Ep. 33

681 81 12
                                    

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

"Kalau lo nggak mampu, mending diem dirumah aja."

Jun benar-benar khawatir ketika Delmara mengatakan akan datang di persidangan. Hari ini adalah penentuan hidup Andrew, setelah membunuh dan melakukan banyak kejahatan lainnya. Dia paham, Delmara akan menyadari jika ia pergi melihat wajah pembunuh suaminya, itu artinya lukanya akan kembali terbuka.

Tapi Delmara membalasnya dengan senyuman. "Gue nggak papa, Kak. Gue pengen lihat langsung hukuman apa yang dijatuhkan buat mereka."

"Ya udah kalau itu mau lo, bilang aja kapanpun lo mau pulang."

Delmara mengangguk, lalu masuk kedalam mobil Jun setelah menitipkan Dante pada Kaila. Wanita itu banyak diam, bahkan sampai mereka tiba di pengadilan.

Ada banyak wartawan dan para pihak jurnalis yang datang untuk meminta komentar pihak keluarga. Tapi untung saja Daniel sudah menyiapkan para penjaga pribadi ketika ia mendengar Delmara akan datang ke persidangan. Jun dengan sigap menghalangi sorot kamera yang berusaha mendapat gambar Delmara.

"Gue nggak nyangka bakal sebanyak itu yang datang, lo nggak papa?" tanya Jun pada Delmara.

"Iya, Kak."

"Ayo masuk, pasti yang lain udah nungguin." Delmara mengangguk, berjalan lebih dulu diikuti oleh Jun.

Ruang persidangan sudah dihadiri banyak orang, termasuk kedua orang tua Andrew. Delmara tak sedikitpun melirik kearah mereka, langsung duduk disamping Daniel.

Saat persidangan dimulai, Andrew yang memakai seragam tahanan itu mulai memasuki ruangan. Delmara terus-terusan mengepalkan tangannya erat, bahkan ketika dia memberikan kesaksian tentang apa yang sudah dilakukan Andrew selama ini pada keluarganya.

Mulutnya memang tidak mengucapkan sumpah serapah, tapi mata bisa berbicara.

Mata Delmara menatap dendam yang sangat dalam pada pria yang masih bisa berdiri dengan tegak itu, sangat dalam sampai dia menginginkan seluruh dunia Andrew sama runtuhnya sepertinya.

Bagi Delmara, melihat kembali wajah Andrew membuatnya mengingat wajah suaminya. Sungguh membuat dia terluka, hingga rasanya tak ada obat yang bisa mengobati.

Sesuai dugaan, Andrew dijatuhi hukuman mati atas kasus pencemaran nama baik, penculikan, pembunuhan berencana, dan masih ada beberapa kejahatan lainnya.

Ruang sidang menjadi riuh setelah 3 ketukan palu hakim terdengar. Para jurnalis yang sengaja dibiarkan hadir oleh Daniel langsung menulis berita.

"Lo pasti senang karena gue bakal mati." Suara Andrew menginterupsinya ketika pria itu dengan sengaja berhenti di samping Delmara.

"Apa muka gue kelihatan senang?" tanya Delmara, menatap lurus kearah Andrew.

"Mau seberapapun yang harus lo bayar, itu nggak akan bisa bikin suami gue hidup lagi. Karena perbuatan lo, ada orang tua yang kehilangan anaknya, seorang adik yang kehilangan kakaknya, anak yang kehilangan Papanya, dan seorang istri yang kehilangan suaminya. Jujur aja Andrew, putusan hakim nggak bikin gue senang hanya karena lo dihukum mati."

Delmara beranjak berdiri, menatap Andrew dengan penuh dendam.

"Yang gue mau, hidup lo hancur sampai lo nggak punya tujuan hidup dan mati mengenaskan sendirian."

Jun segera menarik tangan Delmara agar pergi dari hadapan Andrew sebelum wanita itu meledak lagi. Daniel menghela napas kasar, merapihkan pakaiannya dan ikut menatap tegas Andrew.

"Manusia mati meninggalkan tulang dan cerita, tapi tekad manusia akan terus mengalir ke anak cucunya. Begitu juga dengan Danny, kamu berhasil membunuhnya tapi pasti ada yang akan mewarisi tekadnya."

Andrew merasa geram, bagaimana Daniel begitu tenang setelah kehilangan anaknya?

"Jangan mati terlalu cepat, saya ingin menyaksikan kematianmu yang mengenaskan seperti yang Delmara katakan." Daniel menepuk bahu Andrew, tapi dengan sedikit cengkraman kuat disana.

Begitu mereka keluar dari ruangan, sorot kamera langsung berlomba mendapat gambar. Andrew pun sempat mendapat sumpah serapah dari kedua orang tuanya tepat dihadapan media, bahkan mendapat tamparan.

Tentu saja mereka merasa malu, merasa gagal mendidik anak dan justru menciptakan monster.

Begitu Delmara sudah kembali kedalam mobil, dia langsung meluruhkan air matanya. Jun yang melihat pun tak tega, tapi hanya bisa membiarkannya menangis sampai lega.

"Kak, ini yang terbaik 'kan?" suara serak dan lirih dari Delmara, berhasil membuat Jun menoleh.

Ia mengulum senyumnya. "Iya, semua udah selesai."

Delmara mengangkat kepalanya, tersenyum lebar kearah Jun. "Ayo, kita pulang."

"Setelah muka cantik lo balik." Jun mengulurkan tangannya, menangkup pipi Delmara dan menyeka air matanya.

Ah, kenapa dia sesenang ini?

Apa boleh Jun serakah? Bisakah dia menikmati wajah cantik yang sedang ia sentuh wajahnya dengan lembut?

Apa boleh Jun serakah? Bisakah dia menikmati wajah cantik yang sedang ia sentuh wajahnya dengan lembut?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Hah? Maksud lo sekarang gue jelek?"

Jun menarik kembali tangannya, terkekeh geli. "Iya, jelek banget!"

Delmara mendengus, lalu berkaca pada layar ponselnya yang hitam. Jun benar, dia terlihat jelek sekarang. Segera dia membersihkan wajahnya dengan tisu, lalu kembali ke rumahnya bersama Jun.

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

"Aunty!" Elena berlari kecil sambil merentangkan tangannya kearah Delmara, begitu ia melangkahkan kakinya dirumah Om Agam.

"Halo, sayang!" Delmara membiarkan dirinya dipeluk erat oleh anak itu.

"Mama!" Disusul oleh Dalen yang ikut berlari dari belakang Elena sambil memegang mobil mainan. Jadilah, mereka berdua memeluk erat tubuh Delmara bersama.

"Uncle nggak lupa 'kan sama titipan aku?" tanya Dalen.

Jun tersenyum, memberikan sekantong makanan pada Dalen. "Tentu nggak, dong. Harus berbagi sama Elena ya, Dalen?"

Dalen mengangguk imut, lalu menggandeng tangan Elena untuk dibawa bersamanya. Begitu mereka melangkah semakin masuk kedalam rumah, dilihatnya Om Agam yang sedang menggendong Dante sambil menyanyikan sebuah lagu. Lalu ada David dan Kaila yang sedang mengobrol di meja makan.

Mereka langsung mengalihkan perhatian begitu Jun dan Delmara tiba.

"Gimana, Del? Udah selesai sidangnya?" tanya David.

Mereka berempat beralih tempat menuju ruang tengah, duduk melingkar di sofa.

"Iya, Dav. Andrew dijatuhi hukuman mati."

Delmara melirik kearah Kaila, memastikan ekspresi dari sepupunya. "Kai? Lo nggak papa?"

Kaila terkekeh kecil. "Harusnya gue yang tanya ke lo, Del. Pasti sakit rasanya lihat pembunuh itu, 'kan?"

Delmara hanya menjawabnya dengan anggukan.

Mata Kaila menatap kearah Elena yang sedang menikmati snack bersama Dalen. "Meskipun dia adalah alasan Elena lahir, tapi dia nggak pernah jadi ayahnya. Sejak awal dan sampai kapanpun, ayah Elena cuma David."

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

BEST PAPA • choi hyunsuk (sequel of Danny) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang