Ch 1 - Perbatasan

56 25 36
                                    

Ketika seorang anggota keluarga meninggal, orang-orang di sekitar yang tahu akan mengucapkan kata-kata seperti mereka turut berduka, memberikan kata-kata penyemangat, bilang kalau mengerti perasaanku...

Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang bisa mengerti perasaanku.

Bagiku, keluargaku adalah segalanya. Semenjak aku gagal menjadi Pembela Keadilan yang Papa inginkan, aku merasa kosong. Aku terus-terusan berpikir 'andai saja aku tidak menolong orang itu pada hari itu, semua ini tidak akan terjadi'. Pikiranku saat ini bertentangan dengan apa yang Papa ajarkan.

Aku sadar aku selalu ingin menjadi Pembela Keadilan karena ingin dipuji oleh Papa. Aku sadar aku ingin dimanja oleh Mama.

Akan tetapi dengan kepergian mereka, semua itu sudah tidak berarti.

Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menghadap ke tubuh Papa dan Mama yang sudah dingin dan hancur.

Aku sudah tidak punya apa pun untuk diperjuangkan.

"Aku sudah tidak peduli lagi..."

<X>

"... Di mana aku?"

Saat aku terbangun, aku ada di sebuah kamar yang tidak aku kenal. Tembok dan dekorasi kamar tidak terlihat seperti kamarku, bahkan tidak terlihat seperti kamar orang Jepang.

Aku berdiri dari kasur dan berjalan menuju ke jendela. Matahari sudah bersinar terang di atas.

... Aku tidak ingat turun salju kemarin di Prefektur Chiba, akan tetapi salju sudah menumpuk di halaman luar. Malahan, seharusnya ini sudah bulan Maret. Jangan-jangan aku dibius dan diselundupkan ke luar negeri yang musim dinginnya bulan Maret?

"... Heh, peduli apa aku."

Padahal seharusnya aku panik dan mencari tahu tempat apa ini, bahkan sekarang aku tidak peduli ada kemungkinan bahwa aku mungkin telah diculik saat tidur.

Ternyata ini ya yang namanya kehilangan semangat hidup? Terkadang karakter dalam cerita pernah mengalami ini, akan tetapi mengalami ini sungguhan... rasanya sulit juga.

Aku pergi ke luar kamar, dan berdiri di lorong. Aku mendapati lantai keramik, tembok semen yang sudah dicat, dan pintu kayu. Sejauh yang kulihat, semua pintu terlihat sama kecuali mereka memiliki papan nama yang berbeda-beda. Dilihat dari tulisannya, banyak yang terkesan seperti karya anak kecil. Rasa curigaku bahwa tempat ini adalah tempat penculikan, mulai berkurang.

Aku sampai di pojok lorong, dan melihat ada sebuah tangga yang cukup lebar. Aku menuruni anak tangga, dan menuju ke lantai bawah. Ternyata langsung terhubung dengan ruang makan.

"Ada anak baru rupanya. Selamat datang." Seorang pria yang terlihat tidak bersemangat, menyapaku sambil menyiapkan alat-alat makan. Rambutnya dipotong rapi seperti model, akan tetapi wajahnya terlihat seperti orang kurang tidur. Dia mengenakan kaos kain tipis dan celana kain tipis yang agak longgar.

Aku menuruni tangga, dan berjalan mendekatinya. "Apakah ini tempat penculikan?" tanyaku langsung ke intinya.

Dia menatapku sejenak, lalu kembali beraktivitas dengan normal. "Bisa dibilang begitu." Dia menjawab bagaikan sudah terbiasa dengan ini.

Jujur, aku tidak peduli apakah dia serius atau tidak. Setidaknya, sepertinya di sini tidak akan ada yang terlihat akan menggangguku dengan belas kasihan, gosip, dan kewajiban untuk mengucapkan kata-kata kosong.

... tapi sekarang ini, memangnya untuk apa aku hidup?

"Aku tahu kamu sudah tidak memiliki semangat hidup, akan tetapi percuma saja bunuh diri di sini. Karena di sini, kamu tidak akan bisa terluka secara fisik, maupun diperbolehkan untuk mati," katanya.

At the Boundary [Tamat] + ExtraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang