Alvin termenung dalam kamarnya, dengan Clay yang berada di pangkuannya. Bocah berumur tiga tahun itu sudah sedikit tenang saat dirinya sampai di kamar.
Sedangkan Alvin sedari tadi terus melamun, memikirkan kejadian tadi, dirinya tak habis fikir dengan Samuel. Pemuda itu dengan entengnya berkata dengan nada tinggi padanya.
Memang lebay tapi.. Ia sudah sangat menganggap anak-anak Alvino adalah anaknya, jadi hanya karena perkataan Samuel ia seperti ingin menangis, rasa nyeri di hatinya sangat sakit saat mendengar anaknya berbicara denganya dengan nada tinggi hanya karena seorang gadis yang memang bersalah.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu kamar membuat Alvin tersadar dengan cepat pria itu mengusap kelopak matanya yang terus mengeluarkan cairan bening. Lalu beranjak dengan pelan menuju pintu sembari memperbaiki Clay yang berada di gendongannya agar tak terjatuh.
Alvin membuka perlahan pintu kamarnya setelah terbuka dirinya melihat seorang pemuda berkulit putih dengan tinggi yang hanya sampai telinganya itu berdiri tepat di depan pintu.
"Ada apa?" Alvin bertanya dengan pelan berusaha untuk mengkondisikan suaranya agar tak bergetar akibat menahan tangis.
"Dad.. Aku minta maaf" Pemuda berkulit putih itu menunduk sembari memilin jari-jarinya untuk menahan gugup.
"Yaa.. Kau jaga Clay aku akan kembali kedapur untuk menyelesaikan masakan" Ujar Alvin menyerahkan Clay pada Samuel, pemuda berkulit putih itu menerima sang adik dengan baik, lalu menatap Alvin dengan tatapan penyesalan nya.
"Di mana Sania" Alvin bertanya.
"Dia di kamar, katanya ingin membersihkan tubuh" Samuel menjawab setelah cukup lama terdiam menatap Alvin yang sama sekali tak ingin menatap dirinya balik, dirinya juga melihat dengan jelas wajah sembab daddy nya. Apakah daddy nya menangis?, seperti itulah isi pikiran Samuel sekarang.
Alvin tak menjawab, ia lebih dulu berlalu tampa mempedulikan Samuel, berjalan dengan pelan menuju lantai bawah untuk segera menyelesaikan masakan nya.
Saat dirinya baru sampai di lantai satu setelah menuruni anak tangga yang lumayan banyak, dirinya terdiam menatap pemuda berkulit sawo matang dengan tinggi yang melebihi nya itu sama-sama terdiam. Tumben sekali pemuda itu pulang, batinya.
Alvin memilih acuh dan langsung pergi menuju dapur meninggalkan David dengan tatapan bertanya 'nya. Alvin sebenarnya merasa bersalah karna telah mengacuhkan anak itu, tapi ia sudah terlanjur marah karena perkataan dan nada bicara Samuel tadi. Walau sebelumnya ia sering mendapatkan hal seperti itu dari David tapi.. Menuru Alvin itu sedikit wajar, tapi entahlah Alvin tak ingin memusingkan pikirannya.
Sedangkan David terdiam menatap Daddynya yang berjalan melewati nya, ada sedikit rasa kesal di hatinya saat melihat Daddy nya mengacuhkan nya namun ia memilih tak peduli. Dan langsung berjalan menaiki tangga menuju kamarnya untuk mengistirahatkan tubuhnya.
Beberapa jam telah berlalu, kini hari sudah semakin malam dan jam menunjukkan pukul 19:09.
Ruang makan begitu hening walau di isi oleh lima orang, empat orang dewasa dan satu bocah berusia tiga tahun.
Alvin diam duduk sembari menyuapi Clay, dirinya menatap datar Samuel dan Sania yang tenggah duduk di depannya. Entah kenapa Alvin sedikit jengkel dengan keberadaan gadis itu, bagaimana tidak lihat saja bagaimana prilaku gadis yang sudah seperti jalang itu.
Sania tenggah makan di samping Samuel, gadis itu makan dengan malu-maku sembari sesekali melirik Samuel yang tampak acuh dengan keberadaan nya. Dan jangan lupakan juga wajah memera anak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy
Science Fictionbagaimana jika seorang pemuda sebatang kara tak memiliki keluarga satupun, malah mengalami sebauh kecelakaan yang membuat nya ber transmigrasi ke raga seorang duda tiga anak? sanggup kah pemuda tersebut menjalani kehidupan keduanya di raga pria ter...