Bab 17
Duka MengejutkanMenangisi dunia sudah cukup menjadi kebiasaan. Sebab dunia ini tempat adanya luka, lara, juga trauma. Namun, akan selalu ada orang baik yang menghentikan kejahatan, apalagi kejahatan yang merugikan banyak orang, merusak sebagian generasi perempuan di dunia ini, dengan merenggut kesuciannya secara paksa.
Di rooftop cafe delight. Beberapa dari mereka menggerutu karena Elena, Vero dan Adit datang tidak tepat waktu. Elena sempat menjelaskan semua yang terjadi dan siapa yang dia temui tadi. Bahwa benar Risa adalah anak kelas 12 Unggulan, di mana dia satu kelas dengan Tigan juga Ken. "Risa itu pendiam banget." Tigan menyedot rokok dalam tanganya.
"Jarang interaksi sama cowok, ngehindar terus dia. Gue nggak nyangka kalau ternyata dia korban. Wajar aja kalau sekarang jadi takut sama cowok." Ken menjelaskan dengan perasaan yang sama dengan Elena. Masih tidak menyangka bahwa gadis sebaik Risa, sesopan Risa menjadi salah satu perempuan korban pelecehan.
"Eh, ini Isva nggak dateng?" Adit menelisik sekeliling rooftop yang sedari tadi belum terdengar suara ramai dari mulut Isva.
"Gue chat tadi, dia gabisa dateng," jawab Kea.
Beberapa dari mereka tengah memakan camilan juga minuman yang telah dipesan masing-masing. "Besok, coba kita cari cctv di JaMa. Gue belum pernah lihat adanya cctv soalnya." Adit menatap rekannya. "Gimana?"
"Jama nggak ada cctv." Tigan memainkan ponselnya, ntah sibuk apa dia sekarang.
"Maksud lu, Gan?" Vero menatap kearah Tigan yang masih sibuk dengan handphone.
"Kalau mau lihat cctv mah percuma. Di ruang-ruang penting nggak pasang cctv mereka."
"Kamera lu, Dit?" Elena mengarahkan dagunya ke kamera Adit.
"Ini?" Adit mengangkat kamera yang dikalungkan dilehernya. "Ya kali kita mau jepret-jepret pakai kamera segede gini, Len."
"Terus gimana?" Elena menatap Adit penuh harap.
"Gue bakalan bikin cctv sendiri. Yang lebih kecil dari ini," jawab Adit dengan yakin.
"Btw, ini fiks kita nggak mau bawa media?" Ken mencoba mempertanyakan isi pikirannya. "Gue rasa akan lebih mudah kalau-"
"Media mana percaya kita sih, Ken?" Kea menatap Ken. "Kaya nggak tau Jaya Arma aja. Malah justru kita yang kalah nantinya."
"Gimana menurut lu, Len?" Ken mengarahkan pandangan ke Elena.
Elena menggelengkan kepala. "Kalau kata PJ O'Rourke, kode pajak ditulis oleh siswa A. Setiap tanggal 15 April kami harus membayar seseorang yang mendapat nilai A di bidang akuntansi agar kami tidak masuk penjara. JaMa melakukan hal sama kaya kutipan itu. Media pasti dikelola oleh manajemen media kan? dan setiap tahunnya JaMa sudah membayar dengan prestasi baik dari siswa laki-laki agar menutupi kejahatannya kepada siswi perempuan." Elena menatap Ken. Karena persoalan ini rekan lainya telah mengerti kecuali Ken dan Tigan yang memang baru bergabung dengan mereka.
"Jadi, karena waktu kita nggak banyak, nanti malam kita kesekolah. Mini cctv bakalan gue buat sekarang," lanjut Adit. Mini cctv / kamera spy merupakan kamera tersembunyi atau kamera mata-mata yang digunakan untuk memotret atau merekam subjek tanpa sepengetahuan mereka. Kamera dapat dianggap tersembunyi karena tidak terlihat oleh subjek yang difilmkan, atau disamarkan sebagai objek lain.
***
Ketuju anggota spark berada diseberang sekolah, guna meyakinkan diri bahwa keputusan mereka untuk datang ke sekolah malam ini adalah suatu hal yang benar. Sesaat, mereka berjalan perlahan melewati pos security sekolah yang tidak berpenjaga. Gedung dan gerbang yang cukup tinggi, namun sayang sangat minim cahaya lampu.
"Kita bagi dua tim, ya?” Elena manatap satu per satu rekannya. "Kalau ada apa-apa kabari, biarin kamera nyala terus," ucap Elena yang disusul anggukan dari teman-temannya.
"Gue, Adit, Vero-"
"Aku ikut." Seorang remaja perempuan memotong ucapan Elena. Membuat atensi seluruh anak spark beralih. Ntah dari mana Risa tahu keberadaan mereka, dan dengan siapa dia bisa sampai sini masuk ke gerbang sekolah. Sedangkan mereka yang lainya saja harus memanjat gerbang sekolah. Mungkin memang Risa juga memanjat, tak menutup kemungkinan orang seperti Risa juga bisa memanjat kan? Namun, untuk saat ini bukan lagi waktunya memikirkan hal itu.
