2. Aktiva = Hutang + Pasiva

752 231 138
                                    

Bab 2
Terulang

Terkadang kita memang perlu sedikit berkorban untuk menyelamatkan beberapa korban lainya.

Tepat pada 3 tahun yang lalu, Perpustakaan kota yang bernuansa putih, cukup luas dan berdinding kaca, memancarkan cahaya malam yang begitu indah, membuat betah siapa saja yang menikmati bacaannya di sana. Gadis menggunakan sweater hitam, celana kulot jeans terlihat merapikan pashmina dan topinya yang kemudian menaiki tangga menuju rooftop perpustakaan. Menenteng 2 novel yang kemudian dia letakkan di sembarang tempat.  Gadis itu berjalan pelan satu langkah demi langkah. Meyakinkan diri bahwa dengan mengakhiri hidup adalah jalan paling tepat, dunia bahkan rumah yang dia jadikan tempat teduh sudah bukan lagi tepat paling nyaman. Walaupun masih ada dua orang teman yang selalu ada di sampingnya, tetapi rasa putus asa kini membuat gadis tersebut kehilangan banyak mimpi-mimpi yang dia dambakan, seperti keluarga cemara.

Beberapa menit kemudian terlihat seorang pria yang jalan tergopoh-gopoh menuju gadis tersebut, menarik paksa agar dia menjauh dari tempatnya berdiri. "Mau ngapain lu?!" Pria tersebut terlihat meneteskan keringat dari dahinya, mengatur napas berat dengan menggandeng gadis itu sedikit menjauh. "Lu ngapain di sini?" tanya pria itu sedikit pelan.

"Lu siapa? ngapain halangin gue?" Tatapan kosong terpancar dari sorot mata perempuan itu.

Pria itu berusaha menyadarkan, bahwa apa yang dia lakukan adalah sesuatu yang salah.

Tatapan yang kosong, jiwa yang kosong, dan raga yang mati. Membuat perempuan itu kehilangan arah dan ntah harus melakukan apalagi setelah ini. Ketakutan itu telah menusuk disanubari, menghantap dan mendorong mundur kebahagiaan yang dia ciptakan sendiri.

"Arrghhh!" Elena memegang kepala nya yang begitu nyeri, rasa sakit dan sesak didadanya menghantam keras begitu saja. Bayangan-bayangan masa lalu Elena bermunculan tanpa aba-aba. Tak berselang lama dari itu, Elena ambruk pingsan di tengah kerumunan siswa-siswi yang ingin menyaksikan kejadian pagi itu. Dengan sergap Vero membopong tubuh lemas Elena menuju ruang usaha kesehatan sekolah.

Elena benar-benar tidak mengerti, mengapa bayangan itu muncul kembali, kejadian yang berlangsung kurang lebih tiga tahun yang lalu, kembali menyeruak masuk dalam pikiran. Elena memegangi dadanya yang sesak, napas yang diatur sedemikian rupa agar tetap berjalan semestinya.

"Len." Vero menepuk pelan pundak Elena yang terlihat menggeliat tersadar dari pingsannya. Vero mengangkat pelan kepala Elena dan merapikan bantalnya agar dia bisa duduk bersandar dengan nyaman. Gadis itu mengedarkan pandangannya kesekeliling UKS. Seakan tahu apa yang ada dipikiran Elena, Vero memberi tahu keberadaan Elena saat ini. "Di UKS Len, lu tadi pingsan."

Elena teringat kejadian beberapa menit lalu, dia meneteskan air mata dikala sadar bayang-bayang apa yang tadi menembus pikirannya, mengajak untuk terjun bebas dalam rasa trauma masa lalunya. Vero menyodorkan tisu yang memang sudah tersedia di setiap masing-masing ranjang UKS.
"Ro?" Elena berusaha untuk mencairkan suasana. "Perempuan tadi-"

"Len!" Vero memotong ucapan Elena, sebelum dia mempunyai kesempatan untuk menyampaikan apa isi kepalanya. "Udahlah jangan dipikirin dulu." Vero mengambil botol minum yang telah disediakan pihak UKS dan menyodorkannya ke Elena.

"Enggak Ro, gue cuma pengen tau aja keadaannya."

"Gue ga liat, gue jagain lu." Setelah diam beberapa saat dia melanjutkan ucapannya. "Tapi gue denger dia berhasil diamanin pihak sekolah." Vero mengulas senyum ke arah Elena, menandakan bahwa semuanya baik-baik saja.

Elena hanya menganggukkan kepala, tidak berusaha sedikit pun untuk tahu lebih banyak lagi. Karena menyadari kondisinya yang masih seperti ini. Elena menatap dinding sekitarnya, untuk mengurus dirinya saja merasa belum tentu becus, apalagi mau urusin orang lain. Elena hanya ingin tahu apa perempuan tadi baik-baik saja.

"Kemarin yang sempat rame ternyata anak-anak lagi bahas itu." Vero menghela napas pelan. "Katanya Neska memutuskan untuk melakukan itu karena sekarang dia positif hamil."

Elena membekap mulutnya erat-erat, matanya sedikit terbelalak dan dia berusaha menetralkan detak jantungnya. "Namanya Neska?" Hanya kata itu yang lolos dari kerongkongannya.

***

Tak berselang lama, pemberitahuan bahwa kepala sekolah menyuruh semua siswa-siswi untuk berkumpul di halaman sekolah terdengar. Vero membantu Elena untuk menegakkan badannya, Elena tak ingin berdiam diri terlalu lama di ruangan berbau obat ini.

"Selamat pagi anak-anak hebat SMK Jaya Arma, saya selaku kepala sekolah memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kericuhan yang terjadi pagi tadi. Saya berharap anak-anak semuanya tidak memikirkan hal tersebut, agar tidak menggangu pembelajaran kedepannya-" Suara kepala sekolah mulai menggema di atas mic di depan sana.

Elena mendengkus sedikit kesal "Ro, gue mau sendiri dulu, jangan ikutin gue." Elena menepuk pundak Vero memberi tahu. Setelah mendapatkan anggukan dari Vero, Elena segera bergegas menuju rooftop sekolah. Rasa-rasanya dia bosan mendengar kepala sekolah yang hanya minta maaf tanpa menindaklanjuti kejadian pagi tadi.

Semilir angin begitu kencang, menerpa pucuk kain yang Elena balutkan di kepala nya. Elena duduk bersandar di salah satu tiang yang berada di pinggiran rooftop sekolah. Dia menatap langit berusaha bertanya pada langit mengapa dunia sekejam ini untuk orang yang tak punya kuasa. Rasanya gadis itu ingin marah tetapi ntah pada siapa.
Kejadian tiga tahun lalu, di mana Elena nyaris dilecehkan oleh guru kelasnya sendiri. Pada masa itu juga pihak sekolah sama sekali menganggap bahwa hal itu belum apa-apa. Menganggap bahwa guru tersebut hanya becanda dan membiarkannya tetap berkeliaran di lingkungan sekolah. Hari ini kejadian itu terulang lagi, oleh korban yang berbeda, guru yang berbeda dan lingkungan sekolah yang berbeda. Tetapi, satu yang sama, sikap dari pihak sekolah menganggap nama baik dan reputasi sekolah yang utama.

.
.
.


"Cakrabuana akan terus berputar pada porosnya. Bahagia, sedih, tangis dan tawa tidak ada yang amerta. Tetapi akan aku pastikan tangan kita terus bergandengan tangan, menerjang badai dunia."

-Savero Sakya Tomi

-Savero Sakya Tomi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bibliofilia (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang