Bab 4
Father HungerSegalanya pasti ada hikmahnya, ujian dan cobaan, tangis dan tawa. Tetapi, jika itu bunuh diri? Gue salah satu orang yang ragu, bahwa bunuh diri ada hikmahnya. Karena memang menghabisi nyawa sendiri adalah kesalahan kan? jadi marilah bertahan.
Suasana kantin siang ini cukup ramai, beberapa meja telah terisi penuh. Di meja paling depan diisi oleh dua orang sahabat yang tengah menikmati jajanan. Elena dengan bakso Bang Bambang favoritnya dan Kea dengan batagor kecintaannya.
Vero mengedarkan pandangannya ke sekeliling kantin, netranya berpapasan dengan netra seorang wanita yang tersenyum dari kejauhan. Lalu berjalan menghampiri Elena dan Kea di tempat. Vero mendudukkan badannya di dekat Elena, memiringkan sedikit tubuhnya dan membuka mulutnya. "Mau Len, laper gue."
Elena menyodorkan sebuah bakso ke mulut Vero, persahabatan Elena dan Vero sudah menjadi hal yang tak mengejutkan di SMK Jaya Arma ini. Walaupun banyak yang mengatakan cupu ke arah mereka berdua karena statusnya, tetapi mereka berdua tak mengambil pusing. Karena, bagi mereka berdua saat ini memang persahabatan yang ada di hati mereka.
Lelaki dengan hoddie abu-abunya, yang selalu setia berada ditubuhnya. laki-laki dengan potongan rambut textured crop, tinggi 175cm, alis yang tak cukup tebal, dan kulit beige itu cukup memberikan warna di setiap detik hidup Elena. Eits, jangan lupa lesung pipi yang menjadi ciri khas Vero.
"Ehm." Kea melirik Elena sengit.
Vero mengubah duduknya sedikit serong menghadap Elena dan Kea. "Eh, Neska dikeluarin," ucapnya lirih.
Elena yang mendengar itu seketika berhenti mengunyah, lantas menaruh garbu. "Gue udah denger sama Kea."
"Dan lu tau-"
"Enggak." Potong Elena dan Kea bersamaan.
"Belum buset!" Vero terlihat berpikir kira-kira apa yang dia bisa lemparkan ke kedua perempuan ini. "Pelaku bebas."
"Udah gue duga." Kea melirik ke arah kanan dan kiri. "Udah keliatan kalau bakal dikubur kasusnya." Kea menatap Elena yang sedikit pun tak memberi respons.
Hujan mengguyur membasahi halaman SMK Jaya Arma, sepertinya langit pun menunjukkan ketidak setujuannya atas keputusan yang diberikan sekolah. Bahkan Elena, Kea dan Vero saat ini hanya bisa sama-sama berdiam diri. Masih diposisi sama, duduk dikantin, bergelut dengan pikiran masing-masing. Vero yang mengetuk-ngetukkan jemarinya dimeja, Kea yang hanya diam menatap lurus kedepan dan Elena yang hanya mengaduk-ngaduk separo sisa bakso yang belum dia makan.
"Sekolah yang harusnya menjadi tempat para siswa-siswinya membumbung tinggi impian harapannya, tapi lihatlah sekarang, banyak sekolah yang mematahkan masa depan siswinya. Ini bukan salah sekolahnya, tapi salah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab di dalamnya," ucap Elena. Hujan makin deras, kali pertama Elena menikmati hujan dengan segala kegundahan.
***
Elena menarik handle pintu, membukanya perlahan. Dia mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan. Tepat bola mata Elena berhenti di ruang tamu, terlihat Bastian membenarkan kacamata bacanya, lalu melanjutkan fokusnya ke arah laptop di depannya. Elena berjalan dengan enggan, menghampiri Bastian. Sebelum pencinta buku itu membuka suaranya, papanya lebih dahulu notice keberadaan anaknya disitu.
Elena menyodorkan selembar kertas ke arah Bastian. "Elena mau lomba, jadi butuh tanda tangan Papa di sini."
Tanpa diduga-duga Bastian mengambil pot hias di meja tersebut, dan melemparkannya ke sembarang arah. Suara pecahan pot begitu kencang di telinga Elena. Napas gadis pecinta buku itu tercekat, rasa-rasanya sangat berat menghirup udara di suasana seperti ini.
Dengan suara gemetar, Elena memberanikan diri untuk bersuara. "Elena butuh sekarang, Pa, besok udah harus dikumpulin."
"Mata masih berfungsi?! bisa lihat saya lagi sibuk?!" gertak Bastian pada anaknya.
Sakit. Sungguh sangat sakit, kalimat-kalimat dingin yang Bastian lontarkan mampu menghancurkan segala isi hati Elena. Kaki yang mendadak lemas, tetapi tetap harus berdiri tegak sekarang, di rumah ini, tidak ada yang bisa dia jadikan pegangan.
"Tanda tangan aja apa susahnya, sih, pa?!" Terlihat nada bicara remaja pecinta buku itu naik satu oktaf menggelegar di pendengaran Bastian.
Penelitian yang dipublikasikan dalam Academic Journal of Interdisciplinary Studies menguraikan bahwa hubungan anak perempuan dan ayah memengaruhi perkembangan psikologis buah hati. Pernah dengar Father hunger? Father hunger adalah kondisi psikologis yang dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik seseorang. Kondisi ini dapat terjadi ketika seorang anak absen atau kurang memiliki interaksi positif dengan figur Ayah.
Tetapi lihatlah sekarang, seorang perempuan 17 tahun, yang hampir menghabiskan separo hidupnya tanpa figur seorang Papa. Terkadang dia merasa hilang harapan, bukan karena sudah tak mau mendapatkan atau memperjuangkannya. Hanya saja sikap dan tekanan yang dia dapatkan dari cinta pertamanya membuat dia sedikit berpikir, apa selamanya gadis pecinta buku itu tidak akan pernah merasakan kasih sayang cinta pertamanya?
Padahal hanya minta tanda tangan.
Bastian mengepalkan tangannya erat-erat, sentimennya sangat memuncak. Dia mendorong mejanya kedepan, berdiri lalu melangkah lebih dekat ke arah Elena. Alih-alih menyodorkan bolpoin untuk menanda tangani surat perizinan. Bastian melonggarkan kepalan tangannya, dan menampar keras-keras Elena. "Papa lagi sibuk Elena!! Jangan ganggu Papa bisa?!"
"Stop, Pa!!" Seketika dia menoleh dan mendapati Arkam berdiri di ujung tangga bawah. Arkam berjalan cepat ke arah Bastian dan Elena. Sungguh lelah telinganya mendengar Adik dan Papanya terus bertengkar setiap bertemu.
"Arkam? gimana kuliahmu?" Bastian secepat mungkin mengubah mimik mukanya.
Hati Elena mencelos seketika, selalu dan setiap saat dia akan kalah dengan Abangnya. Kedatangan Arkam membuat gadis pecinta buku itu makin sakit, kenyataan yang harus dia hadapi begitu menyayat hati. Dia benci harus melihat adegan manis antara Papa dan Abang.
Alih-alih menjawab pertanyaan Bastian, Arkam justru mengambil surat perizinan dari tangan Elena. "Pa, tanda tangan dan udah selesai." Dia menyodorkan surat itu ke arah Bastian.
Saat Bastian hendak mengambil surat itu, Elena lebih dahulu merampasnya dari tangan Arkam. Dia dorong tubuh kokoh abangnya dengan keras-keras. "Berhenti caper! gue ga butuh bantuan lu." Elena beranjak pergi.
“Elena!!”
"Pa!" Arkam mencekal pergelangan Bastian, agar dia tidak melanjutkan langkah kakinya mengikuti Elena.
***
Di ruangan bercat biru, gadis pecinta buku itu beringsut ke bawah dengan senderan dinding kamarnya. Menyeka hujan yang turun deras membasahi pipinya. Semilir angin masuk dari celah-celah jendela kamar Elena yang belum sepenuhnya tertutup rapat. Elena berdiri beranjak dari tepatnya duduk, sekali lagi menyeka air mata dan berjalan kearah susunan buku yang begitu tersusun rapi di rak kamarnya. Andaikan hidup Elena juga tersusun rapi seperti buku-buku itu. Toh Elena manusia, beda sama buku, dia jelas diberi kelebihan dapat menata sendiri kerapian itu, menyembuhkan efek dari cobaan itu. Sedangkan buku? dia tidak bisa, saat telah menguning, dia harus menunggu pemiliknya membetulkannya. Tetapi Elena tak perlu siapa-siapa untuk membetulkan itu, manusia dikaruniai Tuhan bisa melakukan itu sendiri. Walaupun terkadang kita tetap membutuhkan uluran tangan orang lain, tetapi setidaknya saat uluran tangan itu tidak sampai, dia bisa mengulurkan tangannya sendiri.
Elena mengambil satu novel favoritnya, dan berjalan menuju ranjang. Dia sangat ingin bersantai merebahkan tubuhnya dengan sesekali membaca buku yang ada digenggamannya. Sejenak, Elena ingin melupakan semuanya, semua kejadian beberapa detik lalu.
Dering handphone Elena terdengar sangat nyaring. Nama Savero tertera di pojok kiri handphone Elena. Tak menunggu lama dia menggeser tombol hijau ke samping kanan.
"Hallo, Lena cantik." Cengiran khas terdengar disebrang sana.
"Apa!!" bentak Elena.
"Len? are you oke?" Vero menjeda Kalimatnya, menunggu Elena merespon. "Lu abis nangis ya, Len? suara lu-"
"Enggak!!" Elena memotong kelanjutan pertanyaan Vero.
"Turun Len, gue di depan," putus Vero segera.
Lelaki berlesung pipi itu menyodorkan beberapa es cream dan juga camilan pada Elena. Hal itulah yang sekarang membuat senyum gadis pecinta buku itu merekah. "Len?"
"Hmm?" Elena melangkahkan kakinya untuk duduk di kursi teras.
"Lu beneran mau ikutan lomba?" Vero menarik kursinya, mengambil posisi lebih nyaman.
"Iya." Elena mengerucutkan bibirnya. "Tapi, tanda tangan-"
"Palsuin aja.".
.
.
Terimakasih banyak yang sudah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak ya. ♥️
Up : Selasa, 23 Januari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Bibliofilia (End)
Ficção AdolescenteCerita ini terinspirasi dari kurangnya keadilan atas korban-korban pelecehan. . . . Semua orang berhak menerima keadilan, tetapi tidak semua orang mendapatkan keadilan. Hidup tenang dan damai tak akan didapatkan jika ego yang ditonjolkan. Apa sebene...