Bab-24

4 0 0
                                    

Rehan uring-uringan duduk di kursi makan. Ia kesal karena teman-temannya sedang asyik bermain Playstasion di ruang televisi tanpa dirinya. Padahal kan benda itu yang punya dia, kenapa mereka justru tidak mengajak yang punya? Kesal, kesal, kesal!

Jafar keluar dari kamar mandi setelah buang air besar. "Woohh, Bang. Lo harus tau, tadi gue rasanya lega banget. Berasa plong pas udah keluar. Gue sampek desah." Jafar mendesah lega sembari mengusap perutnya yang tadi mulas karena menyimpan banyak harta karun yang ia jaga selama seminggu.

"Jijik, anjr! Jorok! Bodo ah!" tambah uring-uringan saja si Rehan.

Jafa mengedik acuh dan pergi ke arah kulkas untuk mengambil air dingin. Arjun datang ke arah dapur. "Han, itu temen-temenmu main kok gak kamu temenin?" tanya sang kepala keluarga.

"Gak mau. Rehan gak diajak. Mending nggak usah ikut main sekalian." Arjun hanya terkekeh kecil dan menggeleng mendengar jawaban Rehan.

"Ayah dapet tugas penerbangan kapan katanya?" Jafar langsung menyerobotnya dengan pertanyaan setelah Arjun dari luar.

"Tadi ayah ke kantor, katanya dua hari lagi ada penerbangan ke Singapura. Tapi tenang aja, ayah udah kemas-kemas, kok," jelasnya. Kepala keluarga Aditya itu bekerja sebagai seorang pilot yang biasanya pergi tiga kali dalam sebulan. Walau terbilang lumayan sebentar, Arjun berusaha untuk tetap ada untuk anak-anaknya. Ia yang paling tau apa yang mereka butuhkan sebagai seorang ayah.

Rehan teringat sesuatu. Ia ingin bertanya hal ini sejak lama, namun selalu urung karena rasanya belum tepat.

"Ayah, Ayah bilang Ayah pertama kali ketemu Ibu di pesawat pas penerbangan ke Bali saat itu 'kan? Rehan mau denger lengkapnya dari mulut Ayah sendiri." Rehan tau harusnya ia tidak mengungkit sesuatu tentang mendiang ibunya. Namun rasa penasaran yang berterbangan di benaknya tak bisa ditahan lagi. Jafar bahkan mengambil tempat untuk duduk di samping kakaknya bersiap mendengarkan.

Arjun termenung beberapa detik. Ia tampak sendu, membuang napas berat. "Saat itu ayah lagi jadwal penerbangan ke Bali, lalu ibu kalian–mendiang Febi. Jadi anggota pramugari baru di bandara."

"Waktu itu ayah orangnya bener-bener pendiam, kru penerbangan lain pun jarang ada yang ngajak ngobrol ayah. Kalau ada pun, sekadar ngobrol beberapa menit." Arjun mengernyit sebelum melanjutkan, "Ibumu dulu walau jadi anggota baru, dia banyak disenangi orang-orang karena sifat ramah dan lemah lembutnya. Ayah pas itu nggak terlalu berharap buat diajak bicara sama dia. Tapi ibumu sering datang nemuin ayah buat ngobrol berjam-jam sama ayah. Ayah sempat mikir pasti dia bosan ngajak ngobrol orang pendiam kayak ayah. Tapi dia bilang...."

"Kamu itu seru, aku lebih suka ngobrol sama orang yang bener-bener dengerin aku ngobrol."

Rehan dan Jafar terdiam mendengarkan. Tak mereka kira, sifat almarhum ibu mereka yang mereka rindukan sangat penuh kasih sayang saat masih muda.

"Ayah dengan berani langsung ngajak nikah ibumu waktu itu, umur yang cukup, biaya hidup yang mumpuni, rasa cinta ayah juga yang terus ngalir ketika deket sama dia. Itu alasan ayah berani ngelamar ibu kalian."

Rehan sekilas ingat, kenangannya dengan sang ibu walau hanya sejenak sebelum ia meninggal setelah melahirkan adiknya. Ibunya benar-benar sosok yang lembut, penuh kasih sayang dan perhatian. Terkadang saat melihat Aeri, ia jadi teringat dengan mendiang sang ibu.

"Makanya ayah wanti-wanti ke kalian. Jangan gampang ngajak orang nikah kalo cuma modal cinta doang. Mau makan apa nanti? Cinta?" Arjun menggeleng. Sekarang ini marak sekali pernikahana usia dini yang diatasnamakan dengan kata 'cinta' tanpa memikirkan ekonomi sama sekali. Padahal asal mereka semua tau, pernikahan itu benar-benar harus dipersiapkan dengan matang, bukan sekedar sah saja.

KOMPLEK SebelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang