ALONE 30

609 72 13
                                    

 "Makanan enak, baju indah dan segala kemewahan. Itulah yang kau sebut kebahagiaan, namun aku percaya suatu keadaan di mana orang tidak mengharapkan apa pun adalah kebahagiaan tertinggi". - Socrates

_____________

Hari mulai pagi. Matahari sudah mulai meninggi, memancarkan hangatnya juga cahayanya. Cahaya yang terpancar memberikan pantulan cantik pada genangan air danau. Hawa yang semula dingin mulai menghangat. Bunga liar mulai mekar perlahan. Rupanya pagi ini cuaca begitu baik.

Bilasaja pagi tadi ia tidak terbangun lebih awal mungkin pagi ini akan membangun mood yang baik. Seperti alam yang memberikan energi baiknya. Tapi bagi Jimin, energi baik yang alam berikan tidak mampu memperbaiki suasana hatinya. 

Kakinya berlari tanpa arah menghantarkan dirinya di tempat yang indah. Suasana hatinya sangat buruk. Perasaaannya sepeti di permainkan semesta. Jimin memang mengharapkan peduli dari keluarganya. Jimin terlampau ingin memiliki keluarga yang sempurna. Keluarga yang memperlakukannya sebagai bungsu.

Sibungsu yang orang lain rasakan adalah bagaimana kasih sayang orang tua tercurah padanya. Tentang kakak yang menyayanginya dan melindunginya dari rasa sakit. Itu yang Jimin pikirkan sedari kecil.

Tapi sedikitpun Jimin tidak pernah mencicipi nikmatnya dijadikan pusat afeksi. Keluarganya yang nampak sempurna dari luar nyatanya nampak cacat baginya. Jimin bersyukur bahwa kedua orang tuanya masih di tempat yang sama dengannya. Tapi Jimin bahkan tidak pernah mendapat belai sayang bahkan setelah kelahirannya.

Lalu lebih menyedihkan mana ketika mereka diluar sana tidak memiliki orang tua dengan dirinya yang kehadirannya tidak terlihat bagi keluarganya? Jimin tidak ingin berpikir bahwa mereka tidak merasakan sakit karena semua orang punya batas masing-masing untuk rasa sakit.

Jimin sudah menahannya, luka yang terus semesta torehkan. Rasanya sakit sekali, sampai-sampai Jimin tidak mampu lagi untuk mengatakannya. Mengemis kasih sayang mereka bukan berarti Jimin ingin dikasihani. Jimin punya hak untuk diberi kasih sayang.

Lalu ketika dia merasa semua orang tidak dipihaknya, Tuhan membuat tubuhnya juga tidak berpihak padanya. Rasanya ingin kalah saja. Menghilang dari semua masalah. Semesta memang seperti itukan. Hilang satu rasa sakit, maka rasa sakit lainnya datang. Mereka tidak akan pernah habis.

Tetes demi tetes turun dari dua netra sipitnya. Jimin berteriak sendirian. Perasaannya hancur sekali. Jimin juga lelah untuk terus baik-baik saja. Jimin marah pada takdir yang membawanya sampai sejauh ini.

"CUKUP.. AKU INGIN BERHENTI. RASANYA LELAH SEKALI. Aku lelah," Jimin menunduk. Kepalanya pening bukan main. Sakit hatinya beradu dengan sakit yang menyerang kepalanya. Dunia seolah berputar di matanya, sekejap terlihat lalu menghitam lalu berputar lagi. "Sakit sekali." Tangisnya menjadi terisak, lengannya menarik rambut agar rasa sakitnya setidaknya mereda.

Usaha yang Jimin lakukan tidak membuahkan hasil apapun. Tarikan tangannya bahkan tidak terasa sama sekali. Hingga kemudian Jimin merasa payah. Tubuhnya meluruh di tanah, air matanya masih mengalir. Dua binarnya menutup dengan ringisan ringan. Jimin tidak sadarkan diri.

 Dalam situasi ini, rasa-rasanya semesta begitu berkhianat pada pemuda kecil yang tengah kesakitan. Langit biru, angin sepoi-sepoi, bunga bermekaran, burung bernyanyi dan kupu beterbangan. Jahat sekali.

••ALONE••

Ketika seluruh orang mulai berkumpul dimeja makan, kursi yang selalu diisi bocah manis dengan senyum sabitnya nampak kosong. Kursi ruang makan biasanya memang hanya terisi empat orang. Jadi apabila salah satu absen, kekosongan akan sangat terasa.

STILL ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang