Service Maksimal (1)

11 2 4
                                    

For your information, ya. Gua itu bukan jomblo. Gua pernah pacaran, walau cuma sebatas kencan online. Gua tahu mana cowok ganteng dan gua tahu mana cowok yang bahkan nggak layak disebut punya tampang.

Dan sumpah ya, cowok di depan gua ini perfect parah.

Dia punya rambut putih, kulit putih, bahkan bulu mata dan bulu idungnya putih. Maksud gua, gua nggak pernah tahu kalau ada cowok albino yang ketika dilihat, dia bikin jantung gue berdebar dan nyaris mau keluar lewat kerongkongan gua karena debarannya yang gila.

Kayaknya gue jatuh cinta, deh.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya cowok itu, sembari meraih ujung rambut gua, cuma buat diselipin di telinga.

Eh, tiba-tiba dia terbatuk. Membuat gua beranjak dari sisi tubuhnya dan bergerak kikuk.

"Waduh! Kenapa? Gua ngegencet lu, ya? Atau jangan-jangan, gara-gara badan gua yang burket ini, lu jadi sesak nafas?"

Gua lalu nyiumin ketek gua yang emang sangit banget. Ya wajar, sih. Di hari-hari sibuk seperti ini, gue emang jarang mandi. Lagian, kalau nggak Jumat Kliwon, ya jangan dulu mandi, lah. Luntur nanti susuk gua.

Tiba-tiba pangeran cakep itu muntah darah. Maksud gua, emang bau gua semengerikan itu? Sampai dia harus muntah darah.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya gue dengan panik. Akhirnya gua lari keluar dan bilang ke dua penjaga yang ada di kanan dan kiri pintu kamar buat nolong Si Pangeran. Mereka semua sama paniknya sama gua dan segera membopong pangeran untuk kembali berbaring di ranjangnya.

Dari muka mereka, kedua penjaga itu sepertinya gak curiga sama gua. Mereka sempet sih ngelirik sejenak, tapi gua lirik balik juga, lah. Masa cuma gue yang dilirikin. Kalau gak dibales nanti dikira gue orang sombong.

Dari pembicaraan kedua penjaga itu, sepertinya salah satu dari mereka berniat untuk memanggil Raja dan juga Tabib Istana. Gua sih diem aja, ya. Habis, gua disuruh kayak mana, coba? Ngobatin dia? Ya nggak bisa, lah. Orang gua aja lulusan S3 sastra mesin. Mana ngerti medis.

Enggak lama, Raja datang beserta seorang cewek yang cantik banget walau gua rasa dia udah berumur. Sedangkan di belakangnya, ada seorang pria dengan pakaian yang rame banget yang membawa semacam peti dan mendekati pangeran. Setelah meminta izin sama Raja, dia memeriksa pangeran dan menyiapkan sejenis jamu-jamuan, yang kata gua baunya nggak enak banget.

"Anu, Raja, maaf," gua grogi banget pas ngomong. "Kayaknya pangeran tadi kegencet, deh, makanya sampai muntah darah gitu." Gua mencoba mengaku sebelum nanti akhirnya gua di sidang dan dihukum pancung oleh si raja.

Eh Si Raja malah tersenyum. "Tidak apa-apa. Pangeran memang seperti itu. Dia punya penyakit menahun yang mungkin nggak akan bisa disembuhkan, sampai dia bertemu dengan jodohnya."

"Tunggu, tunggu, tunggu."Otak gua tiba-tiba sengklek. "Apa hubungannya sih sembuh sakit sama punya jodoh?" tanya gua, tanpa berusaha untuk merusak sopan santun. "Maksud saya, orang tua saya juga kolot, tapi mereka tahu kalau orang sakit itu harusnya dikasih obat, bukan malah dijodohin."

Si Raja tersenyum. "Orang dari dunia lain mungkin tidak akan tahu peraturan yang ada di dunia ini."

Gua terkesima. "Iya, sih. Emang gue sekarang posisinya adalah makhluk dari dunia lain, tapi tetep aja, gua nggak bisa nerima kalau orang sakit malah justru dipaksa untuk dijodohin.

"Ngomong-ngomong," gue berusaha untuk menetralkan situasi yang tegang itu. "Apa kalian sudah menemukan siapa jodoh untuk pangeran?"

Si Raja lalu melirik dengan tajam. "Tentu saja. Jodoh pangeran, sudah pasti adalah kamu."

"Apa?" Gua menjerit kayak artis di dalam sinetron di televisi. Enggak pernah-pernahnya ada orang yang buta hati dan logika, yang dengan senang hati menjodohkan anak semata wayangnya yang tampan rupawan, dengan seorang buntelan kentut kayak gua.

"Maaf, Raja. Gini, loh. Saya tahu saya ini cantik rupawan, walau saya nggak pernah mandi dan jarang didempul. Tapi nggak seharusnya Raja malah merelakan anak raja yang berharga dengan manusia hina-dina kayak saya. Entar gimana dong anaknya? Emang Raja mau, kalau nanti Raja punya cucu bentukannya kayak sarang tawon? Enggak, kan?"

"Lancang!" Tiba-tiba sosok cantik yang tadi gua puji, yang selalu ada di sisi Raja, menatap gua. Gila, tatapannya tajem banget, sampai kalau itu matanya dideketin apel, apelnya bisa kebelah jadi sepuluh. "Tidak seharusnya kamu menggunakan tata bahasa yang sembarangan seperti itu ketika berbicara dengan Raja."

Gua pun terdiam. Emang sih, gue selebor banget ngomongnya. Duh kan jadinya enak.

"Maaf. Mungkin karena saya adalah orang dari dunia lain."

Lalu wanita itu tertawa. "Ya. Wanita aneh dari dunia lain sepertimu, memang cocok disandingkan dengan anak yang bahkan tidak bisa hidup tanpa obat."

"Selir! Lancang sekali ucapanmu!" Raja tampak marah, tapi dia tidak bisa bertindak kasar dengan selirnya. Jadi, yang bisa dia lakukan sekarang adalah pergi meninggalkan ruangan itu."

"Sebagai seorang istri Raja, saya tersinggung dengan ucapan suamiku. Dia yang kubela mati-matian, bahkan menganggapku lebih lancang daripada orang dari dunia lain yang tidak punya tata krama."

Akhirnya semua pergi meninggalkan tempat itu, juga meninggalkan gua sendiri, yang sumpah gabut banget nggak tahu kudu ngapain. Tadinya gue pengen banget tidur, berhubung sekarang waktu sudah menunjukkan siang hari dan paling cocok buat rebahan sambil melukin si Abang. Tapi ranjang udah dikuasai sama pangeran rupawan yang tidur pun kayak berlian berharga.

Akhirnya gue cuma bengong dan duduk manis di salah satu kursi yang ada di ruangan itu. Tak beberapa lama, derap langkah terdengar. Ada beberapa wanita dengan pakaian yang sangat cantik masuk ke dalam ruangan kamar pangeran. Mereka ngedeketin gua dan duduk seperti berlutut di hadapan gua.

"Enggak usah berlutut gitu! Gua bukan berhala! Seriusan, deh! Daripada gua dosa, mending lu orang pada berdiri!"

Gua bener-bener nggak nyaman. Emang sih rasanya kayak gua adalah seseorang dengan tahta tertinggi di tempat ini. Yang rasanya bisa nunjuk-nunjuk sembarang orang yang berlutut di depan gua, yang kalaupun gua minta mereka buat nari poco-poco pakai baju Mickey Mouse, mereka pasti bakal nurutin.

Tapi sumpah, gua tetap nggak mau melakukan hal itu. Risi aja kali.

"Nona, kami diperintahkan oleh raja untuk merawat nona."

"Rawat?" Gua pun hampir saja menjerit. "Kan yang sakit Si Pangeran, bukan gua," ujar gua. Tapi cewek-cewek itu kayaknya nggak mau ngedengerin, deh. Buktinya mereka malah narik tangan gua dan menggiring gua ke sebuah ruangan yang tak jauh dari kamar milik pangeran.

Mereka memperlakukan gua dengan sangat, sangat, sangat baik. Awalnya mereka melucuti pakaian gua. Baju tidur Mickey Mouse gua yang berharga itu mereka lempar jauh-jauh kayak keset yang udah jamuran.

"Kenapa, nih? Kok gue ditelanjangin gini?"

Ya Elah! Nyasar!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang