Mengabaikan dan mencoba berpaling itu rasanya tidak menyenangakan, padahal mau menatap lebih lama, namun sekilas tolehan pun tak boleh, tidak sengaja saja rasanya berdosa.
Takdir?.
Satu kata ini, ingin sekali ia hapus dari Dunia, kata mereka, yah mau bagaimana lagi, namanya sudah takdir.
Benar, jika saja takdir bisa di rubah, maka dia tidak akan sibuk menyalahkan.
Tapi, kenyataannya, dia makin membenci, setiap harinya, pada sebuah kata yang di sebut Takdir.
Menatap langit malam yang tidak terlalu banyak bintang nya, namun diantara mereka ada satu yang menyala cukup terang, itu sudah cukup.
Karena dialah, yang Shani cari.
"Pah, bagaimana kehidupan diatas sana, apa Tuhan baik sama papa, atau, dia masih saja jahat"
Dialog itu, adalah kata yang selalu ia ucapkan kala berbincang dengan Sang Ayah.
Yah, Tuhan itu baik atau tidak?
"Pah, Shani menyukai seseorang, tapi dia tidak menyukai Shani, kadang Shani rindu hari dimana Shani sangat sibuk hingga tidak memiliki waktu untuk memikirkan soal perasaan, namun mengingat Papa, Shani kembali benci pada kesibukan itu, Pah, Shani harus apa?"
Ia makin tersenyum menatap langit, mau marah? Menangis atau meraung seperti kemarin, untuk apa?
Apa yang dia hasilkan.
Tidak ada selain sakit kepala.
"Namanya Gracia, aku pernah membawa nya kesini untuk melihat papa, sayangnya kemarin tidak ku kenalkan langsung, tapi papa sudah taukan, Dia, Sangat cantik kan pah?"
Bintang itu makin terang di lihat Shani, apakah ini hanya perasaan nya, atau sang Ayah menjawab semua ucapannya.
"Sayangnya, seperti kata Papa, perasaan ku tidak akan menemukan titik temu, kali inipun Pah, Shani menyerah!"
********
.
.
.Tumpukan buku yang sudah ia baca sejauh ini, masih belum bisa mengalihkan pikirannya dari sosok Shani, nyatanya, sesibuk apapun Gracia saat ini, pikirannya hanya tertuju pada Shani saja.
Sedang apa dia?
Apakah dia sudah makan?
Dia sudah tidur, atau belum?Segala pertanyaan tentang Shani begitu penuh di pikirannya.
Gracia sangat prustasi sekarang, bahkan Saat putus dengan David saja tidak seperti ini susahnya.
Kenapa dengan Shani yang baru ia kenali beberapa hari lalu bisa membuat dia begini.
Begini tersiksa nya.
"Huuufft, aku rasa aku benar gila, Shani itu perempuan Gracia, ingat saja itu astaga" Wanita itu melemparkan bukunya dengan kesal.
Bagaimana lagi, pesona Shani kenapa kuat sekali.
"Ngga mungkin aku menyukainya" ia menghela nafas prustasi, menjatuhkan wajahnya di atas paha, memeluk lututnya sendiri sembari menahan sesak di dadanya.
Dia, rindu Shani.
Akui saja itu.
"Shani lagi apa?" Ia kembali mengangkat wajahnya, tiba-tiba saja ia turun dari ranjang, lalu berjalan ke arah jendela kamarnya.
Ia sikap sedikit gorden yang menutupi jendela itu, untuk melihat ke arah kamar Shani yang tepat berhadapan dengan kamarnya.
Jendela kamar dari perempuan itu terbuka setengah, namun Gracia masih belum melihat si pemilik kamar.

KAMU SEDANG MEMBACA
"Xavier"
Fanfic"ceritakan tentang masalalumu?" "apakah itu penting?" "Yah, aku ingin tau" "jika tidak bisa" "maka mungkin kita tidak akan berjalan jauh" "Baiklah seperti itu lebih baik"