Memang sudah hukum alam adanya cinta dan benci pun datang dan pergi. Karena perjalanan bukan hanya tentang hasrat dan harapan. Semua tentang pengajaran-pengajaran kecil yang terselip di setiap partnya terima atau tidak waktu tidak akan menunggu. Bak jarum jam ada saatnya menunjuk ke atas, bawah, kanan dan kiri. Menempatkan diri sesuai kadarnya mungkin lebih baik.
Dunia luas tidak harus berfokus satu titik yang sama
●●ALONE●●
Butir air agaknya menetes secara berantakan tak beritme dan berirama. Daun-daun sudah mulai di peluknya pun dengan permukaan-permukaan yang menghadap langit. Makin lama makin menjadi seolah presensinya minta diakui.
Baru beberapa saat lalu semua masih melakukan kegiatannya. Baru saja terjadi kecelakaan beruntun yang mengakibatkan kemacetan panjang di sepanjang jalan. Baru beberapa menit lalu. Darah yang membasahi permukaan tersapu bersih oleh air yang agaknya mulai mengalir menuju selokan jalan yang kemudian menuju ke hulu, bercampur dengan milyaran liter air.
Beberapa menit lalu suara sirine saling bertautan satu sama lain. Kerumunan orang menambah sesak udara sebab berebut oksigen untuk bernapas. Jadi datangnya hujan sedikit banyak memberi ruang oksigen kembali hadir. Pun dengan semua orang yang justru berlarian mencari teduhan.
Hanya presensi seorang pemuda yang masih saja terdiam di pinggir jalan, tak mengidahkan tetesan hujan yang mulai membasahinya. Seolah dunia berhenti baginya. Kosongnya pandangan menjelaskan kehampaan mendalam. Seolah jiwanya terjebak di dunia penuh penderitaan dan kenangan buruk.
Bak patung, semua orang tak mengidahkan presensinya. Menjadikannya sosok ada namun tak terlihat. Barangkali kakinya mulai kram, perlahan tubuhnya merosot masih dengan kehampaan. Sampai meluruh dengan tanah pun tidak satu juga peduli. Kekalutan itu nyata adanya menjadikan dirinya jatuh seorang diri.
Sampai datang malaikat penyelamatnya, memberi pelukan hangat dan berpuluh kata penenang. Hadirnya memberi sedikit respon. Menjadikan persinggahan sementara untuk rasa sakit yang datang tanpa diundang.
"Jim hei semua baik-baik saja, kamu aman dengan kaka. Kamu percaya kan?" Pelukannya mengerat seolah melonggar sedikit saja akan membuat yang didekapnya hilang. Entah tertelan pikiran nya sendiri atau kenyataan menyakitkan yang memilih Jimin sebagai tuannya.
Pemuda itu menitikkan air mata, menyatu dengan tetes hujan. Sekujur tubuh sudah terbungkus air hujan. Giginya mulai bergemeletuk karena dingin yang menusuk kulit. Kesadarannya sedikit kembali dengan menatap sipenanya dengan tatapan luka.
"Lupakan semuanya oke? Kita pulang hem." Lanjutnya dengan tangan menangkup wajah manis nan pucat di hadapannya. Ia sedikit meringis menatapnya. Jimin nampak kacau dengan tampilan menggenaskan.
Jimin menggeleng sebagai respon singkatnya yang kemudian beritme cepat seiring tubuhnya yang bergetar hebat memberikan kepanikan tersendiri. Rupa-rupanya Jimin memang kehilangan kontrol pada dirinya sendiri. Emosinya jadi mudah terpancing membuat kesedihan, ketakutan dan kesakitan menjadi satu.
Matahari belum tenggelam namun awan sudah menutup sempurna membuat sinarnya tak mampu membuat sore cerah seperti hari kemarin. Kabar buruknya adalah bahwa hujan menjadikan beberapa jiwa yang rapuh kembali jatuh. Terperosok lubang hitam penuh duri.
Lekas saja tubuh lemah Jimin di gendong untuk kemudian memberikan sedikit penanganan agar jiwanya tidak melayang sia-sia untuk kejadian kecil yang belum seberapa. Karena sebenarnya masih banyak kisah yang harus di rampungkan. Tidak bisa diwakilkan, harus Jimin.
KAMU SEDANG MEMBACA
STILL ALONE
FanfictionMenapak pada sebuah kebohongan, tak tau seberapa lama semua berlalu namun suatu saat ada waktu dimana semua menjadi kesalahan tak bisa di kembalikan. Menjalani dengan topeng tak kasat mata, ada namun tak terlihat. Merasa terlalu buruk dengan diri se...