Minggu ini Gusti tidak keluar rumah, biasanya ia ikut Maryam belanja di pasar tapi tidak untuk hari ini. Seharian setelah membantu Ibunya membersihkan rumah Gusti mengurung diri di kamar. Kepalanya terasa berat memikirkan ucapan ayahnya semalam, bahkan matanya masih terlihat bengkak.
Drrrt... drrrrt....
Tanpa melihat nama sang penelpon Gusti langsung menggeser layar berwarna hijau."Ini siapa?" tanyanya pada sang penelpon.
"Ini aku?" jawab suara itu yang tak lain adalah milik seorang laki-laki.
Merasa tidak mengenali milik suara itu Gusti lalu melihat nama sang penelpon ternyata itu adalah Firman.
"Firman?" ucap Gusti kurang yakin.
"Iya, kamu dimana?"
Hanya pertanyaannya sesederhana itu tapi mampu membuat jantung Gusti berdegup kencang, suara itu terdengar halus dan merdu seakan mampu membius rasa sesak didadanya."Di rumah," jawab Gusti dengan suara khas orang pilek.
"Kamu habis nangis?"
"Nggak, ada apa emang?"
"Beneran nggak habis nangis?"
"Enggak, nggak habis ngapa ngapain kok."
"Oh kirain, hari ini latihan ya? Aku tunggu."
"Kamu. nunggu. dimana?" Gusti bertanya hati-hati.
"Di lapangan, kamu jangan sampai telat datang ya nanti di hukum lagi," sindir suara itu.
Gusti tertawa mendengar itu, "iya nggak akan kok."
"Ya udah, aku tutup telponnya?"
"Iya, daa..."
"Wa'aalaikumsalam" kata lelaki itu.
"Eh bukannya harusnya Assalamu'alaikum dulu?"
Gusti dapat mendengar suara tawa dari seberang sana. "Iya dan harusnya kamu tapi kamu nggak bilang."
"Ya udah Assalamu'alaikum."
"Walaikumsalam."
Sesaat kemudian sambungan telepon terputus, Gusti lalu bangkit dari kasur dan buru-buru berganti pakaian rasanya ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan laki-laki yang bernama Firman.
Tin.... tin...
Gusti mengitip kearah luar jendela dan melihat Damar yang sudah menunggunya di depan pagar, Gusti langsung meraih ranselnya lalu berlari menghampiri temannya.
"Ayo...!" ucap Gusti bersemangat.
"Kamu tau kalau hari ini latihan?" tanya Damar, karena seingatnya ia tidak mempunyai nomor Gusti, makannya ia langsung datang untuk memberitahu, tapi ternyata Gusti sudah siap.
"Taulah..." Gusti percaya diri lalu duduk di boncengan belakang.
"Dari Tiwi ya?" tebaknya.
"Bukan dari tiwi, tapi Firman."
Damar menoleh kearah lawan bicaranya, "Firman siapa?"
"Anak SMA 1."
"Yang mana?"
"Aku nggak tau juga sih yang mana orangnya, tapi ya udahlah nggak penting, ayo berangkat."
"Iya iya..." Damar mengangguk lalu menghidupkan mesin motornya sebelum ia memutar gas ia tak sengaja melirik alas kaki yang digunakan oleh Gusti, "yakin mau berangkat pake kayak gitu?"
Gusti menunduk melihat apa yang di maksud oleh Damar dan ternyata ia masih menggunakan sandal bulu-bulunya, sepertinya ia terlalu bersemangat sampai lupa jika belum memakai sepatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA TANPA ABA-ABA (End✔)
Novela JuvenilDanton tengil yang kebiasaannya selalu marah-marah dilapangan itu nyatanya berbeda jika di belakang Gusti. Diam-diam cowok galak bernama Alan menyimpan perasaan padanya. Namun sikap Alan yang berubah-ubah membuat Gusti tidak tau disisi mana Alan yan...