"Risa? Kenapa di sini, Sa?" Dua langkah kaki Ken mendekat kearah Risa. "Ini terlalu beresiko."
"Aku mau ikut, Elena," ucap Risa dengan sangat lembut menatap Elena, mengabaikan pertanyaan dari Ken.
Elena dan rekannya segera mungkin bergerak meninggalkan titik mereka berdiri. Sebelum sampai akhirnya pergerakan mereka dihentikan oleh ucapan Tigan. "Jangan lupa ambil berkas penting yang bisa jadi bukti!!"
Adit mengacungkan jempolnya.
Kelima remaja itu menyusuri koridor yang gelap, melewati beberapa ruang kelas yang kosong. Adit yang berada di depan bersama Vero pun menepuk pundak Vero, membuat yang ditepuk pun menghentikan langkah kakinya.
"Ruang kesiswaan nyala banget lampunya." Vero mengalihkan tatapannya ke Elena yang masih mengintip ruangan di area belakang Vero.
"Elah, nyala lampu aja bingung. Kali aja emang dinyalain."
"Kea!! lu lihat sekeliling lu, suram begitu semua. Aneh banget kesiswaan cerah banget cahayanya." Vero mengosek kepala Kea, membuat Kea menggerutu ditempat.
"Ada orang mungkin?" Risa memiringkan kepalanya.
Mungkin cukup aneh. Sekolah ter elite di sebuah negara, namun ternyata malah minim pencahayaan kala malam hari. Kelima remaja itu saling tatap, sebelum sampai akhirnya suara ledakan terdengar dari arah belakang mereka. Kelima remaja itupun saling melempar pandangan tajam. Detak jantung panik yang makin kencang dan Elena yang terus berusaha menggedor-gedor beberapa pintu kelas disekitarnya, berharap ada satu pintu yang masih terbuka ataupun lupa untuk dikunci agar bisa untuk mereka bersembunyi.
“Woy, sini!!” Adit mendorong pintu, lalu masuk pada ruang kelas 10 Unggulan, diikuti oleh Elena, Vero, Kea dan Risa.
Tak berselang lama dari mereka menutup pintu, suara ledakan kembali terdengar, kali ini memancarkan cahaya-cahaya yang ntah tidak bisa dijangkau oleh pandangan mata mereka dalam ruang kelas itu. Hanya saja derap langkah kaki terdengar beriringan melewati tempat mereka sembunyi.
“Anjir!” umpat Vero.
“Bener kan, di ruang kesiswaan ada guru-guru.” Risa terus mengintip pergerakan guru JaMa dari arah ruang kesiswaan melewati ruang unggulan dan entah akan menuju ke mana.
“Ngapain lagi Bu Ria dan guru-guru lain di sini. Itu tadi ledakan apa juga?” Elena mengarahkan tatapan penuh tanda tanya kearah rekannya.
Sepersekian detik mereka hanyut dalam pikiran masing-masing, lamunan pun terbuyarkan kala dering handphone Adit nyaring. Membuat Elena segera mendekat ke arah Adit, panik. Apabila dering tersebut terdengar dari arah luar.
“Siapa?!”
“Tigan, Ro. Telepon!” Adit mengusap icon hijau ke atas.
“Gimana?”
“Astagfirullah, kebakaran!” Suara Ken terlihat panik dari seberang.
“Kelas lu, Dit!” Suara parau Tigan terdengar menembus pendengaran. “Kalian gapapa? Di mana?”
“Aman, kita di 10 unggulan, “ jawab Vero yang disusul helaan napas dari mulut Tigan dan Ken. “Kamera, lu?”
“Nyala, nyala ini, kerekam kok,” ucap Ken.
Elena merebut handphone Adit, lantas mematikannya mendadak. Membuat Adit mengerutkan dahinya keheranan. Elena melangkah membuka sedikit gorden jendela, lalu mengintip keluar.
“Kesiswaan sekarang!!” Elena hendak membuka pintu, namun tanganya dicekal oleh Risa.
“Len?” Risa menggelengkan kepalanya pelan.
“Gila lu, Len. Jangan lah.” Vero mendekat ke arah Elena.
“Kita tidak punya banyak waktu!” Adit membuka pintu. Disusul Elena melepas pergelangan tangan yang masih tertahan oleh Risa. Lantas, mengikuti langkah Adit keluar. Mau tidak mau ketiga remaja itupun mengikuti gerak langkah Elena dan Adit..
.
.
"Mementingkan napsunya. Sampai lupa bagaimana cara bertanggung jawab yang baik atas kesalahan fatalnya."
- Belrisa Amber Kiara
Terimakasih yang sudah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak ya ♥️Up : Senin, 05 Februari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Bibliofilia (End)
Fiksi RemajaCerita ini terinspirasi dari kurangnya keadilan atas korban-korban pelecehan. . . . Semua orang berhak menerima keadilan, tetapi tidak semua orang mendapatkan keadilan. Hidup tenang dan damai tak akan didapatkan jika ego yang ditonjolkan. Apa sebene...