Bab 5
MatiTidak seharusnya kita membenci buana, tidak seharusnya kita menyalahkannya. Di sini bukan buana atau bumantara yang jahat, melainkan makhluk-makhluknya yang kelewat batas. Mempertahankan harta dan takhta lalu mengabaikan keadilan.
"Sebelumnya, kalian berdua, kenalkan, ini Adit dari jurusan Desain Grafis. Memang betul Adit bukan anggota ekstrakurikuler kebahasaan, tetapi di hari dan kota yang sama Adit juga akan mengikuti perlombaan fotografi. Ibu mengajukan dia untuk berangkat menuju perlombaan bersama dengan kita."
Elena menyadari, lelaki yang di sebut Bu Ria Adit adalah orang yang menolongnya beberapa tahun lalu kala dia hendak bunuh diri di perpustakaan. Hari ini Elena dan tim akan berangkat ke lokasi lomba. Karena menginap, Elena cukup membawa tas besar untuk mengisi keperluannya selama di sana. Vero dengan lihainya membantu membawa tas berat itu untuk dimasukkan ke bagasi mobil sekolah, mobil yang akan mengantarkannya dan kedua rekannya menuju kota tempat lomba itu digelar.
"Len? kalau ada apa-apa kabari gue ya?" Vero menepuk pelan bahu kanan Elena.
"Siap, bos!” Senyum Elena mengembang sempurna, mungkin itu sudah hal biasa yang Vero liat, sangat manis.
Tepat saat Elena hendak menaiki mobil.
"Tunggu! Bu tunggu!!" Lelaki dengan tubuh yang tidak terlalu tinggi, mengenakan atribut seragam lengkap. Ketua osis SMK Jaya Arma mendadak menghentikan pergerakan mereka.
"Ada apa?" Raut panik sedikit pun tak terlihat diwajah Bu Ria.
Ketua OSIS sedikit berkeringat, mengatur sedemikian rupa agar napasnya kembali normal. "Ada yang gantung diri, Bu!! Di halaman belakang sekolah!"
Saat itu juga, hati Elena mendadak mencelos, seperti hantaman trauma kembali muncul, bahkan kali ini mungkin lebih menyayat lagi. Gadis pecinta buku itu tak berkutik sama sekali, dia syok, bahkan genggaman tangannya ke Vero makin kencang dan bergetar.
"Len, ayo-" Belum sempat Vero melanjutkan ucapannya, gadis itu lebih dahulu berlari mengikuti siswa-siswi yang juga ingin menyaksikannya.
Ntah dorongan dari mana gadis itu justru ingin melihat kejadian, gadis dengan trauma masa lalunya itu justru ingin rasanya berlari kencang kearah korban bunuh diri itu, mendekapnya dan menguatkannya. Karena Elena tahu, sangat banyak hantaman kehidupan yang orang itu alami sehingga mungkin dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Walaupun sebenarnya apa pun alasannya, apa pun cobaannya, seberat apapun langkah kita, kita tidak selayaknya menghabisi nyawa kita sendiri, karena itu benar-benar bukan pilihan terbaik. "Neska, Ro!!" Elena membekam mulutnya erat-erat, sebelum akhirnya guru-guru SMK Jaya Arma meminta seluruh siswa dan siswinya memasuki ruang kelas masing-masing.
Elena dan timnya kembali ke lokasi di mana mobil mereka terparkir, terlihat tidak hanya Elena ternyata yang merasa sesak melihat kejadian itu, kedua rekannya pun juga sama, tatapan sendu terpancar dari sorot mata mereka. "Masuk kelas Ro!"
"Enggak, masuk kelas hanya pengalihan itu, gue mau tetap di sini nemenin lu."
Bu Ria datang dengan tatapan yang sama sendunya, Bu Ria menyuruh Vero memasuki kelas, dan ketiga siswa perwakilan lomba untuk masuk kembali ke mobil.
"Bu? kita tetap jadi berangkat?" Terdengar suara Adit yang cukup gemetar.
"Iya! ayo masuk mobil." Terlihat sekali saat tangan Bu Ria mempersilahkan, tanganya juga cukup gemetar. Siapa juga yang tidak syok menyaksikan satu nyawa melayang dan raga yang menggantung. Dirasa semua orang pun akan merasakan hal yang sama.
"Baru saja salah satu siswa SMK Jaya Arma melakukan hal semacam itu di sekolah! lantas bagaimana bisa lomba ini tetap kita ikuti Bu?!!" Elena sangat kecewa dengan keputusan ini, bukan karena gadis itu tak ingin mengikuti lomba, tetapi rasanya ada yang mengganjal apabila harus pergi jauh untuk mengikuti lomba sedangkan sekolah sedang berduka.
"Saya mengundurkan diri. Terima kasih." Tanpa aba-aba Elena langsung saja pergi meninggalkan tempat di mana mereka berdiri sebelumnya. Tidak. Elena tidak bisa, dia bukan siapa-siapa tetapi duka itu masuk menusuk relung hatinya. Elena memegangi dadanya yang sesak, dan bulir-bulir air mata pun jatuh membasahi pipinya. Menyaksikan kejadian seperti tadi sungguh menyayat hatinya. Ntahlah, ini hanya karena Elena memiliki trauma akan kejadian itu, atau mungkin seharusnya memang semua orang merasakan ini?
Hampir 50% kekerasan seksual terjadi di lingkungan pendidikan. Itu memang nyata adanya, kekerasan seksual di lingkungan pendidikan ini memang sedang gencar-gencarnya. 50% korban atau keluarga korban pun telah melapor ke pihak sekolah yang semestinya. Tetapi hampir sebagian laporan itu mendapatkan penolakan. Seluruh peserta didik di dunia ini rela datang pagi, keluar uang untuk membayar kebutuhan sekolah. Juga mengerahkan seluruh tenaganya untuk berpikir bukan semata-mata hanya untuk main-main, mereka semua datang untuk belajar. Tetapi lihatlah, dengan teganya oknum-oknum tersebut menggunakan akal busuknya untuk memuaskan nafsunya kepada remaja penerus bangsa yang sedang belajar pada sebuah lembaga. Lihatlah juga oknum-oknum yang tutup mulut hanya karena uang, jabatan bahkan reputasi sekolah. Berpendidikan saja tidak cukup kalau jika kemanusiaanmu minus.
"Len?"
Elena menoleh karena sebuah panggilan yang dia kenali pemilik suaranya. Di sinilah dia sekarang, perpustakaan sekolah, tempat di mana gadis itu menghabiskan waktu baca buku di sekolah. Elena duduk diam, tanpa buku-buku di depannya, karena memang saat ini gadis pecinta buku itu hanya ingin diam.
"Bu Ria nyariin lu tuh, ke sana yuk!" Vero ingin menggapai tangan Elena.
Belum sempat tangan itu tergapai Elena lebih dahulu menggeser badannya sedikit lebih jauh dari pria yang memiliki lesung pipi itu. "Gue nggak mau Ro! lu lihat sendiri kan? Neska-"
"Iya, gua ngerti kok, tapi hari ini lu kan harus lomba Len. Keberangkatan ditunda satu jam lagi, mereka nungguin lu." Vero masih berusaha membujuk gadis pecinta buku itu, agar dia mau melanjutkan lomba yang dia ikuti.
"Ro? Mereka bukan nungguin gue, mereka nungguin otak gue buat-"
"Udah stop, gini deh, nanti sepulang lomba gue traktir beli buku, deh. Mau?" Vero menatap Elena dengan teduh. "Lagian, Len. Jenazah Neska udah ada yang mengurus kok. Banyak guru-guru part time yang datang hari ini."
Pada akhirnya kita harus sama-sama mengikhlaskan, mengikhlaskan sosok yang harus pergi meninggalkan. Mungkin marcapandanya cukup menyiksanya, mungkin kebahagiaannya telah lenyap lebih dahulu sebelum dia genggam erat-erat. Lihatlah. Arunika sepertinya juga berduka, berduka atas ketidakadilan dunia. Ketidakadilan yang menyakitkan banyak orang, menggores luka dan menyisakan tawa duka.
Neska, perempuan cantik dengan kemurahan senyumnya. Kalau kata anak-anak SMK Jaya Arma, Neska salah satu siswi yang dengan murah hati memberikan senyum dan sapanya kepada siapa pun yang dia temui dikoridor sekolah. Hari ini, ending dari kehidupannya, segala apa pun telah di kerahkan untuk mendapatkan keadilan. Tetapi, ternyata semua begitu jahat dengannya, harapan yang dia gantungkan ke sekolah impiannya akhirnya sirna.
***
Rinai terlihat membasahi bentala, bumantara yang menghembuskan pawana, dan jangan lupa hati yang masih berduka. Sore hari selepas matahari berganti bulan, tim lomba SMK Jaya Arma telah sampai di kota tujuan, di sebuah tempat penginapan. Tiga orang siswa SMK Jaya Arma, dan tiga orang pendamping. Bu Ria, Pak Bima, dan Pak Robi guru SMK Jaya Arma yang akan setia mengantar mereka ke mana-mana.
Sebab cuaca yang mendung, dan gerimis sedari tadi belum juga berhenti. Seluruh tim lomba memutuskan untuk beristirahat, merebahkan badan yang pegal-pegal seharian perjalanan dan menenangkan pikiran atas kejadian tadi siang.
Malam yang begitu tenang, angin berdesir kencang, menyebabkan gorden kamar Elena melambai-lambai. Rinai masih saja membasahi bumi membuat hawa dingin menyeruak masuk ke liang renik. Tiga perwakilan lomba, terdiri dari dua orang perempuan dan satu orang laki-laki. Dalam kamar yang Elena tempati diisi oleh dua orang, yang jelas itu Elena dan satu rekan perempuannya. Elena dan rekan perempuannya terpilih untuk mengikuti pidato bahasa Indonesia di gedung kota. Sedangkan Adit mengikuti fotografi di salah satu SMK kota tersebut.
“Eh, oh ya, gue Isvara Anindita, panggil aja Isva." Gadis yang menyebut dirinya Isva tadi mengulurkan tangannya ke Elena.
Elena membalas uluran tangan Isva. "Gue Elena, panggil Lena aja."
"Gue sering lihat lu di ekstra. Ya baru sekarang aja kenalannya." Kekehan terdengar dari bibir Isva.
"Va?"
Yang dipanggil pun menatap Elena. Isva, perempuan dengan tinggi yang kurang lebih sama dengan Elena, 158-160 an. rambut sebahu lurus, poni rambut yang rapi, dan topi yang selalu setia berada di atas kepalanya. Ya, untuk keren-kerenan saja katanya. "Ya?"
Elena terlihat menghela napas pelan. "Menurut lu gimana soal tadi?" Gadis pecinta buku itu terlihat menimbang apa yang akan dia tanyakan. "Neska, apa sekolah bakal ditutup sementara?".
.
.
"Menjadi korban itu menyakitkan, kehilangan separuh kehidupan lalu dengan mudahnya disalahkan dan diabaikan."
-Aditya Chatra Darian
Terimakasih yang sudah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak ya ♥️
Up : Rabu, 24 Januari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Bibliofilia (End)
Teen FictionCerita ini terinspirasi dari kurangnya keadilan atas korban-korban pelecehan. . . . Semua orang berhak menerima keadilan, tetapi tidak semua orang mendapatkan keadilan. Hidup tenang dan damai tak akan didapatkan jika ego yang ditonjolkan. Apa sebene...