Bab 3
Kacau
Tidak ada yang pernah tahu, satu atau dua tahun ke depan kita akan jadi apa. tetapi kita perlu tahu bahwa jadi apa kita tergantung tindakan dan risiko apa yang siap kita ambil.
Suasana kelas yang cukup berisik membuat Elena dan Kea jenuh duduk lama di kelas. Seperti biasa Elena menghadap buku yang saat ini dia baca, untuk menghilangkan rasa bosan. Hari ini suasana cukup ramai, dikarenakan mata pelajaran yang kosong di jam siang itu.
"Len, Len?" Kea menyenggol lengan Elena dengan pelan. Karena sama sekali tak ada respons dari Elena, Kea berusaha memanggilnya kembali. "Elena Zamira!" Kea mendekat ke arah telinga Elena, harap-harap perempuan itu mau mengalihkan fokusnya dari buku yang dia baca.
"Hmm, lagi seru nih buku, diem dulu!" sanggah Elena pada Kea. Elena sedikit menjauhkan tubuhnya dari Kea.
Kea memalingkan wajah malas, dia sama sekali tidak menampakkan muka terkejut melihat Elena yang tak meresponsnya. Elena memang selalu begitu, disaat sedang asyik membaca, mungkin siapa pun tak akan berhasil mengganggunya.
Menurut Joseph Brodsky ada kejahatan yang lebih kejam daripada membakar buku, salah satunya adalah tidak membacanya. Buku bagaikan teman setia Elena setiap saat, bukan hanya mendapat ilmu dari sebuah buku, tetapi dengan membacanya membuat pikiran jauh lebih tersusun.
"Lena, lomba lu bagaimana sayang?" Dengan nada yang sok dibuat-buat Kea berusaha mengutaran pertanyaan.
"Dih, sayang-sayang, amit-amit, Ke!" cetus Elena, gadis itu menyodorkan sebuah buku ke arah Kea. "Nih baca buku, biar lebih sehat pikirannya."
Dengan muka kesal, Kea mengambil buku yang disodorkan Elena, bukan untuk dibaca, melainkan hanya dibuka-buka saja. Setelah cukup lama Elena fokus membaca, tiba-tiba dia beranjak dari tempat duduknya. Merapikan buku miliknya, dan tanpa aba-aba mengambil buku dari genggaman Kea.
"Ikut gue, Ke!" Elena menggandeng tangan Kea paksa untuk mengikutinya.
Elena dan Kea berjalan di koridor sekolah, sepertinya banyak kelas yang kosong juga siang ini. Di buktikan dengan banyaknya siswa-siswi yang berkeliaran di luar kelas.
"Neska dikeluarin lo hari ini!"
"Iya iya gue denger juga."
"Kasihan banget ya? nggak tau lagi gimana perasaan dia sekarang."
"Yaudahlah itu urusan dia."
Elena tak sengaja mendengar beberapa siswa dan siswi yang sedang mengobrol membicarakan orang yang hendak bunuh diri kemarin. Perasaan Elena sangat berkecamuk, rasa ingin tak terima tetapi dia bukan siapa-siapa. Memang Elena sama sekali belum mengenal Neska, tetapi kasus yang sedang Neska hadapi membuat Elena sangat iba mendengarnya. "Ayo Ke, buru!" Elena kembali menggandeng lengan Kea.
"Stop!" bentak Kea. "Mau ke mana? jawab dulu!" Kea menahan langkah kaki, agar Elena tidak bisa menarik lengannya lagi.
"Ke ruangan Bu Ria Kea cantik ...." Elena memuji dengan nada yang dibuat-buat. "Mau ngasih info kalau gue jadi ikut lomba." Elena memutuskan untuk mengikuti lomba pidato. Rasa-rasanya sangat berat bagi Elena meninggalkan kegiatan apa pun yang dia sukai.
Baru beberapa langkah, Elena dan Kea dihentikan oleh kemunculan orang yang tak disangka-sangka. Tak hanya Elena, Kea pun diam membeku ditempatnya. Neska yang memiliki bentuk muka bulat, terlihat pucat. Hidung yang mancung, mata berwarna cokelat dan rambut hitam sepinggang. Terlihat raut mukanya sangat lesu. Tepat sekali, mungkin Neska telah mendengar keputusan bahwa dia dikeluarkan.
Harusnya yang salah tetap salah, mau dia seorang guru atau apa pun itu
***
Elena berjalan menyusuri kota, setelah naik angkutan umum, dia memutuskan untuk berhenti di sebuah halte. Perpustakaan kedua yang menjadi tempat kecintaan Elena setelah perpustakaan sekolah. Tempat yang sama sekali tidak menyediakan buku-buku bajakan.
"Len?" panggil Vero tiba-tiba, di persimpangan jalan.
"Loh, muncul dari mana lu Ro?" Elena tertawa tipis.
Setelah Elena memberi tahu bahwa dia akan ke perpustakaan, Vero memutuskan untuk mengikuti Elena. Vero bukan tipikal orang yang suka baca buku, dia hanya baca buku disaat-saat bersama Elena saja. Mungkin dengan rasa keterpaksaan? Tetapi ntahlah hanya Vero yang tahu.
Setelah sepersekian menit Elena membaca, terlihat layar televisi yang tiba-tiba menyala. Muncul sebuah berita yang mampu membuat Elena mengalihkan tatapannya dari buku.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat ada 10 kekerasan seksual terhadap anak di sekolah sepanjang awal Januari sampai 18 Februari 2023. Dari kejadian itu membuat 86 anak jadi korban kekerasan seksual, baik laki-laki maupun perempuan.
Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti menyebut, 50 persen kasus kekerasan seksual terjadi di jenjang SD/MI, 10 persen di jenjang SMP, dan 40 persen di Pondok Pesantren. Dari 10 kasus tersebut, 60 persen satuan pendidikan tersebut di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) dan sisanya 40 persen di bawah Kemendikbud Ristek.
"Ck ... ternyata nggak di sekolah kita doang begitu." Vero menggelengkan kepalanya dan menatap Elena yang tengah berdiam diri entah memikirkan apa.
"Mohon maaf kepada seluruh pengunjung perpustakaan, akibat ketidaksengajaan media televisi kami menyala."
Memang tidak biasanya perpustakaan memutar berita televisi, paling-paling digunakan memutar YouTube itupun hanya untuk membunyikan beberapa macam instrumen.
"Pelecehan dalam bentuk apa pun itu udah salah, bahkan salah banget, mana terjadi di anak sekolah. Yang paling bikin sedih kalau pelakunya guru sendiri, yang katanya berpendidikan tapi nggak bertanggung jawab. Ya nggak nyalahin semua guru sih, cuma memang nyalahin yang berperilaku seperti itu aja." Elena mengubah posisinya, agar lebih bisa leluasa menghadap Vero. "Ro? korban-korban kayak begitu kasihan tahu, apalagi yang sampe bener-bener kena. Mereka kehilangan banyak separuh perjalanan hidupnya, terutama masa depan," jelas Elena. "Harusnya sesama manusia saling menjaga, bukan malah membiarkan kaya gitu terjadi dan menganggapnya sebagai hal yang sepele." Elena menjeda ucapanya. "Ro! kok diem aja, sih?"
"Ya kan gue diam dengerin, Elena!!" balas Vero
"Menurut Winarsunu, pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbannya. So? ngatain pake kalimat yang mengandung hal-hal begitu aja sudah salah." Elena menyenderkan tubuhnya pada punggung kursi yang dia duduki.
Vero tersenyum mendengar penjelasan Elena, bukan karena dia fokus sama apa yang disampaikan. Tetapi Vero merasa kagum mendengar pemikiran gadis pecinta buku di depannya ini. Gadis yang sendirinya memiliki trauma tentang hal itu, tetapi masih mampu memikirkan dan memberikan simpati pada orang lain..
.
.
"Bolehkan raga ini minta untuk mengunci semua moment ini? agar tidak ada yang meninggalkan dan tidak ada yang berantakan."
-Savero Sakya Tomi
Up : Senin, 22 Januari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Bibliofilia (End)
Fiksi RemajaCerita ini terinspirasi dari kurangnya keadilan atas korban-korban pelecehan. . . . Semua orang berhak menerima keadilan, tetapi tidak semua orang mendapatkan keadilan. Hidup tenang dan damai tak akan didapatkan jika ego yang ditonjolkan. Apa sebene...