Bab 8
Perubahan SuasanaSemburat jingga menyinari bumantara, menyeret paksa chandra untuk menyinari dunia, lalu terpancarlah cahaya keindahan semesta. Begitulah terkadang hidup, kita perlu sebuah paksaan untuk menuju keberanian. Kita butuh sebuah ketegasan untuk menghalau ancaman.
Acara perlombaan akan segera dilaksanakan beberapa jam lagi, Elena dan Isva pun segera mungkin bersiap untuk menuju tempat perlombaan. Sebelum itu, dia lebih dahulu hendak keluar ke fotokopi an yang berada tak jauh dari penginapan.
"Tunggu dulu ya, Kak.”
Elena hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban, lantas duduk di kursi panjang yang telah disediakan untuk menunggu. Fakta baru Elena dapatkan, dia melihat adanya perforator di toko ini, gadis pecinta buku itu heran mengapa kemarin tidak langsung ke sini dan mengapa juga harus keliling jauh untuk mencari. Tak berselang lama, gadis pecinta buku itu merasakan ada yang menduduki tempat di sampingnya. Refleks dia pun menoleh, dan betapa terkejutnya Elena mengetahui itu Pak Bima.
"Cerita apa sama, Isva?" Pak Bima sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah telinga Elena. "Jangan sampai kejadian kemarin-" Guru itu menjeda ucapanya, yang membuat Elena sedikit menolehkan kepala kearahnya. "Guru-guru part time tau!" Pak Bima menegaskan kata-katanya. Namun, tetap lirih.
Elena menelan salivanya susah payah, dia menegang. Kali ini mendengar ucapan sialan guru itu membuat Elena sedikit mengepalkan genggaman tangannya benci, walaupun tetap sama, dia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Elana mengalihkan pandangan ke sembarang arah. Sesekali melihat kearah berkas-berkas yang sedang difotocopy, melihat kanan, kiri maupun depan yang terlihat masih sepi, hanya ada Elena dan Pak Bima pengunjung pertama. Berkas yang butuh Elena copy kan cukup banyak, membuatnya sedikit menunggu lebih lama. Fokus Elena masih sama, memperhatikan sekitar tanpa menghiraukan keberadaan Pak Bima di sisinya. Namun, kepalan tangan Elena mengerat kala dia merasakan tangan guru itu bergerak meraba area punggung Elena. Tanpa aba-aba gadis pecinta buku itu terlihat cepat beranjak, memperbanyak jarak antara Pak Bima.
"Duduk! Atau kamu mau keluar dari sekolah? Saya bisa melakukan banyak cara untuk mengeluarkanmu." Pak Bima mengangkat satu alisnya.
Untuk seseorang yang tidak merasakan apa yang Elena rasakan, sebenarnya itu hanya berupa ancaman biasa yang tidak akan pernah bisa terlaksana. Tetapi, mungkin kondisi Elena yang ketakutan dan terbayang-bayang trauma pun membuat dia tidak bisa mencerna kalimat Pak Bima dengan baik. Lagi-lagi dia begitu ketakutan.
"Woy lu!! Berengsek!!" Isva dengan kasar mendorong tubuh Pak Bima, membuatnya sedikit kewalahan atas dorongan tak diduga dari gadis bertopi itu. Isva segera mungkin menarik lengan Elena, mengajaknya kembali ke penginapan. Selepas kedua siswi itu berada di teras penginapan, Elena menahan pergerakan kakinya. Isva yang menyadari perubahan gerak Elena pun segera berhenti.
“Va, ucapan lu, Itu guru!” Elena menatap Isva dengan tajam, dirinya pun masih keheranan akan sikap Isva di tempat fotokopi an tadi. “Harusnya lu ga dorong kaya gitu, Va!”
“Guru? Emang orang seperti dia masih pantas disebut guru?” tegas Isva sembari membenarkan sedikit topinya, lalu beranjak pergi.
Elena membeku ditempat. “Isva, sepertinya benci banget ya sama Pak Bima?” monolog Elena sembari melihat punggung gadis bertopi itu yang makin menghilang.
***
Hari ini, Elena dan tim lomba dari SMK Jaya Arma telah kembali ke sekolah, beraktivitas seperti semula. Suasana taman sekolah kali ini cukup ramai, beberapa terlihat fokus dengan bacaan, ataupun hanya sekadar bergurau dengan rekannya. Elena dan Kea menikmati es cream di bawah pohon kemboja putih, sembari menyaksikan siswa-siswi yang berlalu-lalang hanya untuk menghabiskan jam istirahatnya.
“Len, Len!” Vero mendudukkan dirinya di dekat Elena.
“Kenapa?”
“Gue tau, siapa pelaku pelecehan Neska.” Pria berlesung pipi itu mengecilkan suaranya.
Mendengar itu, seketika Kea tersedak dengan es creamnya. “Gu-gue juga tau-“
“Abisin dulu tu es cream di mulut,” potong Elena yang melihat Kea tersedak dengan es creamnya
“Pak Bima, Len,” ucapnya lirih. Vero mencondongkan tubuhnya ke arah Elena dan Kea.
Tak berselang lama dari Vero berucap, Elena seketika ikut tersedak, gadis pecinta buku itu memegangi dadanya sesak.
“Nah lo. Pelan-pelan, Lena!” Kea mengelus punggung Elena pelan. Menyebalkannya sekarang Kea terlihat menertawakan gadis pecinta buku itu akibat tersedak sehabis dirinya.
Vero yang menyadari tak ada respon apa pun dari Elena mencoba bertanya. “Lu kenapa sih, Len? Pulang-pulang dari lomba murung terus.”
“Gapapa kali kalau nggak menang. Lu bisa sampek sana aja kita bangga,” ucap Kea sembari kembali memakan es creamnya. Akea Thalita, gadis dengan tinggi 156 dan berat badan 42, Cukup kecil untuk Elena jahili. Rambut selengan bahu atas, dengan potongan layer hair cut yang sering dia cepol saat ke sekolah, alis yang nyaris tidak terlihat dan hidung yang cukup mungil membuat kesan mini pada gadis itu. Dari hari pertama kepulangan Elena, Kea lebih dahulu menyadari bahwa sahabat sekelasnya ini terlihat jauh berbeda. Lebih pendiam, dan tidak jahil seperti biasanya. Apabila di hari-hari biasa Elena menghabiskan waktu baca buku di kelas, akhir ini gadis pecinta buku itu lebih sering melamun saat jam kosong.
Vero meraih tangan Elena. “Lu kenapa, sih, di tempat lomba kemarin? Belum sempet cerita ke kita,” ucap Vero yang diikuti anggukan kepala dari Kea.
“Eh, lu kenal Isva?” Alih-alih menjawab pertanyaan Vero, gadis pecinta buku itu justru memberikan pertanyaan lain.
“Oh, Isva. Dia-“
“Bel masuk bunyi, tuh, masuk kelas dulu.” Kea segera beranjak dan bersiap menggandeng lengan Elena.
Koridor kelas terlihat cukup ramai, bel berbunyi sekitar dua menit lalu. Namun, para siswa dan siswi SMK Jaya Arma terlihat masih bergerombol di sepanjang koridor sekolah. Makin Elena menuju arah kelasnya terlihat gerombolan makin ramai.
“Kenapa dah ni?” Vero menengok ke kanan kiri.
“Anjing memang lu semua!!”
Elena yang melihat teriakan Isva itu terlihat terkejut bukan main. Pasalnya Isva bukan meneriaki rekan seangkatan maupun temanya, tetapi dia meneriaki pak Robi.
“Berengsek!! Otak lu kosong! Nyali lu pengecut!! Cuma berani dalam lingkup kebohongan. Kalo berani akui kesalahan!!” teriak Isva kembali menggema di depan ruang kepala sekolah.
Menurut perkiraan siswa lainya, Isva sudah sedari tadi masuk ruang kepala sekolah, yang ternyata berujung di usir dari ruangan dan disinilah sekarang dia mengamuk ntah apa sebabnya di depan ruang kepala sekolah.
“Ngapain lu semua di sini?!! Pergi!” Setelah merasa dirinya menjadi pusat perhatian, Isva segera beranjak pergi.
“Au…”
“Eh.."
Keluhan demi keluhan terdengar dari para siswa maupun siswi yang sengaja Isva dorong karena menghalangi jalannya. Saat melewati Elena, Isva menatap lekat kearahnya, lalu pergi.
“Kurang ajar banget, sih, tuh, Isva!!” ucap Kea. “Ayuk, Len.” Kea kembali mengajak Elena melangkahkan kakinya menuju Kelas.
Dalam sepanjang koridor Elena masih terheran atas sikap Isva tadi.
“Lu kenapa, sih? Diem mulu.” Kea membetulkan ulang cepolnya, lantas menengok ke arah Elena.
“Lu, kenal Isva juga?”
“Oh, enggak sih. Tau doang. Heran gue juga, anak kaya dia bisa-bisanya kemarin kepilih ikut lomba.” Terdengar dengusan kesal dari mulut Kea..
.
.
"Susah payah luka lama itu gue perban, semudah itu juga dihancurkan. Bahkan, sama orang yang sebelumnya sama sekali tidak gue kenal."
-Elena Zamira Chayra
Terimakasih yang sudah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak ya ♥️
Up : Sabtu, 27 Januari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Bibliofilia (End)
Fiksi RemajaCerita ini terinspirasi dari kurangnya keadilan atas korban-korban pelecehan. . . . Semua orang berhak menerima keadilan, tetapi tidak semua orang mendapatkan keadilan. Hidup tenang dan damai tak akan didapatkan jika ego yang ditonjolkan. Apa sebene...