15. Kredit (-)

204 113 28
                                    

Bab 15
Segenap luka

"Pak? Apa kurang cukup tangis kami hari ini?" Elena menarik napasnya dalam. "Apa kurang cukup segala permohonan kami untuk menghentikan ini semua? Anda kepala sekolah kami, Pak! Untuk saat ini hanya Bapak harapan kami."

Pak Rendi terlihat mengalihkan tatapannya ke sembarang arah. "Bubar!! Dalam waktu sepuluh menit halaman harus sudah kosong!!! Semua masuk kelas!!" tegas pak Rendi. Ntah apa yang membuatnya cukup tega melukai hati banyak remaja perempuan.

"Keterlaluan!!" Vero menatap nyalang Pak Rendi.

"Kalian berlima punya bukti apa, ha?! Tanpa bukti semua juga tidak akan ada yang percaya!!" Pak Rendi hendak berjalan meninggalkan halaman sekolah.

"Apa kurang cukup kesaksian dari saya, selaku korban?!" Elena kembali mengepalkan tangannya. "Neska, yang telah bunuh diri?!" Lutut Elena melemas seiring berucapnya kata demi kata yang dia lontarkan. "Apa kurang cukup, Pak?" Suara Elena kian melirih, diikuti tetes demi tetes air mata.

"Itu hanya kecelakaan, apa ada bukti bahwa memang sekolah ini sengaja melakukan itu semua?!" Pak Rendi kembali berjalan menuju ruangannya. Menatap kearah guru-guru lain yang kemudian mengikuti gerak langkah Pak Rendi meninggalkan halaman sekolah.

Masih terlihat tatapan iba dari siswa-siswi SMK Jaya Arma, beberapa dari mereka juga segera beranjak ke kelas masing-masing. Terlihat perempuan berwajah sawo matang, hidung yang cukup mancung, rambut yang tertutup oleh hijab segiempat berjalan ke arah Elena juga teman-temannya.

Tanpa disadari gadis itu memeluk Elena. Setelah beberapa saat pelukan itu terlepas, yang terus disaksikan oleh Adit, Vero, Kea juga Isva. "Semangat, ya!" Gadis itu menarik dua kurva bibirnya ke atas. "Aku ... tidak berani bantu apa-apa, tetapi aku berharap kamu berhasil-" Siswi perempuan itu menghela napas perlahan. "Berhasil untuk nyari keadilan buat kita semua, berhasil juga untuk menyelamatkan banyak orang, dan menghapus kehidupan yang penuh kebohongan di sekolah ini." Gadis itu menepuk pundak Elena pelan. Lantas, tersenyum kearah empat remaja yang juga berada disitu sebelum dia benar-benar beranjak pergi.

"Permisi." Tak berselang lama, terlihat seorang pria menghampiri kelima remaja itu.

Adit memiringkan kepalanya. "Ya?" Adit mengeryitkan kepala, seperti pernah melihat sosok remaja pria ini. Namun, dia sedikit lupa.

"Ada apa?” Kini seluruh atensi tertuju pada pria itu.

"Emmm, boleh ngobrol sepulang sekolah? Sama kalian semua.”

***

Setelah beberapa saat mereka mengobrol dan bercanda hal-hal random. Seolah-olah melupakan sejenak kejadian menyakitkan siang tadi. Sepersekian menit mereka merasakan kembali seperti dahulu, sebelum semuanya berontak. Merasakan bahwa mereka adalah remaja sekolah pada umumnya, yang setiap hari merasakan bahagia dan membumbui masa remaja oleh kenangan yang akan di kenang di waktu yang akan mendatang. Tetapi, tetap saja ... meraka masih sama, korban dari satu sekolah elite di kota ini. Siswa yang tertipu oleh baground dan citra positif menggiurkan sebuah lembaga.

"Gue, udah boleh ngomong?"

"Oh ya, gimana-gimana?" Adit menghadapkan wajahnya kearah pria yang tadi siang menemui mereka dihalaman.

"Thanks, ya. Kalian udah mau nemuin gue." Pria itu mematikan putung rokoknya, guna melanjutkan ucapannya.

"Santai aja, kita juga sering kumpul di sini kok," jawab Isva.

Bibliofilia (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang