Kalau berkenan, kalian boleh koreksi kesalahan kata, kalimat yang rancu atau apapun yang bersifat membangun.
......
Rasanya baru kemarin Jimin tertawa lepas seperti tidak ada beban. Ketika semua atensi tertuju padanya. Jimin merasa seperti pemeran utama dalam sebuah novel dimana ia akhirnya mendapat ending bahagia. Jimin lupa kehidupan lebih banyak menghadirkan plot twist dibandingkan alur yang bisa diduga-duga.
"Dengan apa kau akan mempertanggungjawabkan nilaimu Jimin?" Nada suara terdengar pelan namun tegas.
"Baru kemarin kau mengucap janji untuk mendapat nilai terbaik." Sejin, ayah Jimin melatakkan kertas hasil belajar milik Jimin. Kertas itu sudah didapat ketika Jimin masih dirumah sakit. Sejin mengambil sendiri hasil belajar Jimin kesekolahnya.
Sejak tadi, Jimin tidak berani menatap ayahnya. Jimin menatap kedua kakinya. Jimin tentu tidak tau tatapan seperti apa yang ayahnya berikan. Anak itu pikir sang ayah sangat marah padanya.
"Ayah sedang bicara padamu. Hadap ayah ketika berbicara." Sejin tetap dalam posisinya, duduk di kursi kerjanya. Kata-kata yang terlontar lalu membuat Jimin mendongak menatapnya.
Anak itu nampak pucat dengan bibir gemetar. Jimin menyadari kesalahannya. Ia melanggar janji kemarin yang sudah ia ucapkan. "Maaf ayah." ucapnya.
Setelahnya, suasana jadi terasa canggung. Hening mengisi ruang kedap suara tersebut. Jimin masih dengan rasa bersalahnya dan Sejin dengan tatapan yang tidak dapat diartikan.
"Ayah akan bertanya sekali lagi padamu Jimin. Dengan apa kamu akan mempertanggungjawabkan nilaimu dan janji yang kamu buat?" Kali ini Sejin berbicara dengan nada yang pelan, tidak menuntut. Katanya terdegar semacam pertanyaan sederhana.
Jimin menghembuskan napasnya yang terasa berat. "Ayah, Jimin akan belajar lebih giat lagi. Jimin janji ayah."
Gurat takut, cemas dan pucat nampak pada putra bungsunya. Sejin dibuat meragu dengan keputusan Jimin. "Pergilah kekamarmu." maksud hati ingin membuat anaknya beristirahat saja. Namun Jimin menangkap makna lain.
"Aku akan belajar ayah." putusnya hingga kemudian melenggang dari ruang kerja sang ayah.
"Ayah akan memberimu jadwal keseharian Jimin. Seseorang akan selalu bersamamu untuk mengatur aktivitasmu. Kamu akan tetap berada dalam pengawasan ayah. Lalu janji ayah akan ayah tepati padamu. Ibu dan Kakakmu akan tetap berada dirumah ini. " Sejin menyela Jimin tatkala pintu ruang kerjanya terbuka. Jimin menghentikan langkahnya dan kembali berbalik badan.
"Baik ayah." Lalu Jimin benar-benar pergi. Keluar dari ruangan Sejin.
Lorong rumahnya tiba-tiba terasa lebih panjang saja. Jiimin berjalan sembari menunduk. Rasanya sedih sekali. Jimin merasa gagal dan tidak suka dengan keadaannya.
Berbulan-bulan jimin belajar dengan giat. Mengorbankan banyak waktu bermainnya. Mengesampingkan keinginan pribadinya. Dan yang sangat disayangkan Jimin mengorbankan banyak waktu istirahatnya. Itu sangat melelahkan.
Ada hari dimana Jimin merasa begitu lelah dengan hidupnya. Jimin hanya menunjukan pada orang lain bagaimana cara tersenyum. Kendati orangpun tau bahwa Jimin sedang bersedih.
Kedua kakinya berhenti di depan kamarnya. Tujuh tahun, Jimin menempati kamar dirumah ini.
Orang lain menyebutnya rumah karena bangunan kokoh ini berdiri sempurna terlebih terlihat begitu megah. Bagi Jimin pun bangunan ini adalah rumah. Tapi arti rumah baginya terasa asing dan dingin.Rumahnya bukan tempatnya pulang. Bahkan ketika dunia luar terlihat begitu menyedihkan, pulang kerumah hanya memperburuk perasaannya. Tapi Jimin sangat menyayangi ayah, ibu dan Kak Seokjin jadi sejauh apapun Jimin pergi, rumah itu adalah tempat dimana Jimin ingin menggantungkan harap bahwa suatu hari rumh nya menjadi tempat pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
STILL ALONE
FanfictionMenapak pada sebuah kebohongan, tak tau seberapa lama semua berlalu namun suatu saat ada waktu dimana semua menjadi kesalahan tak bisa di kembalikan. Menjalani dengan topeng tak kasat mata, ada namun tak terlihat. Merasa terlalu buruk dengan diri se...