11. Laporan Arus Kas

272 144 81
                                    

Bab 11
Arus Kehidupan

Dengan adanya kesepakatan, dan kerja sama lebih banyak orang. Negeri ini akan segera mungkin terbebas dari ketidakadilan. Namun, mana bisa keadilan ini didapatkan bilamana lebih banyak manusia yang tidak mau tahu persoalan ini. Terkadang memang kita perlu bersatu untuk membentuk kesatuan yang baik, berdiri tegap untuk melawan apa pun yang melenceng dari sisi kemanusiaan.

Beberapa menit sudah kedua remaja itu menyusuri jalanan, sampai pada sebuah cafe di pinggir alun-alun. Cafe dengan nuansa retro klasik, yang memiliki beberapa barang-barang antik terpajang di area cafe. Di cafe ini membuat beberapa pengunjung jadi flashback bernostalgia di era 80 an. Karena, furniture dan barang-barang yang tersedia hampir semuanya barang antik di masanya yang menjadi koleksi unik sebuah cafe delight ini. Walaupun konsepnya jadul, cafe ini memiliki menu makan yang kekinian. Memiliki tiga lantai, di mana lantai atasnya merupakan area rooftop. Kedua remaja itu berjalan menuju lantai tiga cafe Delight. Sesampainya di atas terlihat Adit dengan aktivitas memotret langit, Isva dan Kea yang adu mulut tanpa henti.

Adit yang sedari tadi sibuk dengan kameranya seketika memberhentikan kegiatannya. "Jadi? apa yang mau kita lakuin pertama?"

"Bentar, emang kalian udah bener-bener siap konsekuensi dari tindakan kita ini?" Kea mulai terlihat fokus dengan pembahasan. "Secara, kita tau sendiri. Jaya Arma itu menaungi banyak sekolah. Yang mungkin bakalan lebih percaya Jaya Arma ketimbang kita berlima."

"Lu pada pernah kepikiran nggak, sih? Ini sekolah sebenarnya dari awal udah banyak yang janggal." Elena bersuara memotong kelanjutan ucapan Kea.

"Gila, bisa-bisanya kita dua tahun lebih sekolah disitu nggak pernah kepikiran seluk beluk sekolah ini." Vero terlihat jengkel dengan sekolahnya sendiri.
"Anjing! anjing!"

"Mulut lu bisa diem nggak? Nyebut temen mulu!" Kea melempar kotak tissu ke arah Isva.

"APA, SIH, LO!!"

"APA? HAH!"

"Diem bisa?!" Seketika semua terdiam mendengar bentakan dari Adit. "Gimana menurut lu, Len?"

"Kita masuk Jaya Arma ini nggak mudah, kita semua tau JaMa adalah sekolah elite yang sulit ditembus. Pertahunnya hanya ada 80 siswa yang berhasil menembus gerbang Jaya Arma. 20 Siswa kelas Kimia Analisis, 20 Siswa Akuntansi, 20 Siswa Desain Grafis, dan-

"20 Siswa unggulan yang setiap tahunnya diajarin banyak hal, termasuk materi jurusan kita," ucap Isva memotong kalimat gadis pecinta buku.

"Gilak," monolog Vero. "Jadi, gue pinter ternyata bisa masuk sini." Seketika Vero terdiam mendapat cubitan dari Elena.

"Pak Bima, Pak Robi, Bu Ria, Pak Rendi." Elena seperti menimbang-nimbang ucapannya. "Guru Tetap," lanjut gadis pecinta buku itu.

"Sisanya guru part time semua, yang tidak lama berada di lingkungan sekolah." Adit membetulkan topi yang dia kenakan.

"Ah, ga muat otak gue buat mikir, udah penuh rumus kimia." Vero memegangi kepalanya.

"Kita nggak usah lanjut ini aja, sih, gue bayangin ngeri cuy kalau kita dapat amplop hitam, diblacklist dari semua sekolah di Indonesia. Cih." Kea menggelengkan kepalanya ngeri. "Jaya Arma itu terlalu menomorsatukan reputasi dan nama baik sekolah. Sampai kapan pun kasus-kasus kemarin nggak akan ditindaklanjuti."

"Justru itu, Ke. Kita ada untuk membuat sekolah ini mau menindaklanjuti kasus pelecehan, ya paling enggak tu guru dikeluarin, lah." Adit menatap Kea. Lalu mengambil jus yang dia pesan tadi.
Tiba-tiba saja Vero tertawa tanpa sebab. "Waduh, kalau tu guru dikeluarin, Jaya Arma kehabisan guru dong."

Isva melempar botol kaleng ke arah Vero. "Anjir, lu, Ro! Suka bener."

"Kita temui Bu Ria, besok," putus Elena, lantas beranjak berdiri. "Pulang, Ro."

"Len? Lu nangis?" Isva melangkahkan kakinya ke arah Elena, membawa gadis itu untuk duduk lagi. Isva membenarkan topinya. "Kenapa, Len?" Seiring pertanyaan gadis bertopi itu keluar. Kea, Vero juga Adit mendekat ke arah Elena.

"Enggak, sorry ya." Gadis pecinta buku itu mengusap air matanya.
"Dada gue sesek aja tiba-tiba." Elena memegangi dadanya yang kembali berkecamuk. Tak mudah bagi Elena untuk lepas dari segala rasa traumanya. Rasa itu masih ada, takut itu masih ada, hanya saja Elena selalu berusaha kuat dan menghilangkan rasa itu. Elena meremas erat jaket yang dia gunakan. “Kalian  pernah denger nggak? terkadang dalam sebuah kehidupan pasti mendapatkan beban yang kita sendiri belum siap menampungnya. Kita harus belajar Akuntansi, Kimia Analisis atau bahkan Desain Grafis, tetapi pada kenyataannya sebenernya yang harus kita pelajari itu cara sembuh dari segala luka, lantas melanjutkan perjalanan hidup bukan?"

Bagi Elena untuk saat ini tak ada yang lebih menyakitkan ketimbang tersiksa dengan trauma sendiri, menahan sesak akibat bayangan masalalu menyakitkan yang menghantam kembali. Terkadang gadis pecinta buku itu suka lupa bahwa beberapa menit lalu dirinya sedang kuat-kuatnya, sampai akhirnya ingatan traumanya kembali lagi, menendang seluruh tubuh Elena, dan mengajak pikiran gadis itu berputar-putar. Tangis pun terkadang tak lebih cukup untuk menghilangkan rasa takutnya, yang dengan tidak tahu dirinya muncul secara tiba-tiba.

.
.
.

"Tidak ada yang bisa menggambarkan seberapa beruntungnya raga ini bisa duduk menikmati semilir angin malam bersama satu raga lain yang tersayang."
-Savero Sakya Tomi


Terimakasih yang sudah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak ya ♥️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terimakasih yang sudah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak ya ♥️

Up : Selasa, 30 Januari 2024

Bibliofilia (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang