Gua panik betul, tapi benar-benar enggak punya kuasa buat ngatur mereka. Mereka tetep aja melakukan hal-hal yang senonoh pada tubuh gua, termasuk melumuri tubuh gue dengan semacam krim yang wanginya Masya Allah, enak banget.
Wanginya tuh kayak parfum mahal, tapi nggak murahan, yang kalau nempel di kulit itu bakal stay dua puluh empat jam dan gak bikin orang pada muntah.
Selanjutnya mereka pada mijetin gua dengan sangat, sangat enak. Baru kali ini gua diperlakukan dengan sangat baik. Gua sampai terkantuk-kantuk gara-gara pijatan di seluruh tubuh gue itu.
Yang membuat gua buka mata adalah ketika badan gua digotong dan diletakkan di sebuah bak mandi berisi air hangat. Rasanya nyaman banget.
"Jadi ini toh rasanya diperlakukan seperti putri raja," ujar gua. "Kalau terus di kasih service kayak gini sih, hidup ribuan tahun di tempat ini pun gua mau."
Belum cukup sampai di situ, cewek-cewek cantik itu lalu membasahi rambut gua dengan air hangat. Mereka kayak punya ramuan sebangsa esensial oil atau mungkin sebuah rempah-rempah yang gua nggak ngerti dari apa. Pokoknya cairan itu dilumuri di rambut gua, dipijat-pijat, terus dibilas lagi dengan air hangat. Hasilnya rambut gua halus dan wangi. Pokoknya, kalaupun ini adalah cobaan hidup, gua mau lah dicobain tiap hari.
Setelah selesai mandi, dengan repot-repotnya mereka ngandukin gua. Udah kayak bayi baru lahir aja gua, yang kalau mandi dimandiin dan kalau mau ngeringin badan kudu diandukin sama orang lain.
Terus gua dikasih baju yang sangat, sangat cantik. Bentukannya sumpah mewah banget. Dan herannya gua berasa kayak cewek paling cantik di dunia.
Lalu gua dikembalikan ke kamar si pangeran. Kayaknya gua di dunia ini bakal terus diperlakukan kayak boneka Barbie yang diantar dari kamar, kamar mandi, kamar mandi, kamar. Gitu terus sampai Koko Crunch berubah jadi ladang gandum.
Di saat seperti ini, gua harus memikirkan apa yang bisa membuat gua tetap slay, tapi juga nggak gila. Ya kali otak gue yang terbiasa menghayalkan plot cerita, nggak dipakai cuma karena gua kesenangan ada di dunia antah berantah.
Jadi gua ngambil selembar kertas yang ada di meja, duduk di sebuah kursi yang sumpah nyaman banget dan nulis lembar demi lembar cerita, yang mungkin bakal bisa gua pakai buat nerusin pekerjaan gua kalau gua balik di dunia nyata.
Tunggu. Belum juga gua mulai menulis, tiba-tiba gua tercenung dengan sebuah fakta. "Gimana kalau misalnya gua nggak bisa kembali lagi ke dunia nyata?" gumam gua dengan tubuh yang tiba-tiba bergetar dan mendingin. "Kasihan emak gua, coy. Kalau gua ninggalin beliau demi kesenangan di dunia fantasi ini, siapa yang bakal ngurus dia? Emak gue itu udah tua dan dia janda, yang walaupun tegar setengah mati, tapi tetap butuh teman hidup."
Gua lalu mencari Abang. Kucing itu lagi enak-enakan tidur melungker di atas tempat tidur, seakan takdir hidup dia cuma buat jadi bantal hidup.
Lalu gua angkat itu kucing dan bawa dia ke pojokan.
"Gua mau ngomong sama lu," ujar gua sama Si Abang.
Eh Si Abang malah nguap dan ngibas-ngibasin ekor. "Males, ah. Gua baru aja kekenyangan makan ikan tuna. Enggak bisa mikir, gua."
Si Abang Gua tampol lah perutnya yang udah gembul kayak buntelan kentut. "Lu jangan keenakan tinggal di sini, Bang. Kasihan Emak. Kita udah ninggalin emak selama beberapa jam," kata gua, dengan suara yang bergetar.
Gua hampir nangis, dong. "Lu kan tahu kalau kita nggak boleh jauh-jauh dari Emak. Nanti dia gimana tanpa kita?"
"Bukannya Emak malah bersyukur, kalau nggak ada Elu sama Gua di dalam rumah?"
Kurang ajar. Gua bener-bener nggak bisa terima dong omongan si Abang. "Bang. Emak itu kalau nggak ada kita bisa mati, loh. siapa coba yang bikin tensi rendah dia meninggi, kalau nggak ada kita. Bisa-bisa kolaps dia. Terus, kalau misalnya dia masuk angin, enggak ada yang ngerokin, kan? Kasihan, Bang."
Lalu Abang menggeliyat dan akhirnya berdiri. "Gua setuju sih sama ucapan lu. Emak tuh paling nggak bisa hidup tanpa kita. Terus mau lu gimana, Jel?"
"Gua nggak ada ide buat pergi dari tempat ini," ucap Gua. Otak gue dipaksa berpikir sambil berjalan mondar-mandir, seakan-akan langkah kaki gue itu bisa buat ngebikin lantai licin.
Dan ....
"Bang? Lu Ingat nggak jalanan yang tadi kita lewatin?"
Si Abang menyeringai. "Sebagai seorang kucing, gua nggak mungkin lupa jalan. Gua tahu betul harus ngelewatin mana-mana di tempat ini."
"Serius?" tanya gua. Terus gua gendong Abang dan buka sedikit celah di pintu kamar gua dan berbisik. "Bang, coba lu cari jendela kamar ini dari luar. Lu ingat-ingat dengan baik jalan menuju tempat kita datang dan jemput gua di luar jendela ini sampai kita bisa pulang."
Si Abang lalu mengangguk dan dia segera pergi meninggalkan gua yang cemas setengah mati menanti Abang kembali.
Tak berapa lama, suara mengeong terdengar. Jel! Jeli!" jerit Abang. Gua lalu menatap sekitar. Enggak ada siapapun sih, kecuali pangeran yang lagi tertidur. Lekas gua copotin gorden jendela kamar itu yang panjangnya naudzubillah dan gua sambungin jadi satu buat menjadi sarana gua menuruni kamar itu.
Gila ya. Ternyata turun dengan cara seperti itu susah. Gue pikir gue bakal bisa bergerak bagai ninja, tadi baru aja turun satu meter, tiba-tiba pegangan tangan gua tergelincir dan membuat gua jatuh berdebam di tanah.
Dada gua sesak, sampai gua lupa cara bernafas. Gua pun berusaha untuk tetap sadar dan Si Abang biadab ketawa setengah mati karena menganggap cara gue jatuh sangat lucu.
"Brengsek nih Abang. Udah tahu gua lagi kesusahan, malah ketawa kayak gitu."
Abang lalu berusaha menahan tawanya. "Maaf, Jel. Gua lupa kalau ternyata manusia itu nggak selincah makhluk seperti gua."
"Bodo amat, lah Bang. Sekarang, ayo kita pulang!"
Akhirnya gua mengikuti Abang dengan langkah pasti. Kita berjalan seakan-akan kita sudah terbiasa ada di tempat itu. Gua bahkan berpura-pura jadi orang sok penting, biar orang-orang istana nggak memperhatikan gua.
Kami berjalan menyusuri jalanan berbatu di tempat itu. Gua dan abang bahkan menerobos ke sebuah perkebunan, melewati dapur, muter lagi gara-gara ada perboden dan tiba di sebuah pintu yang sangat besar.
"Lu yakin ini tempatnya, Bang?" Gua bertanya dengan menatap mata Abang.
Abang mengangguk pasti. "Yakin. Kan gua adalah makhluk dengan insting tertajam di dunia, Jel," ujar Abang. Entah kenapa nada suaranya dibuat kayak serius banget. Bikin gue jijik setengah mati. "Lu nggak boleh mengabaikan insting gue yang luar biasa, apalagi gua punya memori perekam yang bakal mengingat setiap langkah gua dengan sangat baik."
"Yakin nih kita nggak kesasar?" tanya gua lagi dengan nada bergetar.
"Yakin dong, Jeli."
Terus gua menarik nafas dan dengan perlahan, gua mendorong pintu itu dan melihat sebuah kamar dengan struktur perabotan yang sama dengan kamar yang pernah gua tinggalkan.
Terus muka gue jadi kecut. "Bang, kalau lu benar-benar makhluk luar biasa yang punya memori kuat seperti yang lu omongin, coba deh lu terangin sama gua, kenapa setelah perjalanan jauh yang bikin gua ngos-ngosan tadi, kita masih aja berakhir di kamar Si Pangeran Albino itu?"
Terus Abang mengeong, melenggok, sambil bilang, "na, na, na, na. Gak tahu, gak tahu, gak tahu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ya Elah! Nyasar!!!
FantasyDuh, bingung banget, gua. Niat cari kopi tengah malem, eh malah nyasar. Gua ada di mana, sih?