Alone 31

778 107 34
                                    

Hari sudah berganti, waktu berjalan begitu lambat. Seluruh keluarga dirundung kebingungan dengan tingkah bungsu keluarga. Sejak sore hari kemarin, tidak ada satu orangpun yang berhasil membujuk Jimin untuk bicara.

Setelah dibuat bingung dengan menghilangnya Jimin. Semua orang dibuat sedih dengan sikap Jimin yang enggan membuka diri pada semua orang. Jimin bergelung dibawah selimutnya. Pintu kamarnya tertutup tapi tidak terkunci.

Kamar milik bocah tersebut memang tidak dikunci, namun semua orang yang masuk hanya berakhir keluar kembali. Jimin sendiri tengah bergelut dengan pikirannya, ia tidak menangis dan tidak berekspresi apapun.

Semalam matanya sempat  terpejam. Untuk sejenak, Jimin sangat menikmati dirinya tanpa memikirkan apapun. Rasanya ringan saat matanya tepejam dan tubuhnya yang lelah beristirahat. Jimin juga belum makan dari kemarin. Dia tidak memiliki keinginan untuk makan.

Ayah, Ibu, dan Yoongi sudah berusaha membujuk Jimin. Yoongi sempat datang kerumah saat Hyeri menghubunginya. Takut-takut Jimin merasa sakit. Tapi bahkan ketika Yoongi berbicara begitu lembut pada Jimin, Jimin tidak menghiraukan.

Sejak pagi tadi teman-temannya datang kerumah. Taehyung mencoba mengajak Jimin bicara bahkan Taehyung satu-satunya orang yang berani menyibak selimut yang menutupi seluruh tubuh Jimin. 

"Jimin! Kau tidak mau bicara denganku? "Respon Jimin tidak sesuai harapan Taehyung. Jimin berpura-pura memejamkan matanya.

"Jimin. Jangan tidur sampai siang begini. Aku, Kak Namjoon dan Kak Hoseok sudah menunggumu sejak pagi loh." Jimin tetap tak bergeming. Wajahnya pias tanpa rona. Jimin sebenarnya terlihat buruk saat ini.

Taehyung hampir menangis menyaksikan respon Jimin yang mengabaikannya. Walaupun Jimin dan dirinya sering bertengkar, Jimin tak penah memberikan penolakan padanya.

Namjoon dan Hoseok membawa Taehyung keluar ruangan. Mereka menyerah, Jimin barangkali masih ingin sendiri. Tapi mereka berharap Jimin tidak terlalu lama ingin sendiri karena mereka siyap mendengarkan apapun yang ingin Jimin katakan. Mereka siap untuk selalu bersama Jimin.

Keadaan rumah jadi begitu suram. Padahal beberapa waktu lalu, rumah agaknya mulai memberikan warna cerah ketika Hyeri dan Sejin memutuskan untuk saling menerima.

Seokjin sebagai putra sulung tentu merasa terganggu dengan situasi rumah yang memberikan ketidaknyamanan. Semalam, Seokjin memutuskan menginap di apartemen pribadinya. Seokjin sedang merenungkan semua kejadian yang ia dan keluarganya lewati.

Semalam, setelah Yoongi datang dan membujuk Jimin, Yoongi datang padanya dan memberitahu semua yang terjadi pada kondisi tubuh Jimin. Seokjin juga memikirkan mengenai posisi Jungkook dan masalalunya.

Semua terasa salah dan terlalu komplek. Seokjin juga seperti memikul beban yang berat. Pada mulanya ia memang tidak bermaksud untuk peduli tapi hatinya terus gelisah pada situasi saat ini.

Karena alasan itulah Seokjin duduk di balkon apartemennya dengan ditemani secangkir kopi yang mengepulkan asap. Seokjin memandang seluruh kota lewat jendela balkon. Seluruh kota nampak sudah sibuk untuk beraktivitas.

"Huh!" Seokjin menghembuskan napas berat. Seokjin meraih secangkir kopi tersebut. Kopi yang sudah hampir mendingin tersebut, Seokjin tenggak sampai habis. Seokjin membawanya dan meletakkan di wastafel.

Seokjin bangkit mengambil kunci mobil miliknya.

Hal seperti ini tidak boleh Seokjin abaikan lagi. Seokjin tidak ingin terus menjadi Seokjin yang lemah. Keluarganya membutuhkan dirinya. Seokjin harus menuruti kata hatinya.

Seokjin ingin semua orang mendapat kebahagiaan. Ia baru menyadari, rasa sakit yang terus bergumul di hatinya adalah karena ia tidak bisa memahami semua orang. Seokjin juga tidak memahami dirinya sendiri. Seokjin menyayangi ibu, ayah, Jimin dan Jungkook. Dan semua orang itu berhak untuk bahagia.

STILL ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang