Alan merebahkan pantatnya lagi di samping Gusti setelah mengembalikan piring dan gelas yang tadi sempat ia pinjam.
"Udah mendingan?" tanya Alan.
Gusti mengangguk pelan, "udah" jawabnya.
"Mau aku antar pulang?"
"Nggak usah Kak, aku bareng Kak Damar aja."
"Oh, ya udah."
Hening, namun setelah beberapa saat Gusti kembali bersuara.
"Ini mobil Kak Alan?"
"Bukan, punya mama," Alan memang anak gedongan tapi ia tidak mau jika mengatakan mobil yang ia bawa adalah mobilnya meskipun ibunya membelikan mobil itu untuknya.
Gusti mengangguk lalu berkata, "kalau aku mau latihan lagi nggak papa, 'kan?"
"Jangan!" jawab Alan seketika, "istirahat aja dulu nanti kalau tambah sakit gimana. Lagian besokan seleksi jadi kamu harus fit emang mau kalau misalnya nggak lulus?"
"Bukannya Kak Alan jamin aku nggak akan lulus?"
Alan langsung bungkam saat itu, ia terjebak dalam lubang yang ia gali sendiri.
"Bukan gitu maksudku..."
"Nggak papa Kak, bukan cuma kakak aja kok yang bilang kata Pak Charles juga," Gusti menunduk, ia kehilangan kepercayaan dirinya.
"Maaf...." sesal Alan.
"Nggak papa."
Alan mengehela napasnya, ia merasa berada dalam situasi tersulit saat ini ketika ia harus menjadi dua orang yang berbeda namun mempunyai tujuan yang sama.
Gusti lalu meraih ponselnya, mengingat hari ini adalah latihan terakhir Gusti ingin bertemu dengan Firman karena hanya Firman yang berani bertaruh bahwa ia pasti lulus, selain itu ia juga sudah tidak bisa lagi membendung rasa penasarannya.
Aku mau kita ketemu hari ini, please. Tulisnya di sebuah pesan.
Alan melirik kearah ponsel yang menyala, ia terkejut ketika Gusti akan mengirimkan pesan untuknya, Alan bukannya takut ketahuan ketika ponselnya berbunyi. Tidak, ponselnya selalu ada di mode senyap tapi yang ia khawatirkan, mengapa Gusti tiba-tiba ingin bertemu.
"Aku ke toilet dulu ya?" pamit Alan.
Gusti mengangguk mengiyakan, setelah Alan lenyap dari pandangannya Gusti merasakan ponselnya berdering.
"Halo" sapa Gusti, panggilan itu dari Firman.
"Ada apa?" saat itu Firman bersembunyi di balik pohon yang berada tidak jauh dari toilet.
"Bisa kita ketemu hari ini?"
"Kenapa?"
"Ya aku mau ketemu, kamu siapa sebenarnya?"
Gusti mendengar lelaki di seberang sana menghela napas, "maaf aku nggak bisa."
"Tapi kenapa?" Gusti mendengus sebal mendengar ucapan Firman.
"Aku nggak bisa sekarang, belum saatnya?"
"Aku nggak mau tau yang penting aku tunggu kamu di lapangan kalau sampai sepuluh menit kamu nggak dateng aku blokir nomor kamu dan kamu jangan nyari aku lagi," ancam Gusti.
"Tina...." suara itu terdengar halus dan dalam, "untuk sekarang aku nggak bisa, maaf ya..."
Gusti terdiam, bagaimana mungkin lelaki itu memanggilnya seperti Farah, dari mana dia tau panggilan itu?
"Jangan marah, tunggu ya suatu saat aku pasti temuin kamu?"
"Terserah, aku nggak mau tau pokoknya aku tunggu kamu titik!" Gusti malas mendengar bualan lelaki itu lalu memutuskan panggilan teleponnya, jika memang ia berniat untuk mendekatinya untuk apa lelaki itu selalu menghindar. Gusti juga tidak mau membuang waktu untuk lelaki yang hanya ingin bermain-main dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA TANPA ABA-ABA (End✔)
Teen FictionDanton tengil yang kebiasaannya selalu marah-marah dilapangan itu nyatanya berbeda jika di belakang Gusti. Diam-diam cowok galak bernama Alan menyimpan perasaan padanya. Namun sikap Alan yang berubah-ubah membuat Gusti tidak tau disisi mana Alan yan...