Bab 1
DukaMatahari memancarkan sinarnya pagi hari, angin berembusan ke sana kemari menjadikan sebagian kerudung yang dikenakan oleh perempuan itu bertebaran. Pagi ini angin benar-benar kencang, tanpa perempuan itu sadari, ada pengendara motor yang cukup kencang mengarah pada tempatnya berdiri. "Astagfirullah, gila lu, ya!"
"Ya siapa suruh ngelamun di parkiran," ucap Vero disusul kekehan menyebalkan.
"Masih baik nggak jantungan." Elena mengusap dadanya, untuk menetralkan detak jantung yang memburu.
Suasana koridor sekolah yang sedikit berbeda, mendadak membuat Elena memelankan langkah kakinya, berusaha mendengar apa yang sedang diperbincangkan siswa-siswi SMK Jaya Arma pagi ini. Namun, tak sedikitpun informasi yang bisa Elena dengar dari mereka, lantaran berita yang berusaha untuk dia dengar tak sampai di telinganya.
"Hmm, nguping kan lu?!" Terdengar suara Vero yang berusaha mensejajarkan langkahnya.
"Kenapa ke sini, jurusan kimia analis kan sana, nyasar apa lupa jalan?" ucap Elena sedikit meledek.
"Nganter lu sampe kelas, lah, kan gue perhatian," jawab Vero dengan nada sewot.
"Cie, takut gue kenapa-napa ya?" Elena menjawil lengan Vero dengan maksud menggodanya. Ruangan yang cukup luas kini telah berada di depan mata Elena dan Vero. Kelas 12 Akuntansi, merupakan kelas yang akan Elena duduki satu tahun terakhir ini.
***
Menyerah? suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada sosok Elena, tetapi hari ini dia memutuskan berhenti berusaha untuk berdiri dikala jatuh menimpa lagi. Bukan karena lemah, tetapi lelah. Terus-terusan diserang oleh tikaman luka, dan dihantam pahitnya kenyataan. Suara lemparan kaca pun yang begitu keras menghantam sebuah meja, bunyi dentuman memantul di telinganya.
"Cukup! tubuh lu terlalu berharga untuk di lukai dengan kaca itu!" Vero berusaha menghentikan aksi konyol Elena.
"Gue cape Vero, cape!” Dia menjatuhkan lemas tubuhnya ke lantai.
Vero mengangkat tubuh Elena, dan berusaha mendudukkannya di sebuah kursi gudang sekolah. "Ada gue Len, lu gak perlu takut."
"Mending gue lukain tubuh gue sendiri Ro, lagian di rumah pun gue tetep dapat perlakuan yang sama, dilukai juga sama bokap gue." Elena berusaha mengusap air matanya, dan tersenyum getir membayangkan hidupnya yang terus-terus an menjadi samsak bagi Papanya.
"Ikut gue," titah Vero dengan menggandeng tangan Elena menuju keluar gudang.
"Lu ngapain ngajak gue ke sini, sih?" Elena menghentikan pergerakan kaki Vero.
"Taman ini indah Len, gue yakin lu akan jauh lebih baik di sini," jawab Vero, lekas menatap kearah depan dengan diikuti Elena. Vero membawa Elena untuk duduk dan menikmati pemandangan langit sore, tak terasa Gemercik hujan turun membasahi tempat yang mereka kunjungi.
Berbeda halnya dengan kebanyakan remaja. Elena Zamira Chayra, sosok yang terlihat begitu ceria namun menyimpan banyak luka dalam hidupnya. Apa pun pencapaian yang Elena dapatkan tidak akan pernah ada nilainya dimata papanya. "Gue itu kuat, cuman trauma gue aja yang bikin hidup gue hancur lebur," ucap Elena, sembari menatap Vero.
"Hm, nanti pulang sekolah jalan jalan yuk," ajak Vero guna menjauhkan Elena dari perasaan sedih yang dia rasa.
"Boleh," jawab Elena singkat.
***
Elena menuruni anak tangga dengan sangat hati-hati, harap harap Bastian tidak mengetahui keberadaannya. Setelah setengah anak tangga dia lewati, Elena berhenti sejenak merasa namanya terpanggil oleh seseorang. "Mau ke mana, lu?"
Elena mencoba memfokuskan pendengarannya, dengan sangat hati-hati ia menoleh ke arah sumber suara. "Astagfirullah, ngagetin aja!"
"Siapa yang ngagetin, lu aja kali kagetan, takut papa ya?" ledek Arkam yang diikuti tawa di akhir ucapannya.
Elena langsung memutuskan untuk turun ke bawah. Arkam mengulas senyum getir karena merasa tak digubris oleh Elena, dia menatap punggung adik perempuannya itu yang makin hilang dibalik pintu.
Sesampainya di cafe Delight, Elena segera mencari Vero yang semenit sebelumnya telah mengabari bahwa dia sudah berada di dalam. "Ah, itu dia." Elena berjalan menghampiri Vero dan segera duduk di tempat yang telah disediakan. Elena melihat banyak menu makanan dan menimun favoritnya, dia tahu pasti ini sudah disiapkan Vero sebelum datang. Vero selalu tahu apa pun selera makanan yang dia sukai.
"Len?" panggil Vero.
"Hmmm" Elena menyeruput minuman matcha miliknya.
"Jadi gimana? lomba?" Vero membenarkan posisi duduknya. "Gue denger si katanya bulan ini."
"Gue bingung ro, kemarin Bu Ria manggil gue ke ruangannya."
"Terus apa kata Bu Ria?"
"Beliau minta untuk tetap ikut, karena harapan beliau cuma gue." Elena menekuk bibirnya ke bawah, menghela napas pelan.
Vero sangat tahu bagaimana kondisi keluarga Elena. Jangankan untuk mengikuti lomba, Vero tahu betul hanya sekadar izin keluar saja sudah sangat susah apabila papanya di rumah.
***
Suasana halaman sekolah yang luas, dikelilingi pepohonan yang begitu menyejukkan. Membuat siapa pun betah duduk di bawahnya. Gadis pecinta buku itu tengah asyik dengan bacaannya.
"Ikut gua sekarang!"
"Kenapa tarik-tarik, sih!" Elena berusaha melepas cengkeraman yang begitu kencang mengapit tangannya.
"Ada yang mau bunuh diri, kasus yang sama."
"Hah?".
.
.
"Aku selalu berharap Asmaraloka berpihak kepadaku, menghapus Rinai yang berhamburan membasahi pipiku, dan menjadikan lengkungan indah terpatri di bibirku."
-Bibliofilia
Up : 20 Januari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Bibliofilia (End)
Teen FictionCerita ini terinspirasi dari kurangnya keadilan atas korban-korban pelecehan. . . . Semua orang berhak menerima keadilan, tetapi tidak semua orang mendapatkan keadilan. Hidup tenang dan damai tak akan didapatkan jika ego yang ditonjolkan. Apa sebene...