"Aku, a-aku khawatir banget sama kamu."
Gusti menghela napas, melempar pandangannya ke lain arah. Bukannya dia tidak percaya, dia hanya takut hatinya kembali luluh dengan tatapan tulus dari Alan. Sudah berkali-kali ia memperingatkan dirinya untuk tidak goyah dengan semanis apapun ucapan lelaki namun jika di depan Alan dia selalu gagal. Hatinya berhianat, walau dia tau mungkin Alan hanya mempermainkan dirinya. Buktinya selama ini ia tidak pernah menghubunginya, lelaki itu seperti hantu datang dan pergi sesuka hatinya.
Tapi sebentar, untuk apa sekarang Alan tiba-tiba kembali menemuinya?
"Kak Alan mau jemput siapa?" Gusti tidak mengindahkan kekhawatiran lelaki didepannya. Sebisa mungkin dia bersikap biasa saja, Gusti tidak mau jatuh dan sakit lagi.
"Jemput kamu!" Alan agak berteriak, seolah menegaskan bahwa dia tidak akan ada di sana untuk siapa pun.
"Ayo pulang?" Alan menarik lengan Gusti kearah mobilnya.
"Tapi Kak," sumpah Gusti ingin menolak, sikap Alan selalu membuatnya kebingungan. Di sisi lain Alan posesif dengannya seolah dia adalah miliknya, tapi di sisi lain Alan tidak pernah jujur mengenai perasaannya.
"Aku bisa pulang sendiri!" Gusti menarik diri, "aku naik angkot aja" alibinya lalu berjalan kearah berlawanan namun jelas Alan tidak mau melepaskannya begitu saja.
"Kamu mau naik angkot apa? Apa kamu tau angkot ke alamat rumah kamu itu pulang jam berapa? Ini masih pagi Gusti, kamu mau nunggu sampai jam berapa?
"Yang penting aku mau pulang sendiri" kekeh Gusti, yang seolah berkata dia tidak butuh bantuan Alan.
"Kalau kamu pulang telat Ibu kamu pasti khawatir di rumah?"
Dan kalimat itu berhasil membungkamnya. Mengapa sulit sekali untuk sekedar menghindar dari lelaki itu, batinnya.
Gusti menghela napas, mengalah. Tapi bukan karena ucapan Alan benar melainkan karena tatapan orang-orang di sekeliling yang mulai memperhatikannya.
"Ya, aku ikut" Gusti menyerah, dan selalu si arogan itu pemenangnya.
***
Selama di dalam mobil Gusti hanya diam, ia serasa ingin menangis. Bingung entah harus bagaimana menghadapi lelaki itu, semuanya terasa serba salah.
Alan yang melihat Gusti seperti itu kemudian menghentikan laju mobilnya, dia turun lalu masuk kedalam minimarket entah apa yang ingin dia beli. Gusti menggunakan kesempatan itu untuk mengusap wajahnya dengan tisu, cairan bening yang sebelumnya dia tahan tanpa sengaja tumpah.
Tak lama berselang Gusti melihat Alan sudah kembali, dia buru-buru menyelipkan tisunya kedalam tas. Dia tidak ingin Alan berpikir macam-macam nantinya, sekalipun memang Alanlah penyebabnya.
"Minum dulu," Alan menyodorkan minuman isotonik, dan itu sama persis dengan botol minuman yang ada di tasnya waktu itu. Ya, botol minuman yang ada di samping tasnya saat latihan, padahal ia tidak membelinya.
"Makasih Kak," Gusti berucap dengan suara serak.
"Kamu kenapa?" Alan menatapnya dengan tangan terulur menyentuh punggung tangan Gusti, "Masih marah?" suaranya terdengar pelan.
Gusti menggeleng, "Marah kenapa?"
Alan menatapnya lekat, jemarinya perlahan meremas tangan Gusti. "Aku pikir kamu marah karena aku teriak tadi, atau karena aku larang kamu pulang sendiri."
"Bukannya biasanya Kak Alan juga marah-marah?"
Alan tersenyum, tapi entah mengapa dia merasa ada yang di sembunyikan oleh Gusti.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA TANPA ABA-ABA (End✔)
Подростковая литератураDanton tengil yang kebiasaannya selalu marah-marah dilapangan itu nyatanya berbeda jika di belakang Gusti. Diam-diam cowok galak bernama Alan menyimpan perasaan padanya. Namun sikap Alan yang berubah-ubah membuat Gusti tidak tau disisi mana Alan yan...