Bab 18
MengejutkanElena membuka pintu ruang kesiswaan, melangkahkan kakinya ke dalam. Sesaat setelah kelima remaja itu berada di dalam. Vero yang berposisi paling belakang pun menutup pintu. Tepat sekali pintu tertutup, cahaya lampu yang semula terang mendadak redup, membuat kelima remaja itupun menegang ditempat. Elena berjalan mendekat kearah jendela, menyibakkan sedikit gorden. Melihat sekeliling sekolah benar-benar gelap sekarang, halaman sekolah yang semula ada cahaya satu lampu kini benar benar gelap total. Elena mundur beberapa langkah.
"Mati lampu." Elena menatap rekannya.
"Beneran? bukan karena kita ketahuan, kan?" Adit menatap arah gorden, lantas mengalihkan tatapannya pada Elena.
Elena menggelengkan kepala. "Cari apa yang perlu kita cari!"
Tatapan fokus Elena dan Adit tertuju pada meja yang sebelumnya digunakan oleh guru-guru. Ntah rapat atau apa yang mereka lakukan malam ini. Elena duduk di sebuah kursi sofa, mengambil beberapa dokumen lantas membukanya. Adit pun mendudukkan badannya di sofa depan Elena, dan melakukan hal yang sama seperti Elena.
Risa berjalan ke arah lemari yang cukup berantakan. Mungkin guru-guru tadi sempat menggunakan lemari ini untuk mengambil dokumen, terbukti dengan kondisi lemari yang sudah membuka sedikit. Risa menarik map merah, lantas membukanya. Melihat satu per satu data-data siswi yang berada disitu. Risa menutup map merah itu, lalu bibirnya terkatup rapat kala mata tertuju pada sebuah judul atas map. Otak Risa berputar lambat sejenak, syok menjalar pada tubuh Risa. "Guys!" Risa menarik napas berat.
Elena yang menyadari perubahan raut wajah Risa pun segera beranjak berdiri dan menghampirinya. Elena membaca judul map merah yang Risa pegang. Tinta hitam terlihat jelas menggambarkan sebuah tulisan.
"Data korban siswi angkatan pertama?" Vero memiringkan kepalanya.
Adit mengambil data tersebut. Lalu membukanya, menelisik satu per satu korban. Terdapat lima korban dalam tahun pertama JaMa, dan tertera juga apakah korban baik-baik saja, hidup ataukah meninggal. Foto dan keterangan itu sudah cukup jelas apabila mereka bawa, karena terdapat tanda tangan sah kepala sekolah juga stempel sekolah.
Elena menggelengkan kepala. "Dokumen bodoh kaya gini diberi tanda tangan resmi? Bener-bener kurang ajar JaMa!"
"Cari lagi, pasti ada data angkatan setelahnya." Adit berusaha mengintrupsi temannya.
"Angkatan pertama masih ada semua, Len." Adit menatap mata Elena. Adit mendekatkan tubuhnya ke Elena, lalu mengusap bulir bening yang lolos dari matanya. Untuk melupakan dan sembuh dari segala luka memanglah sulit. Akan ada masanya di mana Elena kembali terjerat ingatan masa lalu, kembali mengingat luka dan sesak yang ada di dadanya. Seperti sebuah sengatan, Elena mengerti maksud tatapan Adit yang menguatkannya. Dia pun menurunkan tangan milik Adit yang masih berada di pipinya, lantas tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Kita nggak bisa bawa dokumen ini keluar."
"Kenapa?"
"Scan aja, daripada ketahuan kalau ada yang masuk ruangan ini," jelas Adit.
"Gelap gini?" Kea mengerutkan dahinya.
"Bisa, tambahin cahaya flash." Adit mengeluarkan kamera dari sakunya. Senyum seketika terpancar dari seluruh remaja itu.
Setelah seluruh dokumen korban mereka scan, Elena kembali mengintip arah gorden, ditakutkan guru-guru telah kembali menuju ke ruangan yang sekarang anak spark masuki. Selama kelima remaja dalam sebuah ruang kesiswaan, berkali-kali suara ledakan seperti bersahutan di luar. Namun, kelima remaja itu lebih memilih fokus terhadap apa yang ingin mereka cari, sebab mereka sudah tahu bahwa itu hanya kebakaran, dan mungkin ledakan tadi berasal dari alat yang tersengat api. Tetapi, kalau dipikir-pikir, alat apa yang berada dalam ruangan kelas, sehingga membuat ledakan seperti itu?
Dering handphone kembali bunyi, kali ini berasal dari benda pipih yang ada di saku milik Elena.
"Halo? Kenapa, Ken?"
"Keluar semua, cepet!" Suara gugup Ken begitu terdengar melalui sambungan telepon.
"Hah?" Vero mensejajarkan tubuhnya dengan Elena.
"Gue sama Tigan pergi dari sekolah-"
"Gimana, sih. Anjir lu, malah pergi!” Vero memotong ucapan Ken.
"Pergi sekarang! Ke RS Starta Indah. Isva!" Belum sempat Ken melanjutkan ucapannya, sambungan telah terputus.
"Isva?" monolog kelima remaja.
***
Langit makin pekat, bulan terlihat menerangi kehidupan manusia. Angin malam menembus kulit, membuat siapa pun bergidik kedinginan. Pohon-pohon mendayung-dayung, berkelok ke kanan dan kiri. Hari yang makin gelap, membuat jalanan kian tampak terlihat sepi. Di jok belakang motor Vero, Elena menatap kosong jalanan yang membawanya menuju rumah sakit. Di iringi Adit dan juga Kea yang berboncengan dengan Risa. Terus-menerus Elena menepuk pundak Vero, berharap lelaki itu mempercepat laju kendaraan motornya. Sesampainya di rumah sakit, tanpa menunggu Vero dan rekan lainya memarkirkan motornya, Elena lebih dahulu beranjak masuk. Gadis pecinta buku itu melihat di depan lobi administrasi, Ken tengah berdiri tegang menatap kehadirannya juga teman lainya.
"Gimana?"
"Sana, Len." Ken berjalan memimpin temannya untuk menuju ruangan Isva.
Elena menatap kosong pintu UGD. Kakinya sulit untuk diajak masuk, banyak pikiran yang mengganggu fokus gadis pecinta buku itu.
"Kok, bisa?" Adit menatap Ken. "Kenapa? gimana ceritanya Isva bisa ketemu, kalian?" Adit mengedarkan pandangannya, mencari sosok tegap tubuh Tigan.
"Di toilet. Tigan kan?"
"Isva terkena percikan bahan ledakan tadi di sekolah." Suara Tigan membuat atensi keenam remaja spark itu mengarah pada sumber suara.
Elena memiringkan kepala. "Hah?!"
"Bukannya Isva nggak ada di sekolah ya? Isva ada urusan kan tadi? Makanya nggak ikut kita." Kea mengeryitkan dahinya.
Tigan menghela napasnya pelan. Dia menunduk, mengangkat kepalanya sejenak lalu mengusapnya kasar. "Jadi, waktu kalian di ruang unggulan tadi-" Tigan berusaha mengingat-ingat kejadian tadi.
Semilir angin berhembusan, menerjang beberapa pepohonan rindang yang memberikan kesejukan. Halaman yang mencekam membuat kedua remaja itu terus-menerus menghela napas, melirik ke kanan kiri. Tigan menepuk beberapa nyamuk yang berusaha menghampiri kulitnya.
Ken hendak menoyor kepala Tigan. “ASEM, DIGIGIT GORILA, GUE!”
“Nyamuk, bukan gorila.” Tigan menggelengkan kepalanya.
Suara ledakan terdengar menghantam pendengaran kedua remaja itu, membuat Tigan dan Ken berlonjat kaget. Ken membelalakkan matanya, degup jantung berdetak lebih cepat. Matanya terfokus oleh sinar cahaya yang dia ketahui betul itu berasal dari api. Ken menarik lengan Tigan yang masih mematung, mengajaknya berjalan beberapa langkah ke depan. Bersembunyi di balik lobi sekolah, di situ pandangan mata Ken dan Tigan jelas melihat ruang kelas 12 Desain Grafis kebakaran.
“Anjir, kebakaran!” Tigan menepuk lengan Ken kasar. Tigan menjatuhkan rokoknya, lantas menginjak agar rokok itu mati.
Setelah beberapa lama Tigan dan Ken berdiri mematung, hanya menyaksikan kobaran api yang terus menggerogoti ruang kelas itu. Dalam situasi seperti itu Tigan sangat yakin, guru-guru tidak akan memanggil pemadam kebakaran atau semacamnya, karena untuk meminimalisir banyak pertanyaan yang masuk mengenai alasan guru itu rapat setiap malam hari, dan juga yang terbakar tidak seberapa, hanya satu kelas saja.
Aneh, bagi Tigan ini adalah suatu hal yang aneh. Api itu seperti telah disetting hanya membakar ruang kelas 12 Desain Grafis, tidak memakan kanan-kiri dan juga tidak merambat ke mana-mana. Satu ledakan kembali terdengar di telinga Tigan, dia pun berusaha kembali mengintip apa yang sudah terjadi di area sana.
“Menurut, lu-“
“Isva!” Belum sempat Ken melanjutkan ucapannya, Tigan lebih dahulu memotong. “Isva, Ken!!” Tigan menepuk-nepuk pundak Ken.
Ken mengeryitkan dahinya, menyipitkan pandangan, berusaha menembus cahaya api dan kegelapan. “Hah?”
Terlihat betul, bagaimana Isva bersembunyi-sebunyi. Sesekali dia menyeka keringat yang banyak membasahi dahinya, mengusapnya kasar dengan tangan. Ada satu hal yang lebih mengejutkan, Isva terus-menerus melempar cairan yang ntah Tigan dan Ken pun tidak mengerti itu apa. Namun, cairan yang Isva lemparkan selalu mengarah ke kelas 12 Desain Grafis, dan menimbulkan suara ledakan.
Isva berlari menjauh kala guru JaMa mulai mencari sumber ledakan, sesampainya di lobi, Isva terlihat berhenti, menatap Tigan dan Ken dengan tatapan datar dan sulit di mengerti. Tanpa dia sadari cairan yang dia simpan cukup rapi dalam sebuah wadah kini menetes mengenai tangannya. Satu detik dua detik cairan itu menimbulkan percikan dan ledakan kecil, mengenai tangan Isva.
“Auu.” Isva menjatuhkan cairan itu secara refleks.
“Eh?” Tigan berlari secepat mungkin mendekat ke arah Isva yang sudah cukup parah. Cairan yang terus menyebar di area tanganya.
Menyebabkan tangan cantik milik Isva melepun, lalu mengeluarkan darah segar mengalir melalui luka-luka akibat cairan itu.
“Jadi, gitu ceritanya.” Tigan menunduk, membayangkan betapa sakitnya lengan Isva terkena ledakan itu..
.
.
"Gue benci rasa sakit itu, Gue benci luka itu."- Isvara Anindita
Terimakasih yang sudah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak ya ♥️
Up : Selasa, 06 Februari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Bibliofilia (End)
Teen FictionCerita ini terinspirasi dari kurangnya keadilan atas korban-korban pelecehan. . . . Semua orang berhak menerima keadilan, tetapi tidak semua orang mendapatkan keadilan. Hidup tenang dan damai tak akan didapatkan jika ego yang ditonjolkan. Apa sebene...