Bab 9
SickTernyata ada yang lebih krusial ketimbang akuntansi, desain grafis maupun mata pelajaran lainya, yaitu pendidikan berupa attitude. Banyak orang yang berpendidikan tinggi tetapi lupa merawat attitudenya.
Dari sekian banyaknya rasa benci, Elena paling membenci ketidakadilan. Dari sekian banyaknya luka, kalah dalam menuntut keadilan adalah yang paling menyakitkan. "Jadi? Isva beneran temen sekelas lu?" Elena menyruput boba matchanya.
Vero menganggukkan kepala. "Gue sering call sama Isva, karena kita sering satu kelompok dalam ngerjain tugas."
Elena manggut-manggut mendengar penjelasan dari Vero. Dia menilik area kantin, terlihat ramai, banyak siswa-siswi yang menghabiskan waktunya mengobrol dengan rekan semejanya. "Terus, lu?" Elena memalingkan wajahnya ke arah Kea. "Apa yang lu tahu soal Isva, Ke?" Terlihat raut penasaran dari Elena.
"Oh, tanya gih sama Vero, itu si Isva kasar banget. Suka merundung siswa lain."
Elena mengernyitkan dahinya, membuat alisnya sedikit menyatu. Gadis pecinta buku itu keheranan, karena first impression nya ke Isva sangat baik. Bagi Elena, sepertinya Isva bukan gadis seperti itu.
"Tapi... Isva baik kok," ucap Elena.
"Lu aja yang nggak tahu, Len. Sibuk pacaran sama buku, sih." Kea memanyunkan bibirnya sebal.
"Isva tuh sebenernya baik, lu aja yang belum kenal dia, Ke." Vero membenarkan sedikit rambutnya yang berantakan.
Membahas soal Isva, membuat Elena kembali teringat kejadian di perlombaan. Bulir-bulir air mata Elena membasahi pipinya, sekuat tenaga gadis pecinta buku itu menahan agar tidak terlihat oleh Vero dan Kea. Dia seka air matanya, lalu dia alihkan dengan memakan bakso Bang Bambang favoritnya.
"Loh, Len? Kenapa?" Vero menepis jarak antaranya dan Elena.
Kea yang menyadari pertanyaan Vero pun segera menatap Elena. "Len? nangis lu?"
Elena segera mungkin menggelengkan kepala, dan tersenyum tipis. Bahkan, mungkin saking tipisnya senyum Elena seperti sedang menertawakan diri sendiri. Menertawakan diri yang tidak bisa sekuat orang lain, merasakan rasa trauma yang terus menggerogoti kebahagiaannya.
"Lena? Woy! nangis lu?" Gadis bertopi itu segera mendudukkan badannya di samping Elena. Diikuti tatapan sengit dari Kea. Isva lekas menggandeng pergelangan tangan Elena. "Ikut gue, Len." Dia menatap kedua rekan Elena dimeja. "Lu! dan lu! gausah ikut!" Gadis bertopi itu menunjukkan jarinya ke arah Vero dan Kea secara bergantian.
"Idih, siapa juga yang mau ikut," monolog Kea.
Perpustakaan sekolah cukup sepi siang ini, membuat siapa pun pengunjung merasa nyaman, sebab tidak terlalu banyak bising di sana-sini. Beberapa pengunjung terlihat fokus dengan bacaanya. Disinilah sekarang Elena dan Isva. Di salah satu meja tempat Elena membaca kala di perpustakaan sekolah. Itupun hasil dari permintaan Elena untuk menuju ruang baca ini. Angin lewat celah-celah jendela berhembusan meniup permukaan kulit kedua remaja SMK itu. "Jadi, kenapa, Va?"
Isva menghela napas. "Len, Lu mau naikin kasus kemarin nggak? Lu nggak boleh diem, Len." Isva mengubah posisinya, lalu menatap ke depan. "Gue bantu, Orang berengsek kaya Bima-"
"Va!!" Elena segera mengedarkan pandangannya, takut-takut kalau ada yang mendengar kelancangan gadis bertopi itu menyebutkan guru tanpa embel 'Pak' dan lebih parahnya dia mengeluarkan kata kasar yang jelas-jelas tertuju untuk guru itu.
Isva menunjukkan deretan giginya. "Pak Bima. Eh, maksudku... guru baik seperti Pak Bima harus dapat apresiasi dari kita."
Rupanya tanpa mereka berdua sadari, dalam sekat lemari susunan buku terlihat seseorang yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan mereka berdua. Ingin sekali rasanya lelaki itu ikut bergabung. Karena, juga ada banyak kericuhan yang mengisi pikirannya. "Sampai kapan berdiam diri dengan kebodohan? sampai kapan mau diinjak-injak-"
Mendengar ucapan lelaki yang tak disangka-sangka datangnya, Elena mengernyitkan dahinya. Tetapi, tanpa dia sendiri sadari, Elena memosisikan dirinya untuk mendengar kelanjutan ucapan lelaki itu.
"Sampai kapan-" Ucapan lelaki itu mendadak tercekat di tenggorokan. "Sampai kapan kita menunggu lebih banyak jiwa yang rusak?"
Isva menganggukkan kepala, dan mengubah arah pandangnya ke Elena.
Setelah lama suasana hening, gadis pecinta buku itu segera memecahkan keheningan. "Tapi... tidak semudah yang kalian pikirkan. Berapa perempuan yang sudah hilang keperawanan di sekolah ini?" Ntahlah, setelah mengucapkan kalimat tanya itu, terlihat sesak menghantam raga Elena. "Juga, berapa raga yang sudah kehilangan masa depan akibat berontak terhadap sekolah ini?"
Memang benar kita akan terjamin masa depannya di sini. Tetapi,
1. Rules pertama jangan pernah melawan atau berontak apa pun keputusan sekolah.
2. Rules kedua, jangan cari tahu apa pun tentang sekolah.
Dan rules-rules lainya, yang intinya mengacu pada PATUH, NURUT NTAH ITU BAIK ATAU BURUK..
.
.
Akan ada banyak duka, di dalam satu cerita.
- Elena Zamira Chayra
Terimakasih yang sudah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak ya ♥️
Up : Minggu, 28 Januari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Bibliofilia (End)
Fiksi RemajaCerita ini terinspirasi dari kurangnya keadilan atas korban-korban pelecehan. . . . Semua orang berhak menerima keadilan, tetapi tidak semua orang mendapatkan keadilan. Hidup tenang dan damai tak akan didapatkan jika ego yang ditonjolkan. Apa sebene...