akhirnya ....

"Sekarang jam berapa?" tanyanya.

Yohan berkedip-kedip, "Jam satu lebih lima."

Hasan menepuk jidat. "Ayo tidur, besok lo masih harus kuliah. Gue juga masih ada kelas pagi. Cabut." Hasan menarik lengan Yohan untuk berdiri. Menyeretnya ke dalam kamar untuk mengistirahatkan tubuh.

💟💟💟

Maniknya melihat sebuah mobil Esemka berwarna putih berhenti di depan rumahnya. Ia dengan tergesa-gesa segera masuk ke dalam mobil tersebut.

"Tumben nggak kelihatan ngantuk," celetuk Joan yang berada di kursi pengemudi. Biasanya dia memang bertugas menjadi supir dadakan untuk berangkat ke kampus bersama teman-temannya juga.

Hasan menyeringai. "Adek gue perhatian banget, ngingetin tidur. Adek lo juga gitu, nggak?" Hasan berniat membuat temannya kesal. Joan yang sudah terbiasa jika temannya satu itu sudah mode jahil hanya bisa tersenyum pasrah. Ya, sudahlah, pikirnya. Memang begitu faktanya.

"Lo juga, diem-diem bae, Len." Joan melirik pada cermin mobil. Hallen duduk merengut di samping Hasan. "Males, ah! Rina nyebelin! Makanan gue dia ambil, emang rakus tuh anak satu!" Hallen langsung mengeluarkan semua isi hatinya saat itu juga.

"Sumpah, ini sama banget! Ricky jadi makin bandel, suka banget make celana dalem gue tanpa izin, iya kan, Ya?" Wawang tiba-tiba saja menyahut dari bangku penumpang paling belakang. "Iye! Make up gue juga pake, katanya mau dandanain Bisco. Emang resek satu anak itu." Yaya, adik kembar Wawang menyetujui pendapat kakak laki-lakinya.

"Justin juga, lho. Makin menjadi. Dia jadi males buat ngerjain tugas sekolahnya. Gue nasihatin malah ngebantah, bilangnya 'Abang gak pernah tau rasanya jadi aku'. Padahal tugas kuliah gue lebih berat ketimbang dia." Didin, kakak laki-laki Justin turut ikut campur dengan obrolan mereka.

Ya, rutinitas pagi yang selalu dilakukan sebelum mereka berangkat ke kampus ialah mengeluh akan kelakuan adik-adik mereka. Namun, tetap saja ada satu yang sempat luput.

"Kalian punya adik, gaes?"

Semua langsung menoleh kompak ke arah bangku penumpang di samping Joan. Dia Surya, satu-satunya anak tunggal dari 4 komplek yang saling berjejer di sini.

Namanya juga Surya. Kadang suka kesel lihat temen-temennya pada ngeluh soal kelakun adek mereka. Kan dia jadi pengin punya adek juga. Tapi untungnya dia masih inget umur buat minta ke ayah bundanya.

"Dah, dari pada debat mulu, mending gas ke kampus sebelum telat." Mobil mulai melaju keluar dari komplek. Beberapa saar terasa lengang. Joan baru teringat sesuatu.

"Sebenarnya, mungkin ada satu saudara yang bukannya ngeluh soal adek, tapi justru ngeluh soal kakaknya," celetuk Joan di tengah kesunyian di dalam mobil. "Emang ada?" tanya Didin tak percaya.

Joan mengangguk, "Ada, Jaka contohnya."

Semua saling pandang. Benar juga... salah satu orang yang bisa mereka anggap waras dari tiga bersaudara itu hanya Jaka. Dia satu-satunya orang yang bisa melerai kedua kakaknya jika sudah mulai melakukan perdebatan yang pastinya pakai otot.

Ya, keluarga Mahardika itu memang preman.

💟💟💟

Epul melirik-lirik kecil melihat Jono menggaruk daun telinganya saat duduk di atas kursi. Mereka sekarang sedang sarapan. Memakan masakan yang mereka buat sendiri.

Mie instan

Jaka sudah berangkat lebih dulu bersama Rehan, Leon, juga Suwan. Naik mobilnya Rehan tentu saja. Jaka belum dibolehkan naik mobil oleh kedua kakaknya. Dengan alasan 'kamu masih bayi'.

Gundulmu masih bayi!

Kembali lagi. Jono tetap sibuk menggaruk-garuk daun telinga. Epul jadi curiga, jangan-jangan abangnya ini kena rabies?

"Eh, lo ngapa dah? Rabies?" tanya Epul blak-blakan.

"Jancok kon! Gatel kuping gue, peak!" balasnya kasar dan tetap menggaruk.

Epul diam sejenak. "Jangan-jangan lo lagi diomongin," terka Epul spontan. Jono menukik alis tajam. "Siapa yang berani ngomongin gue? Cari mati dia. Gak akan!"

"Ck, batu banget. Mending lo periksa ke dokter, kali aja beneran rabies. Gue mau berangkat ke kampus dulu." Epul mencangklong ransel merah maroon miliknya. "Mau ke mana? Kenapa nggak berangkat sama gue ke kampus?"

"Udah, lo mending ke rumah sakit aja entar lagi. Gue berangkat bareng Yohan. Lagipula kita satu jurusan. Dah, bye!" Epul sudah menghilang dari balik pintu. Menyisakan kesunyian di rumah besar itu. Jono termenung beberapa menit. Setelahnya meletakkan kepalanya di atas meja makan. "Hidup gak ada yang seru. Kenapa perlahan semua orang pergi ninggalin gue?"

Jono yang sering dikenal sebagai preman dan pria yang memiliki emosi meluap-luap serta tempramen. Kini meneteskan setetes air matanya tanpa ada satu orang pun yang tau. Siapa sangka manusia batu sepertinya bisa rapuh juga?








Thanks Sunfriendss... jangan lupa share cerita ini ke teman, crush, bestie, om, tante, ortu dan orang-orang terdekat kalian yaw

Lanjut? Vote dan komen dulu 🌻💖

KOMPLEK SebelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang