10. Jurnal Pembalik

279 151 77
                                    

Bab 10
Sekawan

Kalau bukan mulai dari kita, dari siapa lagi yang berani menuntut keadilan? Jikalau tidak ada yang berani bersuara, mengapa bukan kita yang bersuara? mau sampai kapan negeri ini haus akan keadilan? mau sampai kapan uang yang dijadikan patokan?


Tatapan mata Elena tertuju pada bingkai foto yang menghiasi dinding kamarnya. Aroma parfum yang sebelumnya dia semprotkan kearah sprei maupun seisi ruangan kini menembus hidung gadis pecinta buku itu. Seketika, dia teringat betapa harmonisnya keluarga di rumah ini sebelumnya. Sebelum seseorang nenek kesayangannya pergi untuk selamanya. Di hari itu juga Elena merasa dunianya hancur. Satu-satunya orang yang sangat mencintainya meninggalkannya, sedangkan dia sama sekali belum pernah merasakan kasih sayang seorang ibu.

Elena menuruni anak tangga satu per satu. Terlihat Arkam yang sedang menghabiskan camilannya, dan tak lupa ditemani tv yang terus menyala. Gadis pecinta buku itu saat ini ingin menuju dapur, membasahi tenggorokan yang sepertinya sudah dehidrasi sejak tadi. Namun, langkahnya dihentikan oleh berita yang terlintas di layar televisi.



BANGKAPOS

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


BANGKAPOS.COM, BELITUNG - Seorang anak perempuan berusia 13 tahun dilaporkan menjadi korban pelecehan seksual di Kelapa Kampit, Belitung Timur.

Perbuatan keji itu diduga dilakukan oleh paman korban sendiri. Saudara korban, Heny bilang bahwa korban mengadu kepada orang tuanya yang berada di Pangkalpinang setelah mendapat perlakuan tidak pantas tersebut. Korban mengaku kepada orang tuanya dia juga mengalami kekerasan seksual hingga bibirnya luka.

"Korban dijamah di area sensitif kewanitaan. Saya langsung ditelepon orang tuanya supaya mengamankan anak ini. Saya juga shock dan langsung saya ke Kampit dari rumah saya di Jangkang," kata Heny kepada Posbelitung.co, Senin (28/8/2023)

Elena membeku ditempat, tatapannya kian kosong. Sampai lamunannya dibubarkan oleh seseorang yang ntah sejak kapan sudah berada di depannya.

"Ngapain, Dek?" Arkam mengibaskan tangannya di depan wajah Elena. "Dipanggil-panggil diem aja."

"Bukan urusan lu!!" Elena segera beranjak.

"Tunggu!" Arkam menggenggam erat pergelangan Elena.

"Sakit!" Elena mengibaskan tangan Arkam kasar. "Nggak usah pegang-pegang tangan gue!" Dia melupakan sejenak niatnya untuk mengambil minum.

"Kenapa, sih? kenapa benci sama Abang? kita satu rumah, apa pun yang bikin lu benci sama Abang, semua bisa diomongin baik-baik, kan?" Arkam menipiskan jaraknya dengan Elena. "Sampai kapan kita seperti musuh kaya begini? kita ini satu rumah, satu atap, kita itu-"

"Kita itu apa?!" potong Elena tegas. "Satu rumah satu atap? rumah mana yang lu maksud? rumah lu? apa rumah mana?!" Kelopak mata Elena memanas, tangannya terkepal kuat untuk menahan sesak dan juga amarah.

"Dek... Nenek bakalan sedih kalau-"

"Apa?! Justru Nenek bakalan sedih kalau kita akur!" Kristal cair Elena sempurna membasahi lautan kecil di wajahnya. "Udahlah... kita jalani hidup kita masing-masing, TANPA MENGUNGKIT MASA LALU!"

"Justru masa lalu itu yang harus kita selesaikan," lirih Arkam.

Elena segera beranjak, dia sungguh muak berada disituasi rumit ini, dia cukup lelah harus mengingat segala traumanya. Dia benci segala masalalu, terutama masalalu yang kembali terulang beberapa hari lalu di perlombaan.

Hujan deras mengguyur kota, Elena berjalan ke arah jendela. Dia pandangi gemercik hujan yang satu per satu turun membasahi bumi. Tanpa disadari air mata turun membasahi pipi. Sampai kapan pun Elena tidak akan pernah ikhlas dan memaafkan orang yang telah membuat neneknya kehilangan nyawa.

Bagi Elena, semasa hidup dia sudah cukup kehilangan kasih sayang ibunya yang lebih dahulu menghembuskan napas terakhir, juga Papanya yang lebih menyayangi Arkam karena ibunya meninggal saat melahirkan Elena. Tak mengapa jikalau dia harus dibenci papanya, karena saat itu Elena masih mempunyai sosok nenek yang sangat mencintainya.

Kebencian Elena pada Arkam makin menjadi dikala dia mengetahui fakta, bahwa neneknya meninggal di kamar Arkam, Dan Elena bersumpah bahwa dia melihat jelas dengan mata kepalanya, Arkam berdiri di samping neneknya, tanpa berusaha melakukan apa pun.

Semenjak kejadian itulah Elena menutup akses apa pun untuk Arkam berbicara denganya. Ntah kesalahan seperti apa yang Arkam lakukan ke neneknya, bagi Elena itu sebuah hal yang sungguh Elena benci.

***

Elena menghampiri Isva dan Adit yang tengah duduk di area kantin. Segera, dia mengajak keduanya untuk mencari tempat, guna mengobrol sejenak. Tanpa ketiganya sadari, melihat kepergian mereka, dari kejauhan Vero dan juga Kea menyusul. Mereka berempat mengikuti arah gerak Elena yang ternyata terus memacu langkahnya menuju rooftop sekolah.

Vero, Elena, Isva, Kea juga Adit berdiri di belakang pembatas rooftop. Mereka menghadap langit tanpa sedikitpun berucap apa pun.

"Gu-gue mau unggah kasus kemarin," ucap Elena memecah keheningan.
Adit juga Isva yang mendengar itu segera mungkin menoleh kearah Elena.

"Lu yakin?" Adit melepas kameranya yang selalu setia dikalungkan dilehernya, lalu meletakkannya di bawah.

"Gue kemarin nggak bermaksud maksa lu, jadi-"

"Gue nggak ngerasa terpaksa, gue sadar aja korbannya sudah terlalu banyak. Mereka semua nggak ada yang berani melawan sekolah bejat ini. Jadi, biar gue yang melawan dan menyudahi semuanya. Karena gue benci pelecehan seksual!!" Tangan Elena mendadak terkepal kuat, dia lelah dan tersiksa atas traumanya. Jadi, mulai hari ini dia memutuskan untuk kuat, agar tidak ada lagi orang yang merasakan seperti apa yang Elena rasakan. Dilecehkan, lalu tak dipedulikan oleh keadilan dunia.

"Gue bakalan bantuin lu." Adit mengulurkan tangannya ke arah Elena. melewati Isva yang berada di antara mereka.

"Gue juga." uluran itu disambut oleh Isva.

"Mana mungkin gue nggak bantuin lu, Len. Lu separuh hidup gue." Vero mengulurkan tangannya.

"Ya ... walau gue masih kurang ngerti, tapi oke lah." Disusul oleh tangan Kea di atas mereka.

Disinilah mereka, kelima tangan yang sama-sama berjanji untuk saling menguatkan, untuk tetap berada di sini sampai semuanya terselesaikan. Sampai keadilan didapatkan oleh nyawa yang beberapa Minggu lalu telah hilang.

***

Deru mesin motor bersahutan, jalanan terlihat ramai dipenuhi oleh pengendara motor dan beberapa mobil yang terus menancap gas membelah jalanan. Aroma rempah menghampiri dikala kedua remaja itu makin mendekat pada rumah makan soto ayam. Semilir angin malam menerpa wajah seorang perempuan, membuat pashminanya sedikit beterbangan.

Mereka segera duduk mencari tempat di meja pinggiran, agar lebih bisa leluasa melihat jalanan. Rumah makan dengan nuansa sedikit terbuka, membuat siapa pun bebas memilih ingin makan secara tertutup maupun terlihat dari jalanan. Sementara Vero tengah memesan dua porsi soto ayam, juga jus jeruk.

"Makasih, Vero!" ucap Elena dengan riang, dia langsung saja mengambil soto ayam, dan bersiap untuk memakannya.

Vero tersenyum melihat Elena sangat riang seperti ini. "Iya! yaudah makan." Vero mengarahkan tangannya untuk mengelus kepala Elena yang tertutup pashmina.

"Gue bahagia banget lihat lu sebahagia ini, Len." batin Vero
Kedua remaja itupun segera melakukan aktivitas menikmati soto ayamnya, sesekali mereka membahas apa pun yang lewat di pikiran.

"Len." Vero menyruput jus jeruknya. Elena pun menghadap ke arah Vero. "Lu yakin kan soal kemarin?"

Elena mengernyitkan dahinya. "Naikin kasus?" tanya Elena yang disusul anggukan pria berlesung pipi itu. "Yakin, nggak mudah memang bagi gue untuk ngelawan trauma gue, Ro!" Elena menghela napas pelan. "Tapi setelah gue pikir-pikir sampai kapan gue bakalan kaya gini terus? toh gue rasa, gue cukup kuat untuk melawan ini semua, ketimbang siswa-siswi lain."

Elena menjeda ucapannya. "Seperti Neska, gue yakin beban dia jauh lebih nyakitin daripada gue. Gue yakin lu udah tau cerita di perlombaan, kan?" Elena menatap manik mata Vero. "Isva udah cerita kan sama lu?"
Vero menganggukkan kepala, pria berlesung pipi itu menarik sedikit kursinya agar lebih dekat dan leluasa mendengar kelanjutan Elena. "Terus?"

"Gue kira... waktu itu dan saat gue menjadi korban pelecehan di SMP sebelumnya gue adalah perempuan paling patut untuk dikasihani, paling menderita. Tetapi, ternyata banyak perempuan yang lebih menderita dari gue, Ro! Dan itu bikin gue semakin benci sama kasus pelecehan seperti ini." Terlihat Elena menghembuskan napas berat. "Coba deh, sesekali kita peduli sama perkembangan remaja, khususnya perempuan. Ada beberapa orang yang rusak akalnya, dan kita yang merasa masih bisa berpikir sehat kenapa nggak berusaha buat hentikan ini semua? Terkadang sesekali dan bahkan harusnya kita peduli sama kasus seperti ini, agar tindakan-tindakan tidak masuk akal itu bisa berkurang."

"Mana mungkin tindakan itu bisa berkurang, kalau saja kita selalu menganggap itu hal sepele dan wajar, pelaku tidak pernah diberi hukuman yang setimpal, dan korban tidak pernah mendapatkan keadilan yang sesuai?" Elena membenarkan pashminanya, lalu melanjutkan menghabiskan soto ayamnya.

"Gue kagum sama lu, Len." Vero tersenyum, menunjukkan kedua lesung pipinya ke arah Elena. "Apa pun keputusan lu kedepannya, kalau itu baik, gua janji bakal tetap selalu support di belakang lu."

"Vero, janji sama gue yaa? Jangan pernah jadi duri dalam hidup gue, kaya mereka."

"Janji." Vero menautkan jemarinya pada jemari Elena.

Setelah selesai mengisi perut, Elena juga Vero segera beranjak pergi dari ruang makan soto ayam. Angin malam lagi-lagi menghiasi perjalanan Vero juga Elena. Menggunakan motor Suzuki GSX 150 Bandit pria berlesung pipi itu melajukan motornya standar.

.
.
.

"Kita menjadi satu untuk semua, untuk segala luka yang pernah tercipta, dan juga untuk sembuh secara bersama."

- Bibliofilia 2023


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Terimakasih yang sudah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak ya ♥️

Up : Senin, 29 Januari 2024

Bibliofilia (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang