Ch 3.2 - Komunikasi

37 22 28
                                    

Aku kembali menuju ke kamarku, membiarkan kamar terbuka supaya aku tidak harus membukakan pintu lagi, lalu duduk di kasur untuk melihat keadaan Seira.

Dia menutupi wajahnya dengan selimut, akan tetapi menurunkan sedikit untuk matanya bisa mengintip. Dia mengingatkanku dengan reaksi pertama si Kembar saat pertama melihatku. Karena aku saat kecil cukup ceroboh dan tidak berpikir panjang, aku tidak tahu kalau saat sendirian normalnya anak-anak jadi pemalu terhadap orang asing.

"Ai am Nozomi... happy to meet you...?" Aku lupa bagaimana cara menyapa dengan benar dalam Bahasa Inggris. Semoga niatku bisa tersampaikan.

Akan tetapi, Seira kini malah bersembunyi sepenuhnya dalam selimut. Ugh, baru kali ini aku kesulitan berkomunikasi dengan orang yang lebih muda dariku. Andai saja ada mesin penerjemah di sini.

"Nozomi... you're not with those bad people... right?"

"No, ai am nott badd!" jawabku, merasa kalau dia mengira aku berhubungan dengan orang-orang dari sekte.

Sebaiknya aku tidak mengungkit ibunya. Dia baru saja mengalami pengalaman pahit, yang bahkan lebih traumatis dariku. Bila Papa ada di sini, dia pasti juga akan membantu anak ini...

... Kalau dipikir lagi, yang kulakukan ini menolong orang yang membutuhkan, ya? Sepertinya aku sudah bertindak sesuai ajaran Papa semenjak datang ke sini...

Aku merasa sedikit lega, karena menyadari itu.

Di saat aku hanyut dalam pikiran, tangan Seira menarik lengan kostumku. "Can you sing me... a lullaby...? Umm... twinkle twinkle little star..."

Maksudnya lagu untuk tidur? Aku hanya tahu lagu itu versi Jepang. Tapi dari yang aku tahu, nada yang dipakai sama.

"Kira kira hikaru... osora no hoshi yo..." aku mulai menyanyi, akan tetapi Seira tidak mengucapkan apa pun. Saat aku menoleh, ternyata dia sudah tertidur lagi sambil memegangi lengan kostumku.

"Nozomi-nee..." "Mii-nee..." Yuuka dan Ririka, mengintip ke dalam kamarku dari balik pintu. Kalau diingat lagi, aku sudah tidak mendengar tangisan mereka sejak cukup lama.

Aku memakai tanganku yang bebas, melambai untuk mengundang mereka masuk. Mereka berdua dengan perlahan-lahan, masuk dan mendekat ke kasur. Mereka melihat ke arah Seira yang tertidur pulas, lalu melihat ke arahku.

"Ibu," "Ibunda," ucap mereka berdua.

"Tunggu sebentar, aku tidak setua itu!" selaku, dengan suara sekecil mungkin.

Meski begitu, mereka tampak tegar. Padahal tadi mereka menangisi kepergian Reiji.

"Kami tahu Reiji-nii sudah memutuskan untuk pergi." kata Yuuka.

"Kami tidak boleh menangis terus," lanjut Ririka.

Ternyata mereka lebih kuat dari yang aku duga. Baiklah, aku akan memanjakan mereka dengan Seira besok.

"Kalian berdua, bisakah kalian bertingkah seperti seorang kakak, dan menggenggam tangan anak ini? Sementara itu aku akan memasak sesuatu," mintaku kepada mereka berdua.

Mereka menjawab dengan anggukan, dan menggenggam tangan kiri Seira dengan tangan kiri mereka masing-masing. Tangan Seira perlahan-lahan lepas dari memegangi lengan kostumku, dan akhirnya berganti ke mencari kehangatan tangan Yuuka dan Ririka.

Aku menyerahkan Seira pada mereka berdua, kemudian turun ke bawah. Di sana, ternyata Kazu-oji-san dalam pakaian longgarnya sedang membuka mesin penanak nasi, yang masih mengeluarkan uap. Menyadariku, dia memutar kepalanya melihatku dan berkata "Apa menu malam ini, Chef?"

At the Boundary [Tamat] + ExtraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang