Jujur, ya. Cowok cakep itu kelemahan, ya gak sih? Mereka diem aja bisa bikin hati wanita porak-poranda. Dan gua, gua paling gak bisa lihat yang begituan.
Emang si, gua pernah pacaran, tapi gua gak pernah dapet yang modelan bening begini. Pol kegantengan mantan pacar gua itu bisa disamain sama ubi Cilembu. Ya gak jauh beda juga ama muka gua.
"Ehem!"
"Eh, copot!"
Ni si tabib ngapain mandangin gua sampe segitunya? Mau makan gua apa gimana? Kan ada tuh ya modelan tabib yang suka pake makhluk hidup buat obat? Jangan-jangan ....
"Raja meminta anda untuk datang," ujarnya.
"Oalah. Kirain mau apa." Gua menggosok hidung, lalu menggosok wajah, lalu baju, celana, seprei dan juga kaos kaki.
"Mari ikuti saya."
Gua gak punya pilihan dong. Lagian, ada permintaan yang mau gua minta ke Raja. Tahu gak apa? Gua pengen pulang.
Terus terang, gua khawatir ama Emak gua. Ini udah mau dua puluh empat jam, loh. Kalo gua gak pulang, entar Emak gua ngamuk. Kalau udah ngamuk, dia gak bisa bedain anaknya sama tikus dapur. Bisa dislebew gua.
Ngomong-ngomong, ni istana gede amat, ya? Udah lima belas menit gua jalan, lah kok ya gak sampe-sampe. Kebayang kan kalau gua beneran menetap di sini? Bisa-bisa berat badan gua turun ke betis. Udah pasti lah, kalau gua jadi dinikahin, gua bakal minta dipasangi eskalator yang kaya di bandara-bandara itu. Minimal disewain otoped, lah.
Setelah menit ke dua puluh lima, gua diantar ke sebuah ruangan yang kaya ruang rapat. Lu tahu, kan? Itu loh, ruangan yang gua perkenalin di bab dua. Baca ulang deh.
Nah, di sana, selain raja, si Selir galak juga ada. Dia duduk manis sambil ngokop anggur merah yang gua rasa sih cap orang tua.
"Raja, calon istri pangeran datang."
Deuh elah julukannya ... Gemes amat.
Raja tersenyum dan berdiri menyambut gua. Dia mempersilahkan gua buat menatap dia lama-lama tanpa dipaksa duduk. Gak ada tempat duduk selain singgasana woy!
"Bagaimana kabarmu?"
"Baik raja," jawab gua.
"Raja, kenapa kau harus membawa wanita bodoh ini ke singgasana? Dia sudah membuat Pangeran turun tangan ke pertarungan hanya untuk menolongnya." Selir galak itu mulai ngoceh. Biasa, emak-emak emang suka usil mulutnya.
Raja menarik napas. Mungkin kesel juga dia punya istri yang cerewet dan suka ngatur macam tuh selir.
"Dia adalah wanita terpilih yang akan menghapus kutukan Pangeran, wahai Selir. Setidaknya, hormati dia."
Mendengar itu, Selir membelalak kesal. "Kedudukanku sebagai selir negara ini sangat tinggi. Tidak pantas bagiku untuk menghormati wanita tak dikenal yang berasal dari dunia lain."
Raja menarik napas. Gua pengen banget ngelus punggungnya biar si Raja agak sabaran. Bete banget pasti dia punya bini macam tu selir.
"Sebaiknya kau kembali ke tempatmu, Selir, kalau yang ada di sini hanya membuat kemarahanmu semakin meninggi."
Selir uratnya udah kedut-kedut tuh. Bentar lagi pecah tuh pembuluh darah, terus stroke.
Tapi kayanya si Selir cukup punya kesabaran. Jadi dia menunduk di hadapan Raja, lalu pamit undur diri. Tapi, ya, tatapan matanya pas ngelirik gua bikin gemeter. Ya Allah, kenapa dia segitu bencinya sama gua, sih?
"Maafkan segala tindakan Selir, wahai manusia dari alam lain." Raja turun dari tahtanya dan mengulurkan tangan. Dia membimbing gua untuk berjalan-jalan saja di luar istana. Biar cair kali pembicaraannya. "Selir memang seperti itu. Dia dibesarkan di sebuah keluarga yang hanya memiliki satu anak. Sikap egoisnya adalah hasil didikan manja kedua orang tuanya."
Gua tersenyum. Padahal sikap kasar seseorang gak harus karena didikan. Bisa aja Selir punya semacam trauma ketika dia berbuat baik dan dimanfaatkan. Tapi, ya udah, lah ya. Bukan urusan gua juga.
"Kau sudah melihat keadaan pangeran?" tanya Raja. Matanya yang teduh mampir di relung hati gua dan bikin gua gak nyaman. "Anakku yang malang itu dikutuk sedari dia lahir ke dunia."
Lalu Flashback on.
Saat itu tengah malam. Ratu yang sudah hamil besar menahan sakit di perutnya karena anak pertamanya akan lahir sebentar lagi. Anak yang diidamkan oleh seluruh negeri agar mampu menjadi penerus sang Raja.
Raja sendiri panik saat tahu tabib istana telat mendatangi kamar Ratu karena diare dua puluh empat jam. Jadi, pas kepala si Pangeran nongol, baru deh tu tabib dateng.
"Maafkan saya, Raja. Seseorang sepertinya meracuni makanan saya hingga ...."
"Jangan banyak bicara, wahai Tabib. Cepat tolong istriku. Oh Dewa. Dia begitu kesusahan demi satu nyawa anakku."
Lekas Tabib mendatangi Ratu. Saat itu Ratu sudah bermandikan darah yang entah kenapa membuat pemandangan begitu terlihat mengerikan.
"Demi Dewa!" Tabib istana menjerit. Membuat Raja mau tak mau mendekatinya hanya untuk bertanya, apa yang sebenarnya terjadi. "Anak anda sedang dalam keadaan sekarat. Tali pusarnya membelit lehernya dan membuat nafasnya hilang."
"Apa tak ada yang bisa kau lakukan? Tolong. Selamatkan anakku." Raja yakin, dia bisa memberikan seluruh hartanya pada dunia jika saja anaknya selamat. Tapi tidak. Pangeran justru meregang nyawa dan mati begitu saja.
Flashback off kejap.
"Lah? Kalau pangeran mati, terus yang di kamar siapa?"
"Dia pangeran. Saat hari pemakamannya, aku yang galau setengah mati pergi menemui seorang penyihir."
Flashback on lagi.
Sebuah tempat terpencil di sudut negeri, tepatnya di hutan kematian. Raja harus memberanikan diri untuk menyambangi penyihir sakti dengan membawa mayat anaknya yang sudah meninggal enam jam.
"Masuk lah." Penyihir itu membuka pintu rumahnya bahkan tanpa sang Raja minta. Seakan dia sudah tahu apa yang menjadi beban sang Raja.
Lalu Pangeran direbahkan di atas sebuah meja. Sang penyihir sendiri memberikan sebuah ramuan yang asapnya digunakan untuk mengasapi tubuh sang Pangeran.
"Lah! Jadi pangeran asap, dong!"
Becanda. Gak gitu, ya adik-adik.
Lalu, keajaiban datang. Dimulai dari dada bayi Pangeran yang mulai bergerak sampai akhirnya pangeran mengeluarkan tangisnya yang pertama.
"Anakku! Anakku yang berharga!" Lekas Raja memeluk anaknya. Dia pun berkata bahwa dia akan memberikan apa pun yang Penyihir minta.
Tapi penyihir justru memberikan wajah suramnya. "Aku harus memberi tahumu bahwa, mungkin Pangeran tidak akan lama ada di dunia ini. Hidupnya akan diliputi penyakit dan kesialan, dan ketika dia sudah menginjak ulang tahun ke tiga puluh, dia akan mati untuk selamanya."
Mendengar itu, syok lah si Raja. Ya masa umur pangeran pendek banget. Padahal umur tiga puluh kan harusnya umur yang lagi asoy buat joget pargoy.
"Tapi jangan khawatir. Saat pangeran sekarat, akan datang wanita dari dunia lain yang harus kau nikahkan dengan pangeran. Wanita itu akan membuat semua nasib buruk pangeran hilang selamanya."
Flash back off.
Gua mangguk-mangguk aja dengerinnya. Gak nyangka, sih. Ternyata gua yang mempesona ini merupakan takdir cantik di dalam hidup pangeran.
Hal biasa, lah. Gua emang diciptakan Tuhan buat sepenting itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ya Elah! Nyasar!!!
FantasyDuh, bingung banget, gua. Niat cari kopi tengah malem, eh malah nyasar. Gua ada di mana, sih?