19

1.4K 141 8
                                    

”Udah?”

Zee mengangguk pelan

”Dua suapan lagi ya.”

Ia menggelengkan kepalanya

”Kamu besok-besok kalo ngerjain sesuatu inget waktu, Bunda gamau sampe sakit gini.”

Zee nya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Meski diam, Zee paham, setidaknya nasihat yang diberikan oleh bundanya harus ia dengar.

Setelah Bundanya bangkit, Zee tidur seorang diri bersama sore dingin sebab hujan deras yang menusuk sampai ke nadinya. Sesekali Zee mengusap lengannya untuk menidurkan kembali bulu kuduk yang berdiri. Lalu Zee kembali menyesap teh hangat yang Bundanya buatkan. Ia membangunkan tubuhnya untuk bersandar pada kasur yang masih terasa nyaman.

Suara ketukan pintu kamarnya kemudian kembali terdengar, apakah Bundanya kembali?

”Masuk aja Bun.”

Pintu terbuka setengah menampakkan seseorang dengan pakaian yang cukup rapi. Zee yang mengedarkan pandangannya ke arah luar halaman rumah melihat rintik-rintik hujan serta angin yang membuat pohon-pohon bergoyang kencang. ”Kamu lihat apa?”

”Chika?” ucap Zee dengan ekspresi kaget

”Kok kaget gitu, kenapa? ngga suka ya aku dateng tiba-tiba.”

”Eng-aa gitu, aku kira Bunda yang masuk.” ucap Zee dengan gugup

”Kamu kok bis-.” ucapan Zee belom selesai karena Chika memotong nya terlebih dahulu

”Kalo aku ngga telfon Christy, aku gabakal tau kamu sampe pingsan Zee.”

”Kamu gapapa kan? maaf aku terlalu sibuk sampe-sampe lupa bales chat dari kamu.” ucap Chika

Chika masih setia berdiri didepan pintu kamar Zee dengan suara yang terdengar seperti menangis.

”Aku minta maaf, aku gamau kamu kenapa-napa, aku gamau kamu kehilangan kamu Zee.”

Benar saja dirinya sudah menangis dengan posisi berdiri, bahkan Chika menangis menutupi wajahnya dengan tangan. Pemandangan seperti ini bagi Zee lucu, dirinya seperti melihat Chika sedang terpisah dengan orang tua nya saat dikeramaian.

”Udah dong nangisnya, gak mau nge deket aja kesini?”

Merasa terpanggil, Chika langsung mendekati ke arah tempat tidur Zee dengan isakan kecil yang masih terdengar. ”Maafin aku, Zee.” ucap  Chika lirih

”Kenapa minta maaf terus?”

”Maaf karena aku ngga ada disamping kamu waktu pingsan, maaf kalo aku terlalu sibuk akhir-akhir ini, aku cuman takut.” ucap Chika

Isakannya semakin menjadi. Kalimat yang Chika lontarkan semakin memanggil bulir-bulir air mata yang lain. Apakah sebegitu berharga dirinya sampai-sampai membuat kekhawatiran yang luar biasa bagi Chika.

”Aku boleh minta tolong?” tanya Zee

Chika mengalihkan pandangannya sekarang ke arah Zee. kini keduanya saling memandang satu sama lain. Mengunci mata yang saling terikat oleh keduanya. Zee meminta tolong kepada Chika untuk mengambil sesuatu yang berada di lemari kecil sampingnya, hanya terdapat sebuah kertas kecil yang dipegang oleh Chika.

”Dengerin aku ya, Chik.” ucap Zee sedikit membenarkan posisinya untuk menghadap ke arah Chika

”Kamu gausah ngerasa bersalah sama keadaan aku, ini bukan salah kamu.”

Cepat atau lambat, hal yang ditutupi mungkin akan segera terungkap. Bukannya ingin merahasiakan atas penyakit yang Zee rasakan, hanya saja ia akan mengetahui bagaimana reaksi orang-orang terdekatnya. Karena terkadang ada sesuatu yang tidak bisa dipertahankan, ada sesuatu yang tidak dapat diusahakan lagi karena sekeras apa pun dirinya mencoba, rasanya tidak akan pernah tepat. ”Di kepala aku ini, mungkin gak bisa semua aku simpan nantinya.” ucap Zee dengan perlahan menggengam tangan Chika

”Tolong aku di saat itu nanti terjadi,  ya?.”

Sekian chap kali ini, kira-kira cerita nya msh enak dibaca gak di kalian?









Senandika [END]. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang