Bab-23

5 1 0
                                    



Aeri meletakkan kedua siku lengannya di atas punggung bangku kayu panjang. Kepalanya mendongak, membuang napas panjang. "Jangan hela napas. Bau." Toka duduk menumpukan kaki kirinya di atas kaki kanannya tak lupa bersilang lengan di samping Aeri.

"Bimbingan lama banget. Aku iri. Gimana rasanya jadi pinter?" Aeri melontarkan isi hatinya.

"Pastinya gak buat lo berakhir duduk gabut di sini." Toka memutar bola matanya.

"Mau nyangkal tapi bener."

Mereka berdua kembali menghela napas.

Aeri menoleh ke kiri. Matanya menangkap pemandangan Sean yang sedang berbincang dengan seorang gadis. "Kak Sean ngapain tuh?" Aeri mengerutkan kening keheranan. Toka yang mendengar nama Sean disebut pun ikut menoleh dan melihat ke mana arah mata Aeri memandang. Toka cepat-cepat berdiri dan melangkah.

"Eh, mau ke mana?" mau tak mau ia mengikuti Toka.

Mereka diam-diam pergi ke semak-semak yang tak jauh dari tempat Sean mengobrol. Setidaknya sekolah punya semak-semak di taman sekolah.

"Maaf, tapi gue gak kenal." Mereka berdua mulai mendengar suara Sean dari balik sana.

"Nggak pa-pa gak kenal. Gue cuma mau nyatain sesuatu." Gadis yang ada di hadapannya menimpali. Sean diam memberikan kesempatan siswi itu untuk bicara lagi.

"Gue suka sama lo, Dek Sean."

"Hah, kakak kelas?!" Aeri memekik berbisik. Wajah Toka jadi sedikit masam dengan sudut bibir yang tertarik ke bawah sedikit. Tangannya mengepal di sisi tubuh.

Sean sedikit tersentak. Ia mengalihkan pandangan sejenak lalu mendengkus kecil. "Maaf, gue–"

"Nggak, nggak perlu penjelasan. Gue tau jawabannya." Gadis itu memotong cepat dan menunduk. "Anak kelas 10 itu kan, yang lo suka?" lanjutnya lagi. "Uhm, yah, itu..." Sean gelagapan hendak menjawab. Ia tau kalau rumor tentang dia yang suka Toka hampir menyebar ke bagian-bagian sekolah, hanya saja agak malu jika mendengarnya langsung dari mulut orang lain.

Siswi itu berdecak. "Apasih yang spesial dari dia sampek lo kejar-kejar terus?! Dia gak akan suka lo! Siapa yang suka cowok banci kayak lo selain gue? Beruntung gue suka karena lo lucu."

Sean dibuat tertegun dengan kata-kata menusuk itu. Bibirnya kelu untuk menjawab, pandangannya jatuh ke tanah dengan pupil mata bergetar. "Ban...ci?"

Tak sadar dengan ucapannya yang keluar, kakak kelas itu langsung merasa panik. "M-maksud gue, bukan lo. Itu, gue salah omong doang kok."

"Jalang." Toka berdiri dan keluar dari tempat persembunyiannya. "Lo pikir lo lebih baik dengan omongan lo tadi?"

"Ssst, Toka. Kenapa jadi nongol?" Aeri mencengkram pergelangan kaki Toka untuk menyuruhnya jongkok kembali.

"H-hah? Lo ngomong apa sih?"

"Jelas-jelas lo lagi ngerendahin adek kelas sendiri. Padahal orang yang biasanya suka merendahkan, lebih rendah dari yang direndahkan." Toka mengangkat alisnya memprovokasi.

"Apa? Apa kata lo?!"

"Kenapa? Gak terima? Mentang-mentang kakak kelas, sih." Toka menyunggingkan senyum remeh.

"Wess, tajem banget omongannya si kadal." Aeri bergumam.

Kakak kelas itu mengumpat kesal sebelum akhirnya pergi. Ingin melawan tapi Toka sangat ahli jika soal berdebat. Menurut Aeri, Toka cocok jadi patnernya Najwa Sihab. Anaknya kali?

Sean masih diam menunduk dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia sekuat tenaga mengulum bibirnya untuk menahan tangis. Siapa yang mau nangis di depan gebetannya sendiri coba? Apalagi dia sendiri laki-laki.

Aeri perlahan mendekat. Ia menepuk-nepuk pundak Sean menenangkan cowok itu. Aeri pikir, mungkin perkataan kakak kelas tadi memang sudah kelewatan. Di matanya, Sean itu selain cowok julid, dia terkadang juga bisa jadi rapuh kapan saja. Tidak. Semua manusia, sekuat-kuatnya mereka, memiliki sisi rapuh adalah hal yang wajar.

"Jangan nangis." Toka berceletuk serius dengan wajah datarnya. "Lo gak seburuk itu." Ia sedikit menoleh pada Sean. Tubuhnya berputar untuk kembali melangkah pergi. "Ah, kok ditinggal?" Aeri cemberut. Ia memeluk kedua bahu Sean sejenak sebelum akhirnya ikut berbalik. "Semangat!" tangannya terangkat mengepal disertai dengan senyuman lebar.

Sean termenung di tempat menatap tanah.

"Gak...seburuk itu?" gumamnya kecil. "Gak buruk. Berarti gue bagus." Sean tersenyum semringah saat memikirkan kembali kata-kata terakhir Toka tadi yang menempel jelas di otaknya. "Kyaa! Gue dipuji ayang, sksk&%$!@."

Sean tetap lah Sean....

💟💟💟

"Hilmy?"

"Hadir."

"Juwan?"

"Hadir.

"Jeje, Jaka?"

"Hadir!"

"Aerin?"

"Hadir..."

"Adam?"

"Yes, sir."

Surya menurunkan kacamatanya sedikit untuk memastikan. "Adam, itu tato asli?" tunjuk Surya pada lengan dan punggung tangan Adam. "Iya, Sir. Ingin coba?" tawar Adam terkekeh geli.

"Oh, nggak. Saya masih sayang kulit." Surya menggeleng. "Tatomu bisa dihilangkan tidak? Saya nggak mau nanti kamu dikualifikasi karena tato itu. Sebelum hari-H, usahakan setidaknya tatomu nggak terlihat. Apapun caranya," tutur Surya panjang lebar. Adam hanya mendengkus singkat. "Gampang."

Surya membuang napas pasrah. Ya, ini juga risikonya dia. Mau tak mau kalau tetap ingin mengikuti olimpiade, setidaknya menjaga citra diri untuk tetap baik adalah pilihan yang tepat.

Surya beralih pada Jaka yang duduk di bangku depan. "Jak, saya tunjuk kamu jadi ketua anggota olimpiade, ya? Saya kadang nggak bisa terus buat mengatur kalian. Peka, jangan nunggu perintah. Saya nggak mau ada yang keteteran cuma karena satu kesalahan. Jaka, kalau ada yang bandel, lebih baik kamu keluarkan saja. Saya tidak mau membimbing murid yang sulit diatur." Surya mode galak is on.

Jaka menelan ludahnya dan mengangguk kencang. Dia jarang lihat sisi galak dari Bang Surya, sekali lihat dia hampir susah bernapas.

Bimbingan diakhiri dengan salam. Seluruh murid bimbingan keluar dari ruang lab. Adam memasukkan kedua tangannya ke dalam saku dan pergi ke arah yang sama dengan Juwan dan Hilmy. Kelasnya tepat berada di samping kelas mereka. Pemuda itu berjalan congkak dan pongah. Sombongnya bukan main. Mentang-mentang beberapa murid takut padanya karena ia mantan berandalan. "Lucu." Adam tersenyum mengejek melihat beberapa murid yang langsung menyingkir memberinya jalan saat melangkah di lorong.

Kakinya yang hendak masuk ke dalam kelasnya terhenti. Ia memutar ke samping dan melangkah lagi ke arah kelas di samping kanan kelasnya. Kelas ini adalah kelas ketiga dari 5 kelas 11 lain. "Aku mencari siswi bernama Xaquila Zefa." Adam menyandarkan bahu kirinya di sisi pintu. Seluruh pandangan kelas itu langsung tertuju pada salah satu meja di sudut paling belakang. Seorang gadis cantik, berambut hitam bergelombang yang tergerai sampai ke pingganya menoleh ke arah ambang pintu. "Siapa lo?"

Adam berdecak di tempatnyaa. "Ikut aku."

"Napa gue harus mau?" gadis cantik dengan make up tipis di wajahnya itu mengerutkan kening. Ia membuka cermin mininya dan memoleskan liptint mengabaikan Adam.

"Kau akan suka kesepakatan dariku," lontar Adam lagi. Cewek itu mengangkat satu alisnya tertarik. "Gue harus tau kesepakatan itu dulu." Ia berdiri dari kursinya dan merapikan pita merah yang terpasang sebagai hiasan di rambutnya. "Kita bicara di bawah tangga."

KOMPLEK SebelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang