14. Debit (+)

258 118 44
                                    

Bab 14
Perjalanan

Jangan pernah takut untuk menuntut keadilan, atas perlakuan bejat orang di luar sana kepada tubuhmu. Tubuhmu adalah suatu hal yang berharga, jauh lebih berharga dari uang-uang yang mereka sodorkan untuk membungkam mulutmu.


Beberapa hari telah berlalu, hari Senin Elena dan Vero telah kembali ke halaman Jaya Arma, dengan kondisi luka yang beberapa mungkin belum kering. Seperti hari Senin pada umumnya, sekolah mengadakan upacara. Halaman SMK Jaya Arma cukup panas, walaupun beberapa pohon telah menutup dan memberi kesejukan di setiap halaman. Namun, bagi Elena ... ini cukup panas. Bukan hanya karena situasi dan terik matahari, akan tetapi rasa khawatir dan tegang atas rencana demo yang akan Elena juga keempat temannya jalani.

Upacara bendera telah berlalu. Guru-guru pun membubarkan peserta upacara. Baru hendak siswa-siswi juga guru melangkahkan kakinya, terdengar teriakan dari arah depan.

"Tolong! Berhenti!" Isva berlalu kedepan, dan mencoba memberhentikan gerak murid lainnya.

Desas desus dari beberapa siswa terdengar dari pendengaran Elena yang memang saat itu masih berada di posisinya.

"Apaan si tu."

"Mau nyari masalah apalagi tu bocah."

"Isva lagi, mau ngapain sih dia."

"Ah, panas gini juga."

Mungkin, karena citra Isva yang sudah cukup buruk dilingkungan sekolah, membuat beberapa dari mereka menggerutu ditempat, dan memberi pandangan negatif terhadap Isva.

"Tepat pada tanggal 21 Agustus, rekan angkatan kita telah berpulang. Neska Arsyila Putri. Siswi kelas 12 jurusan Desain Grafis angkatan 2023." Adit melangkahkan kakinya kedepan, membuat atensi beberapa siswa tertuju kearah Adit. "Genap enam puluh hari penuh duka, kita semua tahu apa penyebab Neska meninggalkan kita semua. Bahkan, mungkin beberapa dari kalian menyaksikan kejadian menyakitkan beberapa pekan lalu."

"Len? Kedepan?" Vero menghampiri Elena yang masih berada dibarisan anak akuntansi.

"Neska Arsyila Putri, adalah salah satu korban pelecehan seksual di sekolah ini. Oleh oknum tidak tahu diri-"

"Berhenti!!" Ucapan Adit terpotong oleh Bu Ria yang melangkahkan kakinya menaiki podium.

"Bubar semuanya!!!" Bu Ria mengarahkan pandangannya ke seluruh siswa-siswi yang berada di halaman sekolah.

"Sampai kapan sekolah ini bakalan tutup mulut perihal kasus seperti ini?! Sampai kapan sekolah mengambil harga diri beberapa dari kita?!” Elena melangkahkan kakinya kedepan, diikuti oleh Vero juga Kea dibelakangnya. "Masih banyak cara kita untuk sukses, tidak hanya sekadar berdiam ketika diinjak-injak, dan mengalah walaupun tak salah!!" Elena berusaha mengatur napasnya sedemikian rupa. Menatap seluruh rekan angkatannya yang sekarang sudah berada di depannya. "Ini perihal tubuh kita. Harga diri kita. Hal yang paling berharga di diri kita."

"Kita memang terjamin akan sukses, tetapi tidak dengan cara membiarkan tubuh kita dipakai semau mereka!!" Isva berucap menggebu-gebu.

Elena berusaha menatap apa pun yang ada diatasnya, mencegah cairan bening keluar dari matanya. Sesak kembali menghantam pertahanannya, membuat tubuhnya sedikit terhuyung. Untunglah dengan sigap Kea mencegah tubuh Elena agar tidak terjatuh dan makin lemas.

"Lu bisa!!" Kea membisikkan ke telinga Elena.

"Mohon dengarkan penjelasan saya!!" Pak Rendi mengambil alih mic yang sebelumnya di pegang oleh Bu Ria. "Kejadian Neska, itu di luar kendali pihak sekolah. Saya, guru-guru lain, bahkan kalian semua sebagai rekan seangkatan maupun kelas 10, 11-" Pak Rendi mengatur napasnya. "Kalian tahu, bahwa ... Neska berpenampilan cukup terbuka, rok yang dia gunakan di atas betis. Pria atau lelaki mana yang tidak tertarik jika seperti itu, pakaian dia yang cukup terbuka-"
"Berengsek lu!!" Isva berjalan tergopoh-gopoh ke arah pak Rendi. Namun, dia lebih dahulu dihentikan Vero dan Adit.

"Tahan emosi lu!" ucap Adit.

Elena mengepalkan tangan. Sekuat tenaga dia menahan sesak yang menjalar di seluruh tubuhnya. Rasa marah, benci, kecewa, juga sakit berbaur menjadi satu mengoyak dinding pertahanan kekuatannya. Elena berjalan lebih dekat dengan kepala sekolah, kembali mengangkat kepala dan menatapnya dengan penuh segala luka dan kecewa.
“Bapak, kalau memang penyebab Neska menjadi korban adalah pakaian. Lantas, bagaimana dengan saya? Saya berhijab, di tempat perlombaan, di penginapan, saya tidak pernah melepas hijab saya, apalagi menggunakan pakaian yang terbuka. Saya tidak menggoda siapa-siapa, saya fokus dengan urusan dan kepentingan saya.” Elena menghapus cairan yang keluar dari matanya. “Jadi, apakah ini juga kesalahan saya? Kesalahan kami sebagai korban? Kesalahan pakaian?” Elena menutup matanya sebentar, merasakan sesak dan panasnya mata yang ingin sekali mengeluarkan cairan. “Dan … apakah memang harus kami yang menanggung malu, derita juga sakit … atas perlakuan manusia yang mungkin saja akalnya sudah tidak berfungsi itu!”

“Hah?”

“Gimana, sih maksudnya?”

“Lena korban?”

“Elena salah satu korban pelecehan juga di Jaya Arma?”

Bisik-bisik dari siswa-siswi kelas 11,12 terdengar begitu mengusik pikiran Elena, terdengar beberapa ucapan simpati dan cemooh an secara bersamaan. Tatapan bingung terlihat jelas dari beberapa murid baru kelas sepuluh Jaya Arma.

“Apa hubungannya dengan kamu, Elena?!” Pak Rendi mengarahkan tatapannya ke Elena.

Elena justru mengalihkan tatapannya ke seseorang yang berada di belakang Pak Rendi. “Apa hubungannya, Pak? Bisa jelasin?” Elena mengangkat satu aslinya ke arah Pak Bima.

Tatapan terkejut terlihat dari raut Pak Bima. Bukan hanya Elena, sekarang seluruh tatapan yang ada dihalaman itu mengarah pada guru itu. Seiring dengan air mata Elena yang terus menerobos membasahi pipinya.

“JELASIN, SEKARANG!!” 

“Ini seriusan sih keknya, gue gak pernah lihat Elena semarah ini,” ucap salah satu rekan sekelas Elena dibarisan kelas akuntansi.

Air mata Elena terus menetes, dengan lemah kakinya tetap dipaksa berjalan. Sorotan kebencian tak bisa lagi ditutupi oleh gadis pecinta buku itu. Tangannya terkepal seperti sedang menggenggam segala bentuk luka yang ditorehkan oleh orang yang berada dihadapannya. Hanya tinggal beberapa jengkal Elena berada dihadapan Pak Bima, menatap matanya dengan penuh luka, dan deru napas yang makin memburu.

“Jelasin sama semuanya, Pak!! Apa yang sudah bapak lakukan ke saya waktu itu!!” Derai air mata masih sama membasahi pipi, kali ini jauh lebih banyak cairan bening yang keluar.

Mungkin bukan hanya Elena, beberapa korban pelecehan di negara ini pasti merasakan apa yang Elena rasakan. Bahkan, mungkin jauh lebih menyakitkan. Setiap hari harus merasakan sesak, dihantui rasa bersalah atas kesalahan orang lain kepadanya. Merasa dirinya tidak berharga, merasa dirinya sampah dan bahkan yang lebih parah, mungkin beberapa dari mereka sudah merasa dirinya kotor dan tak pantas untuk hidup. Sampai pada akhirnya kematian adalah salah satu hal yang mereka putuskan untuk dipilih. Untuk mengakhiri segala luka, derita dan rasa ketidakberdayaan.

Sesungguhnya mereka adalah orang yang hebat, yang mampu menampung segala lukanya. Semua korban-korban pelecehan di dunia ini masih pantas dan akan selalu pantas mendapatkan perlakuan yang lebih baik. Memperbaiki dirinya, lantas kembali mencintai, menyayangi dan berusaha menerima diri sendiri.

Seluruh manusia di dunia ini, yang memiliki segala luka apa pun itu, kalian tidak boleh sedikitpun terpikir untuk mengakhiri hidup. Saya penulis Bibliofilia sangat yakin bahwa kalian semua adalah orang yang hebat dan patut mendapat rasa cinta yang lebih tulus dari diri sendiri. Mulai hari ini, mari belajar mencintai dan menerima diri sendiri. Segala apa pun luka yang ada, kita sudahi meratapinya, kita usap perlahan untuk segenap rasa tenang.

“Len?” Adit menepuk pelan pundak Elena, menariknya dalam dekapan untuk sejenak menyalurkan rasa ketenangan.

Halaman SMK Jaya Arma kini sudah dipenuhi isak tangis oleh beberapa siswa-siswi. Ntah mungkin mereka juga korban, atau mereka terhipnotis oleh luka dalam Elena dan korban lainya. Bahkan, orang sekuat Isva terlihat menitihkan air matanya, mengusapnya kasar untuk menyalurkan segala rasa sesak yang hari ini dirasakannya.

.
.
.

"Memang jahat, orang yang menyalahkan korban demi menutupi kesalahannya. Lantas, bingung mencari segala kebenaran untuk sebuah kesalahan yang dia perbuat."

-Isvara Anindita


Terimakasih yang sudah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak ya ♥️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Terimakasih yang sudah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak ya ♥️


Up : Jumat, 02 Februari 2024

Bibliofilia (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang