21

1.6K 145 1
                                    


”Kalo aku milih buat pergi? Apa kamu bakal benci sama aku?”. Hari itu kalimat yang hanya bisa membuatnya diam tertunduk, berpaling pandangan dari pertanyaan yang sama sekali tidak bisa di jawabnya

”Maaf, nggak ada maksud.”

”Kamu harus bisa sembuh, demi diri kamu, aku dan yang lain.” ucap Chika

”Kenapa nangis?”

”Enggak kenapa-kenapa.”

”Lain kali, kalo aku nangis bisa enggak langsung peluk aja tanpa tanya ”Kamu kenapa?””

”Sini peluk!” ucap Zee menarik Chika ke dalam dekapannya

Chika benci dengan situasi ini. Karena setelah ia mengetahui kondisi Zee dirinya seperti dilanda dengan banyak hal-hal yang tidak diinginkannya, tentang apapun... tentang kehilangan, tentang kenangan. Apa yang terjadi kedepannya? Apakah garis akan memutuskan dirinya dengan Zee menjadi asing. Cepat atau lambat hari itu akan datang, apapun yang ada tentang kita, akan ditarik mundur seperti semula. Ketakutan Chika yang selalu terbayangi

”Kamu nggak usah mikir terlalu jauh.” ucap Zee

Zee seperti membaca pikiran Chika. Bergumam dalam hati saja tidak, tapi seolah-olah sekarang ia tau apa yang dipikirkan oleh Chika sekarang.

”Chik, aku mau jalan-jalan.”

”Nggak ada.” Chika berbicara dengan melotot

”Sekali ini aja, nggak lama kok, Jalannya ditemenin kamu juga.” ucap Zee dengan nada memohon

”Aku panggil dokter dulu buat nanya.” ucap Chika

Zee membalasnya dengan tersenyum. Sesekali ia menatap ke arah luar jendela, mungkin rasanya sudah lama sekali ia tidak menikmati suasana ramai di jalan lalu lintas. Hanya menghabiskan waktunya untuk ber-istirahat dirumah sakit tanpa melakukan aktivitas lain. Dirinya melihat Chika telah kembali lagi ke ruangannya dengan membawa Dokter yang tadi dipanggil.

”Dok, apa pasien boleh diajak keluar jalan-jalan sebentar?” tanya Chika

”Tidak apa-apa... tapi tolong diingat jangan membawa pasien terlalu lama berada di luar. Jika ingin melakukan aktivitas berat, sebaiknya ditunda terlebih dahulu.” kata Dokter

”Chik,” panggil Zee

”Kamu percaya sama aku kan?”

Chika tersenyum, bergerak mendekati Zee sambil memegang wajahnya.

”Aku selalu percaya, percaya apa yang selama ini kamu perbuat. Percaya atas semua yang kita jalanin sejauh ini, kamu gak perlu tanya hal itu.” ucap Chika seraya beralih memegang tangan Zee

Keduanya kini berada diluar area rumah sakit. Chika membantu mendorong Zee yang kini tengah duduk di kursi roda, sebenarnya tidak ada alasan pasti kenapa Zee harus memakai kursi roda. Hanya saja ini suruhan dari Dokter yang merawatnya. ”Chika aku mau makan itu” ucap Zee yang menunjuk abang-abang berjualan mie ayam

”Jangan mie ya, Zee”

”Tapi aku mau itu, aku juga selama ini makan-makanan rumah sakit doang. Gapapa ya?” ucap Zee dengan nada memohon

”Yaudah kamu tunggu sini, aku pesen dulu.” kata Chika kemudian pergi untuk memesan mie ayam

Zee lalu mengeluarkan notebook berukuran kecil. Isinya hanya catatan atau kata-kata yang ia jadikan sebagai dasar pertimbangan di novelnya nanti, saat ini mungkin Zee hanya bisa mengutarakan apa yang dirinya rasakan melalui tulisannya. Chika, sosok yang selama ini Zee selalu gambarkan dalam novel. Baik secara nyata atau tidak, perasaan yang selalu ia lalui berhari-hari, ber minggu-minggu bahkan ber bulan-bulan dengan Chika selalu dijadikan dalam cerita novelnya.

”Hei, kamu nulis apa serius banget.” tanya Chika sembari memegang 2 botol minum aqua

”Nulis kamu.” ucap Zee yang masih memegang pulpen nya

”Mas nya masih sakit aja bisa gombal.” Ucap Chika dengan mengejek

Zee hanya tersenyum simpul dengan dirinya yang masih fokus dihadapan notebook kecilnya. Udara cukup sejuk dengan hembusan angin yang cukup kencang, membuat matanya kadang tidak bisa melihat karena rambutnya terkena angin. Chika yang melihat itu melepas karet tangan dipergelangannya lalu menguncir rambut Zee kearah belakang

”Kok di kuncir si, jelek tau.” ucap Zee yang ingin melepas karet berada dirambutnya

”Udah begini aja atau kamu gak boleh makan mie ayam.” Ancam Chika

Zee yang mendengar itu hanya bisa memasang wajah cemberutnya dan Chika hanya bisa terkekeh melihat kelakuan kekasih nya ini. ”Kamu harus sembuh ya.” batin Chika dengan tangan yang mengelus rambut Zee

Senandika [END]. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang