Bab 19
KesalahpahamanHidup seperti apalagi yang kau dambakan? Harta sebanyak apalagi yang kau cari? Semua tidak akan pernah ada artinya jika dalam ragamu masih minus akan kepedulian. Apakah dengan banyaknya harta dan kebahagiaan yang kau renggut dari kebahagiaan orang lain itu dapat mendekap erat tawamu? Tidak bisa kah sudahi saja segala upaya untuk saling menyakiti itu?
Elena melangkahkan beberapa kakinya ke belakang, mencari pegangan apa pun yang sekiranya bisa menopang tubuhnya saat ini. Melihat itu, Vero dan Adit segera mungkin beranjak mendekat, mengarahkan Elena untuk duduk di kursi depan UGD. Adit yang berada di samping kanan Elena pun memegangi lengan Elena, dan juga Vero yang berada di samping kiri Elena.
"Kalau kaya gini terus, abis kita semua. Gue jadi ngeri." Kea bergedik. "Sudahi ajalah, kita jalani kehidupan sekolah kembali seperti biasa. Seperti sediakala, pura-pura nggak tahu kalau pernah ada ini semua." Kea menatap rekan-rekannya.
Elena menatap Kea, mencoba memahami segala kalimat perempuan dengan cepol di rambutnya itu. Mencoba menimbang-nimbang ucapannya. Apa yang Kea ucapkan sama sekali bukan hal yang salah, memang betul. Semua akan makin parah, bahkan bisa jadi masing-masing dari kita akan mendapat risiko luka fisik ataupun mental.
"Tapi, kita belum tau alasan kenapa Isva bisa ada disana." Adit mencoba mengeluarkan pendapatnya.
Namun, bagaimana pun juga semua masih butuh mereka. JaMa butuh diselamatkan, Neska butuh keadilan, dan siswa-siswi lain membutuhkan titik terang. Bukankah untuk menuju sebuah keberhasilan kita perlu sedikit berkorban? Tetaplah terus berkorban selagi fisik, mental dan ragamu mampu. Mampu untuk menghadapi segala risiko dan hantaman di dunia ini.
Elena cukup mengerti, perjalanan mereka sudah hampir setengah jalan. Begitu disayangkan apabila diberhentikan sampai sini. Lagi-lagi Elena berpikir, bahwa ini semua bukan tentang kuat atau tidak kuat, sanggup atau tidak sanggup. Tetapi ini tentang teruslah maju sampai suara keadilan ada digenggaman.
***
Ruangan 4x4 dengan cat broken white. Terlihat seorang perempuan berbaring lemah di atas kasur rumah sakit. Dikelilingi oleh tuju remaja smk, yang sama-sama menunggu perempuan itu bicara. "Gimana? udah dapat bukti?" Isva membuka suara, memecah keheningan di antara mereka.
"Lu, tau?"
"Gue, Len." Isva menjeda ucapannya, membuat Elena dan rekannya memberikan reaksi penuh tanda tanya. "Gue yang matiin sakelar listrik tadi. Kalian masuk ruangan kesiswaan, kan?"
"Kenapa? Kenapa lu matiin, Va?" Elena kembali mengeluarkan pertanyaan yang memenuhi pikirannya.
"Ya kali, Len. Lu pikir aja, masak lu gledah ruang penting begitu dengan lampu nyala." Isva tertawa renyah. "Sekalipun jendela, pintu, gorden tertutup, sama aja. Bayangan gerak-gerik kalian kelihatan dari luar."
"Va? Thanks ya," ucap Adit yang direspon anggukan kepala dari Isva.
Suasana hening beberapa saat, masing-masing dari mereka bergelut dengan pikiran dan tanda tanya masing-masing. Dengan suasana malam hari seperti ini, membuat ruangan kamar rumah sakit itu makin diselimuti kesunyian, yang didukung juga oleh membisunya beberapa remaja itu. Melihat kondisi Isva yang belum sepenuhnya pulih, dan terlihat gadis itu masih harus membutuhkan istirahat. Elena dan rekan lainnya memutuskan untuk pulang, dan akan kembali besok hari.
Elena dan anak spark lainnya pun belum mempertanyakan mengapa Isva ada di sekolah tanpa sepengetahuan mereka, karena mereka tidak ingin mengganggu waktu istirahat Isva dengan banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang akan mereka tanyakan.
Di depan ruang rawat, Elena melirik jam yang bertengger rapi di tangannya. Pukul 01:30 dini hari, Elena menelan salivanya susah payah. Membayangkan akan jadi apa dirinya nanti dihadapkan papanya. Panggilan Vero pun tak digubris oleh Elena, rungu gadis itu benar-benar tak berfungsi dikala situasi seperti ini.
"Len?" Adit menepuk pundak Elena, membuat sang empu terpelonjat kaget. "Pulang, udah malem. Ntar bokap lu nyariin." Adit berjalan mendahului mereka.
"Nglamun apa?" Pertanyaan Vero sukses membuat atensi Elena beralih. "Gue anterin, yuk." Vero menggandeng lengan Elena, dia menyadari dan tahu betul apa yang sekarang menghantui pikiran Elena. "Ayok, sebelum semakin pagi."
***
Segera mungkin Elena mengetuk pintu. Sekali dua kali, namun pintu itu tetap tak terbuka. Elena sedikit mengeraskan usahanya, berharap gadis pecinta buku itu dapat segera mungkin masuk dan menghampiri kasur untuk merebahkan badan. Setelah sepersekian menit, pintu itu akhirnya terbuka, membuat Elena sempat mematung ketakutan. Elena menghela napas. “Gue kira Papa!” Elena segera mendorong tubuh Arkam, dan menerobos masuk ke rumah. Belum sempat kaki Elena melangkah lebih banyak, geraknya lebih dahulu dihentikan oleh Bastian yang menatap Elena datar tak jauh dari dia berdiri.
“Keluar!!” Bastian menatap Elena tajam, lantas mengalihkan tatapannya pada Arkam. “Arkam, masuk, nak.” Bastian tersenyum ke arah Arkam.
Elena sama sekali tidak bergeming, diam dan terus menatap interaksi Papa dan abangnya. Elena sudah tidak lagi peduli perlakuan seperti apa yang papanya berikan kepada Abang. Elena segera ingin beranjak dan pergi dari hadapan mereka. Namun, belum sempat Elena melangkahkan kaki, Bastian lebih dahulu mendekat dan menarik lengan Elena dengan kasar, mencengkeram begitu kuat.
“Auu.” Elena terlihat meringis kesakitan.
Bastian mendorong tubuh Elena hingga terjatuh di balik pintu luar. Elena tersenyum kecut sembari berusaha berdiri dan mengusap lengannya yang begitu sakit.
Elena berusaha berdiri dan menyandarkan tubuhnya yang cukup sakit di pintu, beberapa saat hingga kakinya lemas dan merosot ke bawah, dia menyelonjorkan kaki harap-harap pegal di kaki gadis pecinta buku itu segera menghilang. Tetapi, beberapa detik tubuhnya menegang dikala pintu terbuka kembali. Elena berdiri lantas menatap sosok dibalik pintu itu.
“Masuk!” Arkam berusaha memegang lengan Elena, namun ditepis kasar oleh gadis pecinta buku itu. “Di luar dingin.” Lagi-lagi Arkam berusaha meraih lengan Elena.
“Apasi, lu!!” Elena mundur dua langkah. “Udah sono masuk, lu.”
Arkam melangkahkan kakinya keluar, lantas duduk di kursi depan rumah. Seketika Arkam menepuk-nepuk kursi di sampingnya dan menatap Elena. Berharap gadis itu mau duduk di kursi itu. “Mau berdiri aja? Nggak pegel?” Arkam memiringkan kepala.
Gadis itu merasakan cukup pegal di kakinya. Lalu mau tidak mau dia melangkah perlahan, dan duduk. Gadis pecinta buku itu masih tetap sama enggan menatap Arkam yang berada di sampingnya.
“Kenapa nggak pernah ngasih kesempatan Abang buat bicara, Lena?” Arkam menatap manik mata Elena. “Bagaimana mau tau kebenaran? Kalau lu nggak pernah buka akses buat Abang bicara? Langsung saja menyimpulkan tanpa mau mendengar penjelasan apa pun.”
Elena masih diam, tak bergeming sedikitpun.
“Len?” Arkam menghela napas kala tak ada respons dari Elena. “Waktu itu, nenek ngasih ini.” Arkam mengambil sebuah amplop di sakunya, lalu menyodorkannya ke Elena. Arkam rasa ini sudah saatnya Elena tahu.
Elena menoleh, dia menyipitkan matanya guna menelisik amplop apa yang Arkam berikan. Gadis pecinta buku itu masih enggan mengambilnya. Sampai akhirnya Arkam meraih tangan Elena dan meletakkan amplop itu di telapak tangan gadis yang menggunakan hijab pashima hitam, juga jaket varsity hitam itu.
Elena menarik tangannya, diam tanpa suara sembari menatap terus tulisan-tulisan mengerikan di atas amplop itu. Terdapat nama sebuah rumah sakit beserta alamatnya dibagian atas, nama surat itu tertuju untuk siapa di bagian bawah. Elena makin membulatkan matanya kala nama itu adalah nama neneknya.
“Buka aja.” Arkam menarik kedua sudut bibirnya ke atas.
Elena dengan hati-hati membuka amplop itu, menarik keluar isi surat lantas membacanya. Hampir dua menit Elena masih saja menatap isi surat itu, walaupun sesi membacanya telah selesai. Elena menarik napas pelan, lantas menghembuskan parau. Bulir air mata Elena jatuh perlahan satu demi satu, membuat wajah kelelahannya makin tak karuan dengan hiasan air mata itu.
“Nenek kanker otak stadium akhir?” Elena berusaha mengeluarkan suaranya yang berat untuk diajak berucap.
“Abang nggak pernah tau kapan nenek mulai mengidap kanker otak.” Arkam meraih telapak tangan Elena. “Len? Mana mungkin Abang yang jadi penyebab nenek meninggal? Abang juga sayang nenek, Len.” Air mata Arkam menetes.
Sungguh, ini begitu menyakitkan bagi Elena. Pertama kali dalam seumur hidup Elena menyaksikan Abangnya menangis dihadapannya, meneteskan air mata tanpa pencegahan sama sekali. Semenjak kematian nenek, Elena memang sudah jarang berkomunikasi dengan Arkam, menyapapun sudah tidak lagi pernah Elena lakukan. Tanpa dia ketahui, ternyata luka atas kehilangan neneknya sama dirasakan juga oleh Abangnya.
Abang, sosok yang selama ini Elena terus salahkan. Rasa iri Elena akibat Bastian yang lebih menyayangi Arkam, membuatnya secara langsung menilai bahwa Abangnya memanglah sengaja menghilangkan nyawa satu-satunya orang yang mencintai Elena di rumah ini.
“Bang?” Panggilan itu membuat Arkam yang menundukkan pandangan segera mungkin mengangkatnya terkejut.
“Bang?” beo Arkam yang disusul senyuman bahagia, pertama kali Elena kembali memanggil dirinya dengan sebutan Abang.
“Gimana ceritanya, nenek bisa dikamar Abang?”
Arkam menunjuk amplop yang tadi sempat dia berikan kepada adiknya. “Nenek kasih itu sama Abang, beberapa menit sebelum Nenek meninggal. Itu sebabnya, Nenek meninggal di kamar Abang, Dek.”
Begitu pun Elena, dia merasakan getaran kebahagiaan yang luar biasa, kala Arkam memanggil dengan sebutan Dek. Gadis pecinta buku itu mengalihkan tatapannya ke sembarang arah, berusaha menahan senyum serta buliran air mata secara bersamaan.
“Abang, yang akan gantiin Nenek untuk sayang sama lu.” Arkam mendekatkan tubuhnya ke arah Elena dan menarik tubuh gadis pecinta buku itu untuk hanyut dalam dekapannya.
Hal yang sungguh tak pernah sosok perempuan itu pikirkan. Elena Zamira Chayra, merasakan kembali kasih sayang serta cinta dari neneknya melalui perantara Arkam Arrayan Anggara. Malam ini, gadis pecinta buku itu ingin menunjukkan pada langit, bahwa dia begitu bahagia dengan hari ini. Di bawah langit yang terus berubah warna menjadi lebih terang, yang sedikit demi sedikit menunjukkan sorot cahaya pagi, Elena memiliki sosok abang yang sesungguhnya.
Arkam Arrayan Anggara, mahasiswa semester 4 di Universitas Sriwijaya, jurusan Teknologi Informasi. Di jurusan tersebut Arkam mendalami tentang cara membuat sistem informasi yang canggih, termasuk menggunakan artificial intelligence (AI) dan pembuatan teknologi robot..
.
.
"Kalau sekali saja diri memberikan kesempatan, mulut bersedia diam, raga tak pergi meninggalkan, dan telinga siap mendengar. Mungkin, semua tidak akan serumit ini, salah paham tidak akan menghantui, merusak beberapa waktu yang harusnya untuk mengukir memori.”
-Arkam Arrayan Anggara
Terimakasih yang sudah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak ya ♥️Up : Rabu, 07 Februari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Bibliofilia (End)
Teen FictionCerita ini terinspirasi dari kurangnya keadilan atas korban-korban pelecehan. . . . Semua orang berhak menerima keadilan, tetapi tidak semua orang mendapatkan keadilan. Hidup tenang dan damai tak akan didapatkan jika ego yang ditonjolkan. Apa sebene...