ALONE 32

671 77 9
                                    

Jimin membatasi diri dari luar dengan korden tebal yang menghalangi masuknya cahaya. Lampu kamarnya ia biarkan mati. Keadaan kamarnya gelap total.

Tubuhnya yang lelah ia biarkan bersandar pada ranjang. Tidak berada di atasnya tapi terduduk didinginnya ubin lantai. Jimin sudah tidak punya daya untuk menangis. Perasaannya benar-benar buruk tapi ia lelah, kepalanya terasa sakit, perutnya mual. Ia belum menyentuh makanan sejak pulang dalam keadaan kacau.

"Kau sekarat."

"Kau tidak berguna."

"Aku ingin membalas dendam padamu."

"Kau bukan siapa-siapa, Jimin."

"Glioblastoma berkembang dengan pesat bila tidak segera ditangani."

"Aku tidak suka kau selamat ketika ayahku mati dalam kecelakaan yang melibatkanmu didalamnya."

Kepalanya berisik sekali. Alih-alih menepis suara-suara yang tumpang tindih dalam otaknya, Jimin justru membenarkan kicauan suara semu di otaknya.

Terkekeh sejenak, Jimin merasa kasian dengan hidupnya yang terasa seperti permainan semesta. Bertahun-tahun diacuhkan keluarga sendiri, kakek dan nenek yang direnggut paksa dari hidupnya, lalu rasa kasian orang orang karena dirinya lemah. Tidak cukup sampai disitu, orang disekitarnya ternyata menganggap dirinya adalah biang masalah.

Lucu sekali, selama ini dia pikir dengan selalu berpikir positif, dengan selalu tersenyum semua akan baik-baik saja. Ternyata lebih buruk dari sebelumnya.

Semesta kenapa gemar bercanda dengannya, candaan yang membuatnya sangsi untuk tertawa.

••ALONE••

Usai mengatakan banyak hal pada Jungkook, Seokjin menyadari bahwa selama ini ia sudah bertindak bodoh. Menganggap bahwa dunianya paling gelap, lukanya paling parah.

Semua orang punya lukanya, tapi seringkali kita lupa bahwa orang lain juga menyimpan sakit. Lalu menjadi denial dengan kenyataan. Bahwa didunia ini semua orang kesakitan, kita tidak sendirian. Alih-alih terkurung dalam titik hitam sendiri. Bukankah lebih baik saling berpegang tangan menguatkan, agar setidaknya hari yang sudah gelap tidak terlalu menyeramkan ketika berjalan bergandeng tangan.

Langkah kakinya ia percepat, tidak sabar menjumpai sang adik yang selalu ia abaikan. Seokjin ingin Jimin bergandengan tangan dengannya untuk melewati hati-hati yang gelap. Meski nanti semuanya akan terasa sulit.

Seokjin tiba didepan pintu kamar bercat putih tanpa motif berarti. Pintu kamar yang menelan adiknya dan dengan kurang ajarnya membatasi akses sang adik dengan keluarganya. Seokjin tidak tau sebanyak apa air mata yang adiknya tumpahkan didalam kamar. Adiknya yang selalu tersenyum dan ceria didepan mereka adalah adiknya yang teramat rapuh.

Rasanya sedikit tidak tau malu, Seokjin menghampiri Jimin setelah semua yang terjadi. Rasanya seperti semua orang hanya akan memberikan rasa kasihan untuk seorang anak yang dilahirkan tanpa dosa.

Lewat pintu putih tersebut, Seokjin dapat melihat bahwa keluarganya sudah terlampau mengucilkan Jimin untuk alasan yang tidak mendasar. Bagaimanapun cerita orang dewasa, seorang anak berhak untuk di berikan afeksi yang banyak.

Seokjin membuka kamar jimin seokjin menghembuskan napas kasar. Ruang kamar tersebut gelap total. Seokjin mengedarkan padang hanya dengan bantuan cahaya yang masuk lewat pintu yang terbuka.

Mendapati sang adik yang terduduk dengan bersandar pada ranjang, mengingatkn dirinya di masa lalu, ketika keadaan begitu berat untuk dilalui. Seokjin tidak terlalu melihat bagaimana raut Jimin. Tapi dari keadaan ruangan yang begitu dingin, Seokjin menyadari betapa gelap perasaan pemiliknya.

STILL ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang